Terima kasih sudah mampir di lapak Aruna.
Selamat membaca dan jangan sungkan komen jika menemukan hal ganjil atau typo. 💟💟💟
.
.
."Bisa?" Satu pertanyaan dari wanita yang semakin membuat pria yang kini duduk di depannya mematung.
"Apa maksud kamu?" tanya Pria itu saat berhasil menguasai dirinya kembali.
"Iya, sudah cukup kamu berkorban buat aku, Mas. Kamu sendiri juga berhak buat bahagia. Aku bisa kok jaga diri aku sendiri ... dengan dia." Aruna tanpa sadar mengusap lembut perutnya. Ia bersyukur tidak terjadi apa pun pada kandungannya, hanya saja dirinya mulai khawatir dengan apa yang terjadi nanti mengingat apa yang Shila lakukan beberapa hari lalu.
Setelah dokter mengijinkannya pulang pagi tadi setelah dua hari beristirahat di rumah sakit, Aruna bertekad menyampaikan keinginannya pada Rio. Wanita itu telah mempertimbangkan benar-benar keinginannya.
Hening, Rio bergeming tidak berniat sedikitpun menjawab pertanyaan Aruna. Ini bukan pertama kalinya Aruna mengatakan hal itu, bahkan sebelum mereka menikah Aruna telah memintanya pergi, namun Rio tidak bisa melakukannya.
"Sebaiknya kamu istirahat." Rio beranjak dari sofa yang ia duduki, ia perlu menjauh agar tidak tersulut emosi.
Dari tempatnya duduk, Aruna hanya dapat melihat punggung Rio yang menjauh dengan helaan napas lemah. Kenapa Rio tak membiarkannya pergi saja? Kenapa tetap bertahan dengan sesuatu yang bukan tanggung jawabnya?
***
"Udah siap?" tanya Juni pada Aruna ketika wanita itu menyapa diambang pintu.
"Iya, Mbak. Duduk dulu, aku ambil tas dulu ya, Mbak." Aruna menggeser badannya mempersilahkan Juni berserta suaminya untuk masuk terlebih dulu.
"Bi, tolong buatin minum buat tamu Runa ya, Bi." Aruna berhenti sejenak di dekat dapur, meminta tolong Bi Marti membuatkan minuman untuk tamunya kemudian Aruna berlalu ke dalam kamar setelah wanita baya itu menjawab permintaan tolongnya.
Beberapa hari lalu, Bi Marti yang merupakan salah satu pembantu di rumah mama Widya, dikirim untuk membantu pekerjaan rumah tangga di rumah Rio, hanya karena sang mertua tidak ingin Aruna kelelahan.
"Kamu yakin mau ke sana?" tanya Rio saat Aruna terlihat memasuki kamar.
"Iya, ini rasanya akan lebih baik." Aruna menutup tas yang sebelumnya ia gunakan untuk mengemasi beberapa baju miliknya.
"Biar aku yang bawa," sela Rio seraya menenteng travel bag hijau itu keluar sebelum Aruna membantahnya.
Aruna pasrah, mengekor di belakang Rio yang berjalan lebih dulu menuju ruang tamu. Sesampainya di sana, Rio meletakkan travel bag milik Aruna di dekat sofa dan duduk di depan suami Juni, sementara Aruna mau tidak mau duduk di sebelah Rio.
"Tolong jaga Aruna, saya tidak bisa ikut ke sana," pinta Rio pada Bian.
"Tenang saja, Aruna aman bersama kami," sarkas Juni hingga genggaman lembut Bian menenangkannya.
Sejak Aruna masuk rumah sakit, Rio sedikit heran mendapati Juni yang notabene ramah berubah sedikit sinis padanya, namun ia tidak ambil pusing soal itu.
"Ada istri saya dan anak-anak yang menemani Aruna nanti di sana, anda tenang saja. Kami akan menjaga Aruna dan memastikan dia nyaman," jelas Bian.
Setelah obrolan tempo hari antara Aruna dengan Rio, yang berujung Rio mendiamkannya meski semua kebutuhan Aruna diam-diam lebih diperhatikan melalui Bi Marti. Aruna memutuskan untuk memberi jarak hubungan mereka, bertepatan dengan rencana Juni yang mengajak Aruna ke puncak untuk berlibur dan menginap di vila keluarganya selama beberapa hari ke depan. Aruna pikir ini adalah kesempatan agar Rio bisa berpikir jernih dan membuang jauh rasa kasihannya pada Aruna.
"Sebaiknya kita berangkat sekarang aja, biar enggak kena macet. Kasihan Aruna sama anak-anak kalo kelamaan di jalan," ajak Juni.
***
"Mas Rio!"
Setelah kepergian Aruna, Rio yang hendak berbalik dikejutkan dengan kehadiran Shila yang langsung memeluk lengannya.
"Kamu kenapa kemari?" Rio memasang wajah datar seraya berusaha melepaskan lengannya dari pelukan Shila.
"Aku kangen," manja Shila.
"Kita sudah selesai, Shila." tekan Rio mundur selangkah setelah berhasil melepaskan diri.
"Belum, kita belum selesai. Hanya menunda sampai wanita itu melahirkan. Kalau Mas enggak percaya, tanya aja ke Om Wirya," bantah Shila yang kemudian tersenyum manis.
"Papa? Apa maksud kamu?" Rio maju selangkah, meminta penjelasan.
"Om Wirya sudah buat kesepakatan sama Papa soal ini, kita akan menikah setelah dia melahirkan dan pergi dari kamu. Terlebih lagi bayi itu bukan anak kamu. Jadi kamu enggak punya kewajiban buat ngerawat dia. Enggak seharusnya kamu merepotkan diri dengan hal yang bukan tanggung jawabmu," papar Shila, tersenyum sinis di akhir ucapannya.
"Cukup, Shila. Lebih baik kamu pulang. Kamu enggak tau apa pun. Bagiku kita sudah selesai. Maaf. Aku masih ada urusan," usir Rio dengan cepat berbalik dan menutup pintu meninggalkan Shila yang kini berada di luar dengan mengepalkan tangan menahan marah atas perlakuan Rio.
Tring.
Satu pesan masuk menyapa pendengaran Rio ketika kakinya hendak melangkah menaiki tangga.
Mama
Yo, Papa minta kamu ke rumah sekarang.Rio mengernyit membaca pesan singkat dari mamanya. Sang Papa tiba-tiba memintanya datang, pasti ada suatu hal yang penting mengingat hubungan meteka yang bisa dikatakan tidak baik sejak ia memutuskan sepihak untuk menikahi Aruna.
Semoga bukan suatu hal yang sangat buruk, batin Rio.
Biarkan orang mengatainya egois. Rio telah mengambil keputusan sejak awal, dan ia tidak akan pernah melepaskan Aruna apa pun yang terjadi.
....
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Cinta Kedua
RomansaAruna, ia mencintai Rio namun cintanya berubah ketika ia tergoda pesona pria lain. Hingga suatu ketika keadaan membuat Aruna secara tiba-tiba bersanding dengan Rio yang sebenarnya sudah akan menikah dengan jodoh yang sebelumnya telah disiapkan sang...