"Kamu yakin udah mendingan?" tanya Juni memastikan sekali lagi.
Setelah beberapa hari memantau kondisi Aruna, akhirnya dokter mengijinkan wanita itu pulang ke rumah dengan memberi catatan-catatan untuk lebih diperhatikan oleh pasiennya.
"Iya, Mbak. Mbak udah nanyain hal yang sama tiga kali ke aku. Aku udah baik-baik aja," jawab Aruna seraya berpindah perlahan ke kursi roda dengan bantuan Juni yang telah selesai mengemas pakaiannya.
"Mbak cuma mau mastiin, Mbak kan enggak mau kalo kamu maksain pulang cuma karena bosan, kamu butuh istirahat biar kalian bisa pulih lagi. Mbak khawatir sama kalian." Juni sedikit membungkukkan badan menatap lekat pada Aruna.
"Kan Mbak juga denger kalo dokter sendiri yang ngebolehin aku pulang. Kami enggak apa-apa, dia anak kuat." Aruna tersenyum seraya mengusap lembut perutnya. Dalam hati ia selalu berdoa agar anaknya bertahan meski keadaan sedang tak baik untuk mereka.
"Sudah?" tanya Rio yang telah selesai mengurus administrasi yang baru selesai sore hari.
"Sudah, lebih baik kita segera pulang biar Aruna bisa cepat istirahat."
***
"Kamu istirahat dulu aja Run, kalo butuh apa-apa panggil aja aku." Juni menyibakkan selimut di atas ranjang untuk Aruna.
Pada akhirnya, Rio dan Juni memutuskan untuk pulang ke vila mengingat jarak yang harus ditempuh jika pulang ke rumah sangat tidak memungkinkan untuk Aruna saat ini.
"Makasih banyak ya Mbak, maaf aku sering bikin Mbak sama Mas Bian repot. Mbak urus anak-anak aja, kasihan dari pagi udah ditinggal, aku bisa sendiri kok. Mbak tenang aja," ucap Aruna ketika Juni membantunya berpindah ke atas ranjang, membenarkan serta memastikan posisi Aruna nyaman.
"Kamu ini kayak sama siapa aja. Yaudah, pokoknya kalo kamu pengen sesuatu bilang aja, suami kamu juga masih ada di sini. Jangan mikirin apa-apa, yang terpenting kamu istirahat dulu." Juni kemudian beranjak setelah mendapati anggukan kepala serta senyuman dari Aruna.
Setelah Juni menghilang di balik pintu, Aruna merebahkan badan, pikirannya kembali menerawang pada kejadian-kejadian sebelumnya. Sebenarnya apa yang terjadi pada dirinya sekarang, ia kembali berpikir jika menikah dengan Rio adalah sebuah kesalahan. Tapi apa yang harus dia lakukan sekarang, sementara perlahan tekanan mulai menyerang.
Mengingat pada foto undangan, kapan Rio dan Shila akan menikah? Kenapa Rio masih belum melepaskannya jika dia telah memutuskan untuk menikahi gadis itu? Entah kenapa pertanyaan itu kembali menyeruak dari benaknya. Siapa yang mengirim foto-foto itu padanya? Haruskah ia mencari tahu?
Ponsel, seketika Aruna teringat pada ponsel yang beberapa hari tidak ia dapati keberadaannya. Aruna perlahan menyandarkan diri pada kepala ranjang, melongok pada meja yang tak jauh dari ranjang tempatnya berada, namun kosong. Hanya ada alat make up yang beberapa hari lalu ia letakkan di sana.
"Butuh sesuatu?"
Suara Rio membuat Aruna sedikit terkejut, hingga sesaat kemudian mengalihkan pandangannya pada Rio yang masih berdiri tak jauh dari pintu. Aruna hanya memilih menggelengkan kepalanya sebagai jawaban.
"Lebih baik kamu istirahat, jangan melakukan apa pun." Rio mendekat ke arah ranjang dan mendudukkan diri di dekat Aruna.
Aruna memilih membenarkan posisinya kemudian berusaha memejamkan mata. Beberapa hari ini dia mencoba menjaga jarak, menghindari komunikasi terlalu lama dengan Rio karena setiap dia menatap Rio terlalu lama, bayangan-bayangan potret yang terekam jelas dalam memorinya seakan menampar Aruna pada kenyataan jika dia bukanlah siapa-siapa.
Melihat Aruna terpejam, Rio perlahan mengela napas. Keadaan cukup rumit untuk dijelaskan, namun apa yang menimpa Aruna juga tidak bisa dibiarkan. Dia harus bergerak cepat sebelum semua terlambat.
***
Drrt ... drrt
Getar gawai dalam saku celana membangunkan Rio yang tak sengaja tertidur di sofa setelah mengirim email pekerjaan yang telah ia selesaikan.
Kamu dimana?
Todongan pertanyaan langsung menyapa indera pendengarannya ketika menerima panggilan telepon tanpa melihat identitas penelepon, seketika Rio menjauhkan ponselnya untuk memastikan sesuatu.
Shila, kenapa gadis itu menelepon diwaktu sepagi ini, bahkan ini masih termasuk tengah malam.
"Ada apa?" Alih-alih menjawab, Rio memilih bertanya pada gadis pilihan sang papa seraya membenarkan posisi duduk untuk memastikan Aruna tak terusik dengan suaranya.
"Bulan depan kita tunangan terus sebentar lagi kita menikah, tapi kamu kayak ngilang gitu aja. Aku nggak mau ya kamu ngilang-ngilang kayak gini lagi," rajuk Shila di seberang sana.
"Kita udah bahas ini tempo hari. Tolong jangan mulai lagi, aku capek." Rio mematikan panggilan secara sepihak tanpa menunggu Shila kemudian menonaktifkan ponselnya.
Sejak keputusan sepihak sang ayah yang mengatur tentang pertunangan mereka kembali, Rio semakin menghindar dari Shila. Bahkan ia sudah pernah menjelaskan pada gadis itu jika mereka tidak mungkin bisa bersama, namun Shila seperti tak ingin mendengarkannya.
Tanpa Rio sadari, sedari tadi Aruna mengamatinya dalam keremangan cahaya. Mungkin sebuah keputusan harus segera Aruna ambil.
...
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Cinta Kedua
RomanceAruna, ia mencintai Rio namun cintanya berubah ketika ia tergoda pesona pria lain. Hingga suatu ketika keadaan membuat Aruna secara tiba-tiba bersanding dengan Rio yang sebenarnya sudah akan menikah dengan jodoh yang sebelumnya telah disiapkan sang...