the past

42 7 0
                                    

Hari kemarin selalu layak di jadikan perbandingan, terlebih untuk pembelajaran

••••

Hari Minggu yang tak seperti biasanya, dimana akan ada yang mengetuk pintu kamarnya sembari membawa susu hangat, menyapa nya saat pertama ia membuka mata atau sekedar mengelus rambut panjangnya, namun sekarang semua tergantung rapi di sudut kepala sebagai momen yang pernah tercipta.

Setidaknya pernah, walaupun tak begitu lama tapi cukup untuk disyukuri sebagai takdir yang tak bisa diminta revisi, anggaplah semua sebagai jalan menuju tempat dimana ia menemukan apa itu pendewasaan.

Haisa pikir dirinya akan benar benar tenggelam dalam duka yang ia nikmati tiap harinya, namun pikiran itu ia buang jauh jauh, nyatanya Sekarang ia masih tegak berdiri, meski beberapa tumpuan sudah berlalu pergi.

"Huffftt.." Haisa menarik nafas berat, sudah hampir selesai novel yang ia baca, sehabis beres beres rumah ia kembali ke kamarnya dan belum keluar, padahal jam sudah menunjukkan pukul 10.15, ia bingung apalagi yang harus ia kerjakan, menulis, membaca, menggambar, mewarnai, sudah ia lakukan tapi kebosanan masih melanda dirinya.

"Beli buku kayaknya seru" Haisa bersemangat setelah menemukan ide, tapi bahagia hanya berlangsung beberapa saat setelah ia mengingat ia harus berhemat, uang yang ia punya hanya cukup untuk beberapa bulan, dan ia harus mencari pekerjaan.

Beban di kepalanya nya bertambah saat ia sadar sekarang ia sendirian, itu berarti ia harus mencari sendiri untuk dirinya sendiri.

"Man sabara zhafira"

Kalimat itu masih melekat di ingatanya, kalimat yang dulu di ucapkan Abah ketika abinya meninggal dunia, "siapa yang bersabar akan beruntung" begitu artinya kata Abah.

Saat semesta terasa tak lagi mendengarkan, waktunya untuk kembali kepada yang menyelipkan harap diantara lara yang mengena dada.

Haisa merasa hubungan nya dengan allah kian merenggang beberapa hari belakangan, sajadah nya sudah jarang terbentang saat malam, Al Qur'an sudah mulai berdebu sebab ia terlalu sibuk membaca novelnya.

Haisa pikir sekarang waktunya ia menyerahkan semua pada-Nya. Tentang harap juga tentang dadanya yang minta lebih di lapangkan.

Ia memulai dengan sholat Dhuha terlebih dahulu, membaca Qur'an kemudian menumpahkan segalanya dalam rajutan doa doa lirih berseling air mata.

Ia tau allah tak mungkin memberikan luka tanpa tujuan selanjutnya, ia juga meyakini allah telah siapkan bahagia di perjalanan berikutnya hanya menunggu bagaimana ia melalui proses nya.

***

"Assalamualaikum umi" ucap Aditya begitu memasuki rumah

"Waalaikumsalam" suara sahutan dari uminya terdengar

Aditya melepas sepatunya lalu memasuki ruang tengah, ia berlalu menuju kamar uminya, wajahnya terlihat begitu khawatir, tadi ia di telfon pak rahman kalo uminya tiba tiba jatuh pingsan saat di warung.

"Umi sakit apa?" Aditya melepaskan tasnya lalu duduk di sisi ranjang.

"Cuma kecapean aja dit, umi gpp"
Wajah umi nadia memang tampak sedikit pucat dengan mata sayu yang menggambarkan lelah yang di tanggung nya.

Besok Kita Coba lagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang