Awal lembaran

201 18 6
                                    

Yang habis hanya semangat mu
Tapi kesempatan akan terus berulang:)

•••
Selamat membaca

Temaram lampu lampu ibukota menyelingi perjalanan setiap mata, dingin nya malam sudah biasa bagi sebagian manusia manusia yang mesti berkutat dengan kesibukan kesibukan masing masing.

Tak peduli malam kian larut, kebisingan tetap berlanjut tak pandang perputaran jam, ada banyak kehidupan yang begitu menyedihkan.
Pergi pagi malam tak pulang, demi lembaran lembaran lusuh uang.
Cukup untuk makan keluarga sehari lalu esok mesti mencari lagi.

Pundak pundak kuat selalu lahir dari hari yang berat, sedang dada yang lapang timbul dari syukur yang tak luntur.

"Jangan pulang sebelum kamu bawa banyak uang!!"

Bocah kecil itu meringis, lutut nya berdarah sebab hempasan ibunya. Tidak tidak, lebih tepatnya ibu tirinya.

Grimis malam itu jadi teman Rama Aditya Wardhana. Tubuhnya sudah memucat, bibirnya menggigil giginya trus berbenturan menahan dinginnya malam.

Entah sudah sejauh mana ia berjalan tak tentu arah. Dalam pandangan yang kian memudar ia melihat pos ronda, tertatih tatih ia berjalan beberapa kali bahkan terjatuh, lutut nya kembali berdarah.

ia memeluk dirinya sendiri, semesta
sangat keterlaluan rasanya, bocah 8 tahun itu terlalu muda untuk merasakan kejamnya dunia.

Drettt.. drettt... Drettt

Adit yang lelap tertidur terganggu sebab telfon nya berbunyi, layar handphone nya menunjukkan panggilan masuk dari umi.

"Iya, waalaikumsalam umi"

"Iya mi Adit kesitu sekarang"

"Umi ngga mau nitip?"

"Iya mi, waalaikumsalam"

Hembusan nafasnya terdengar berat, mimpi yang berulang terus terusan mengganggu dirinya.

"Assalamualaikum mi"

"Ini pesenan umi tadi"

Adit menyerahkan sekantong plastik berisi bahan masakan untuk persediaan di warung sederhana uminya.

"Adit mau ngaduk gulai apa mau cuci piring?"
Tanya umi dengan senyum yang lebih terlihat seperti cengiran

"Karena adit lagi baik adit aja yang kerjain semua"
tak lupa adit terkekeh di kalimat terakhirnya

"Umi sholat aja dulu, biar adit yang jaga warung"
"Baik banget hari ini, umi jadi curiga"
Umi mulai menggoda nya.

"Umi mah adit baik malah di curigain"

"Yaudah jaga warung ya dit, umi mau sholat ke mushola"
Tak lupa sebelum berangkat umi memegang puncak kepala Adit dan mengusapnya, adit pun tak lupa untuk menyalimi tangan uminya.

"Mari kita mulai" Adit membisik sekaligus menyemangati dirinya sendiri, dilinting nya kaos yang ia pakai lalu mulai mengumpulkan piring piring kotor dan mencucinya.

Sedang santai mengaduk gulai pikiran Adit mulai terbang entah mana, melintas ke masa dimana ia mesti kehilangan satu per satu orang yang ia sayang.

Setelah kini mulai mendewasa ia mulai sadar, betapa kehidupan yang kemarin begitu ia benci adalah kehidupan yang banyak diharapkan insan lain hari ini.

Bagitu hebat jalan pendewasaan, tak pandang cara tak menimang usia, tersisih di momen ini berarti berakhir juga rantai rantai ke jalan berikutnya.

Dulu, kalimat "Allah itu maha adil" terkesan bagai kebohongan paling besar yang pernah terdengar, dari sudut pandang yang dirangkai Agar tak realistis-pun tidak pernah ada keadilan yang benar benar layak di sebut keadilan.

Tapi sekarang berkat syukur yang ia bangun, ia sadar betul betapa Allah dengan baik mengatur serta menempatkan banyak hal baik di hidup-nya.

Kita membiasa, membaik sebab proses-proses yang dulu kita protes, yang berlalu diambil pelajaran, yang kemudian di siapkan agar tak terulang, betapa mudahnya manusia membangun planing planing yang kadang berbeda arah dengan ketetapan berbalut takdir.

"Jangan pandangi wajah kita sebagai manusia kuat, kalau ingin lihat yang benar benar kuat pergi ke jalanan lalu lihat anak anak yang mesti kehilangan separuh dari keadilan, lihat anak anak di panti asuhan yang masih bisa tertawa, pun begitu sekali ia bersedih rasanya begitu menyayat hati"

Kalimat kalimat yang pernah diucapkan uminya seakan jadi tamparan saat ia merasa tinggi, sesekali jadi sandaran saat ia mulai ingin berhenti.

Pantas rasanya ia begitu bersyukur kali ini, tidak ada lagi prinsip "akan indah pada waktunya" sekarang semua indah asal kita bersyukur setiap harinya.

"Kalo lagi kerja jangan ngelamun dit"
Suara umi memecah lamunan nya.

"Eee- iya umi"
Bergegas adit mengaduk gulai lagi

"Umi dengar dengar Adit katanya dapat beasiswa keluar negri?" Umi bertanya sambil mengaduk teh hangat miliknya

"Emm iya mi, umi tau dari mana?"
Adit sedikit merasa bersalah karena belum memberitahu uminya.

"Kenapa ga di ambil dit, kan bisa nambah nambah pengalaman kamu"
Umi mendekat, tampaknya umi ingin serius membahas masalah ini

"Adit ga butuh pendidikan tinggi, gelar yang panjang atau nama yang bisa di kenang banyak orang, Adit cuma mau jadi adit yang bisa ada di samping umi"
Adit memeluk uminya, air matanya tumpah, umi Nadia mengelus pundak anak-nya, sebegitu sayang anak-nya Padanya.

Peluk haru keduanya terpecah oleh pelanggan yang ingin meminta nambah nasi, dengan cekatan umi mengambil piring dan menambahkan secentong nasi tak lupa di meriahkan oleh senyum di sudut bibirnya.

"Kalaupun aku harus mengorbankan banyak hal, termasuk diriku.Rasanya tak juga cukup untuk membalas semua kebaikan umi".
Adit membatin dalam, menempatkan baik baik rasa sayang di sudut ruang hatinya.

Maaf kalo masih banyak typo, baru belajar soalnya hehe:)
Makasih untuk yang udah baca:)

Besok Kita Coba lagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang