Rio melangkahkan kaki menuju ruang kerja sang papa setelah mamanya memberitahukan keberadaan pria paruh baya itu.
"Duduk," titah pria paruh baya yang sedari tadi duduk membelakangi pintu.
Tanpa berkata apa pun, Rio mendudukkan diri berhadapan dengan pak Wirya.
"Gimana kabar kamu?" Pak Wirya berbalik serta mencondongkan badannya ke arah Rio.
"Buat apa Papa tanya seperti itu, pasti ada hal penting yang mau Papa katakan daripada berbasa basi seperti ini." Rio menjawab dengan tenang.
"Rio ... Rio, sejak kamu menikah sama wanita itu, kamu jadi kurang ajar sama Papa," Pak Wirya bersidekap seraya menyandarkan punggungnya.
"Bukan aku yang berubah, tapi Papa," sinis Rio.
"Papa sudah sepakat dengan Pak Danu, pernikahan kamu dengan Shila akan tetap berlangsung dalam beberapa bulan lagi."
Mendengar kabar dari sang papa membuat tangan Rio seketika terkepal kuat. Bagaimana bisa pria yang disebut ayah kandung bisa melakukan hal seperti ini pada anaknya hanya karena bisnis, sementara papanya tahu betul bagaimana perasaan Rio sejak dulu perjodohan itu ditetapkan.
"Papa enggak bisa mengambil keputusan tanpa persetujuan Rio, aku sudah menikah kalau Papa lupa," sangkal Rio dengan rahang mengeras, berusaha mengontrol emosinya sekarang.
"Kamu menikah hanya untuk hal konyol, jadi lupakan saja. Tinggalkan dia setelah bayi itu lahir. Papa sudah cukup baik memberi wanita itu kelonggaran ada di hidup kamu sampai dia melahirkan. Kalau kamu takut soal kehidupannya, tinggal kasih saja dia uang untuk usaha," sinis Pak Wirya.
"Cukup, Pa. Rio akan meresmikan semua setelah anak Runa lahir. Dan untuk Shila, asal Papa tahu, semua sudah berakhir. Enggak akan pernah ada pernikahan antara kami. Dari awal Rio enggak pernah bisa cinta sama Shila. Rio hanya menuruti keinginan Papa. Lebih baik Papa berhenti ikut campur masalah Rio. Jangan bikin hubungan pertemanan kami menjadi semakin buruk." Rio beranjak meninggalkan ruang kerja sang Papa setelah meluapkan kekesalannya. Sementara itu, Pak Wirya tersenyum sinis menatap punggung sang putra yang telah menghilang di balik pintu.
***
"Masih mikirin Rio?" tanya Juni ketika melihat Aruna duduk menyendiri di taman belakang vila keluarganya.
"Eh, Mbak. Enggak kok Mbak, cuma seneng aja duduk di sini, tenang," jawab Aruna tanpa perlu menggeser duduknya ketika Juni telah mendudukkan diri di depan ibu hamil tersebut.
"Mama!" tiba-tiba terdengar suara teriakan Andra dari dalam rumah memanggil Juni disusul tangisan dari dua adik kembarnya, samar suara Bian turut berusaha menenangkan keduanya.
"Yaudah, kamu istirahat dulu. Nanti kita makan malem sama-sama," ucap Juni seraya beranjak untuk menghampiri anak-anaknya.
Mendengar betapa ramainya suasana dari dalam rumah, membuat Aruna tersenyum kecil dan membelai perutnya. Ketika anaknya lahir nanti, ia pasti juga akan merasakan hal yang sama, namun mungkin ia sendiri yang akan merasakan tanpa ditemani siapapun. Hanya dia dan anaknya.
***
Dering ponsel mengalihkan perhatian Aruna yang baru saja membersihkan diri, membuat ibu hamil tersebut mengernyit dengan nomor yang tertera namun tetap menjawab panggilan itu sebagai wujud rasa hormatnya.
"Halo," ucap Aruna sedikit ragu.
"Kamu di mana, Runa?" Suara wanita paruh baya bertanya tanpa salam.
"Ada apa, Bi?" Aruna mengernyit.
Kenapa tiba-tiba wanita itu meneleponnya setelah apa yang ia lakukan pada Aruna beberapa waktu lalu.
"Bibi butuh uang untuk berobat paman kamu," ucap Sonya tanpa basa-basi.
Aruna yang mendengar hal itu, menutup mata serta menahan napasnya sejenak. Selalu saja seperti ini, sang bibi hanya membutuhkan uang darinya.
"Maaf, Bi. Aruna enggak pegang uang. Runa udah enggak kerja lagi sekarang," cicit Aruna, berharap bibinya mengerti bagaimana posisi Aruna sekarang.
"Bukannya kamu udah nikah sama pria yang udah hamilin kamu? Bibi dengar, dia anak orang kaya, enggak akan sulit buat kamu minta sama dia. Bibi minta besok kamu udah kirim ke rekening Bibi seperti biasa. Paman kamu harus berobat."
Setelahnya terdengar panggilan diputus sepihak oleh Sonya. Aruna menghela napas. Dari mana dia bisa mendapat uang jika dirinya saja tidak lagi bekerja. Memang pengobatan sang paman selama ini ditanggung olehnya karena sang bibi menganggap itu adalah cara Aruna balas budi.
Aruna tatap ponselnya yang menggelap. Apa yang harus dia lakukan? Sementara sang paman butuh biaya untuk melakukan cuci darah rutin setiap minggu. Hanya sang paman satu-satunya keluarga yang tersisa, meski ia tidak begitu diperlakukan dengan baik selama tinggal dengan mereka.
"Kenapa melamun?"
Sebuah tepukan lembut membuyarkan pikiran Aruna yang kini terduduk pada sisi ranjang.
"Eh, Mbak? Kok Runa enggak denger? Mbak masuk?" Aruna tersenyum canggung.
"Mbak udah ketuk pintu, tapi kamu gak jawab, trus pintunya enggak dikunci. Maaf Mbak masuk, takut kamu kenapa-kenapa. Ada apa? Ada masalah?" Juni menjelaskan, meneliti wajah Aruna yang terlihat gusar.
"E ... enggak ada Mbak. Mbak ada perlu sama Runa?" Aruna mencoba mengalihkan pembicaraan. Biarlah urusannya ia pikirkan solusi nanti.
"Ada Rio di luar," jelas Juni mengendikkan dagunya ke arah pintu.
Rio? Kenapa pria itu sampai menyusulnya kemari?
...
Pemanasan lagi.
Semoga kali ini gak hiatus-hiatus lagi sampai tuntas.Haiii...
Yang mau ikutan PO bukunya Mbak Tantri maaih ada waktu loh 15-25 Juni 2021. Yukkk ikutan.Format pemesanan :
Nama :
Alamat lengkap :
No. Yang biaa dihubungi :
Judul buku :
Jumlah buku :Kirim via WA ke salah satu nomer yang ada di banner yaaa...
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Cinta Kedua
RomanceAruna, ia mencintai Rio namun cintanya berubah ketika ia tergoda pesona pria lain. Hingga suatu ketika keadaan membuat Aruna secara tiba-tiba bersanding dengan Rio yang sebenarnya sudah akan menikah dengan jodoh yang sebelumnya telah disiapkan sang...