Aruna masih tak beranjak dari tempatnya ketika Rio tiba-tiba masuk beberapa saat setelah Juni keluar dari kamar yang Aruna tempati. Rio yang terlihat kusut membuat Aruna menelan tanda tanyanya sendiri. Wanita itu tak ingin terlalu mencampuri urusan Rio sebelum suaminya sendiri yang mengatakan suatu hal. Dia hanya ingin memperjelas batasnya sebelum perpisahan itu terjadi.
"Apa pun yang terjadi, jangan kemana-mana." Ucapan Rio terdengar seperti sebuah perintah yang memecah keheningan antara mereka.
Aruna masih bergeming, tak ingin menyela meski pertanyaan-pertanyaan kembali muncul dalam benaknya.
"Aku ... jangan pergi." Rio yang duduk di sisi ranjang dekat bangku yang Aruna duduki seketika menunduk seraya menjambak rambutnya sendiri untuk menyalurkan rasa frustasi.
Hanya itu yang bisa Rio ucapkan meski sebenarnya banyak hal yang sangat ingin ia katakan pada Aruna, namun bukan sekarang saatnya.
"Kalo semua rasanya berat buat kamu, kenapa kamu enggak biarin aku pergi? Berapa kali harus aku bilang kalo kamu enggak seharusnya nanggung sesuatu yang bukan tanggung jawab kamu, Mas," cicit Aruna meremas sisir yang sedari tadi ia pegang untuk mengalihkan rasa yang tak lagi bisa dijabarkan.
"Kamu juga enggak akan ngrasa seperti sekarang. Kamu cuma nyusahin diri kamu sendiri, dan itu bikin aku merasa semakin ... bersalah," lanjutnya tersenyum miris seraya memalingkan wajahnya ke menatap ke luar jendela.
Ya, rasa bersalah Aruna pada Rio semakin dalam terlebih pria itu mengambil alih tanggung jawab yang seharusnya dilakukan Bram ditambah lagi kehadiran Shila serta ibunya yang menyalahkan Aruna atas keputusan Rio.
"Aku enggak akan lepasin kamu. Yang perlu kamu tahu, aku akan membawa pernikahan ini secara resmi nanti setelah anak kamu lahir." Rio menegakkan tubuhnya, tangannya terkepal kuat serta rahangnya mengeras.
Rio hampir putus asa dengan permintaan yang selalu Aruna ucapkan. Susah payah dirinya berusaha melepaskan pikirannya dari nama Aruna dulu, kini ketika cintanya kembali, Rio tak akan melepaskannya lagi meski ayahnya sendiri yang menjadi penghalang. Rio masih mencintai Aruna, namun bukan sekarang saatnya untuk ia katakan, karena Aruna hanya akan menganggap ucapannya hanya sebagai kalimat penghibur wujud rasa kasihan yang Rio berikan untuknya.
Tidak, Rio tidak boleh meluapkan emosinya pada Aruna. Menghirup napas dalam, pria itu putuskan untuk keluar kamar guna menenangkan diri. Desakan sang ayah agar dirinya menikahi Shila dan menceraikan Aruna membuatnya merasa hampir gila.
Sepeninggal Rio, Aruna meletakkan sisir yang sedari tadi ia genggam secara perlahan. Mengembuskan napas guna menghalau air mata yang ingin mendobrak keluar jika sedikit saja ia mengedipkan matanya. Aruna masih tak mengerti sebenarnya apa tujuan Rio. Baginya, tak mungkin jika masih ada perasaan dalam diri Rio untuknya yang dulu telah mengkhianati pria itu.
"Kenapa kamu hukum aku kayak gini?" gumam Aruna, menangkup wajah dengan siku yang bertumpu pada meja.
Jujur, masih terselip rasa cinta di hati Aruna untuk pria yang berstatus suaminya itu, namun kini Aruna sadar diri dengan keadaanya sekarang.
Tring
Denting ponsel yang berada di dekatnya, seketika membuyarkan pikiran wanita itu. Aruna ingin mengabaikannya, namun dentingnya kembali terdengar.
Dahinya mengernyit ketika mendapati nomor tanpa nama yang mengirim sebuah gambar, sebuah kontak yang tak sedikitpun memberinya informasi siapa pemilik akun itu. Tanpa pikir panjang, wanita itu membuka kotak pesan singkat berwarna hijau miliknya.
Deg
Aruna berdebar ketika dua buah foto terpampang jelas di sana. Hanya sekilas melihat Aruna tahu jika foto pertama merupakan sebuah foto undangan. Kembali dirinya menggulirkan layar pada foto kedua, jantungnya seakan berhenti berdetak saat ia sangat mengenali siapa wanita dalam foto tersebut saat layar menampilkan gambar yang telah terunduh sempurna.
Bagaimana bisa? Batin Aruna dengan sebelah tangan yang menutup mulutnya.
Keringat dingin nampak perlahan bermunculan semakin lama semakin berkejaran, wajah Aruna memutih, tangannya semakin bergetar hingga membuat ponsel yang berada dalam genggamannya meluncur bebas ke atas meja. Aruna tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Siapa pengirim foto itu? Apa tujuan orang itu mengirim foto-foto itu padanya? Beragam tanya muncul dalam benak Aruna.
Aruna ingin berteriak, namun pita suaranya seakan tak ingin bekerja sama hingga tak ada sedikitpun suara yang mampu keluar, yang terjadi malah bibirnya yang kian tertutup rapat dengan gigi yang mulai bergemelutuk. Antara rasa marah, takut dan kecewa yang menggerogoti batin Aruna, rasa sakit kini menjalar pula pada perutnya. Wajah wanita itu semakin pias dengan tangan yang memeluk erat perutnya.
Tubuh Aruna perlahan merosot, meringkuk serta mendekap erat dengan rapalan doa dalam hati agar janinnya baik-baik saja. Tidak, ia harus meminta pertolongan segera jika tak ingin sesuatu yang buruk terjadi.
Tanpa mengubah posisinya, Aruna berusaha mengatur napas dan menenangkan diri untuk mengumpulkan tenaga.
"Argh! To-tolong!"
Sekuat tenaga wanita itu berusaha mengeluarkan suara, berharap orang-orang di luar kamar mendengar teriakannya. Rasa sakit yang semakin terasa menusuk pada bagian perut mulai merambat seolah menyakiti seluruh tubuhnya.
Sementara Rio yang duduk tak jauh dari kamar Aruna, segera berlari ketika ia mendengar suara teriakan sang istri. Pria itu membuka kasar pintu kamar yang tertutup, matanya terbelalak saat melihat Aruna yang kini meringkuk kesakitan tak jauh dari tempat terakhir ia meninggalkannya.
Tanpa pikir panjang, Rio segera membopong istrinya sebelum terjadi sesuatu yang buruk. Aruna harus segera mendapat pertolongan.
"Ada apa?" tanya Juni tergopoh menuju Rio yang terlihat keluar kamar dengan Aruna dalam dekapannya.
"Rumah sakit, Aruna butuh dokter." Rio menjawab sambil berjalan cepat menuju tempat dimana mobilnya terparkir.
"Tunggu! Kamu jaga Aruna, biar saya yang menyetir." Bian mencegah Rio yang terlihat kesulitan membuka pintu mobilnya, mengarahkan keduanya pada mobil yang berada tepat di sebelah mobil Rio kemudian membukakan pintu penumpang belakang untuk mereka.
Tanpa kata, Rio menuruti ucapan Bian. Ketika Bian telah memastikan Aruna dalam posisi aman, Juni telah berada didekatnya dengan tatapan khawatir.
"Kamu di sini aja jaga mama sama anak-anak, aku antar mereka. Nanti aku kabari kalo ada apa-apa. Berdoa aja semua baik-baik saja." Bian mengusap pelan kepala Juni kemudian bergegas melajukan mobilnya menuju rumah sakit terdekat.
Juni yang melihat mobil suaminya menjauh hanya bisa pasrah dan berdoa agar tidak terjadi sesuatu. Dengan langkah gontai, wanita berhijab itu melangkah kembali dalam vila dengan pikiran yang mengeluarkan banyak tanya. Sebelumnya, Aruna tampak baik-baik saja hingga terakhir mereka berbincang sebelum Rio datang. Apa yang terjadi sampai Aruna menjadi seperti itu?
Terpecah dengan banyak tanya di benaknya, membuat langkah Juni tanpa sadar terhenti di depan pintu kamar Aruna yang terbuka lebar. Juni sedikit ragu ketika hendak menutup pintu kamar sahabatnya itu, namun belum sampai pintu tertutup, netranya menangkap ponsel Aruna yang tergeletak di atas meja dengan layar yang tak henti berkedip.
Tergelitik untuk mencari tahu tentang apa yang membuat Aruna mengalami hal tadi, Juni ayunkan kakinya mendekat ke arah meja. Layar ponsel Aruna telah berhenti berkedip, namun matanya membola ketika melihat apa yang layar ponsel itu tampilkan.
Juni bergegas menyambar ponsel Aruna guna memastikan jika dirinya tak salah lihat. Sebelah tangan Juni terkepal kuat saat melihat foto itu lebih dekat dan jelas.
Ini? Siapa yang melakukannya?
...
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Cinta Kedua
RomanceAruna, ia mencintai Rio namun cintanya berubah ketika ia tergoda pesona pria lain. Hingga suatu ketika keadaan membuat Aruna secara tiba-tiba bersanding dengan Rio yang sebenarnya sudah akan menikah dengan jodoh yang sebelumnya telah disiapkan sang...