Bagian 9

1.8K 278 38
                                    

Part ini, aku dapat dari hasil baca beberapa sumber. Kalo ada yang salah, mohon dikoreksi.

Happy reading.

.
.
.

Tiga bulan pernikahan Aruna dan Rio berjalan, perlahan Aruna mulai bisa menerima janin dalam kandungannya. Bagaimanapun, janin itu tidak bersalah. Dia berhak hidup, meski entah kehidupan seperti apa nanti yang bisa Aruna berikan untuknya. Perut yang mulai terlihat buncit di usia empat bulan, membuat Aruna tersenyum di depan cermin. Jangan tanyakan bagaimana hubungannya dengan Rio, tak ada perkembangan berarti selain Rio yang sedikit melunak padanya.

Ting!

082199*****
Bagaimana kabarmu?

Sebuah pesan dari nomor asing membuat Aruna mengernyit, siapa pemilik nomor itu. Aruna memilih mengabaikannya, hingga sebuah pesan lain muncul.

Aku minta maaf.

Sebuah kata yang membuat pikiran Aruna tergelitik, sebenarnya apa maksud pesan ini. Jarinya perlahan mengetikkan balasan, namun ia urungkan untuk mengirim. Aruna memilih beranjak untuk memasak menu makan siang meskipun ia hanya akan memakannya sendiri.

***

Sebuah ketukan pintu tak sabaran membuat perhatian Aruna yang baru saja selesai menyiapkan makan siang teralih pada pintu utama. Tak ingin terlalu lama, Aruna segera membuka pintu untuk tahu siapa yang berkunjung di tengah hari seperti ini, Rio sedang di kantor rasanya tak mungkin ada yang mencarinya.

"Ya?" Tubuh Aruna membeku melihat seseorang yang telah berdiri di hadapannya dengan pandangan tak terbaca.

"Boleh aku masuk?" Sebuah pertanyaan menyadarkannya. Orang di depannya sungguh apik melakonkan peran dengan menunjukkan senyum ramah.

"Ta ... tapi Mas Rio...," belum selesai ucapannya, tiba-tiba orang di depannya menerobos masuk begitu saja hingga membuat badan Aruna terhuyung ke samping namun untungnya masih bisa menyeimbangkan kembali tubuhnya.

"Wah, masih sama rupanya." orang itu melihat ke penjuru ruang tamu.

"Ada keperluan apa?" tanya Aruna ketika dirinya sudah mulai bisa menguasai diri.

"Ternyata kamu cukup peka juga ya. Aku nggak akan basa-basi lagi. Lepasin Rio. Tinggalin dia secepatnya." Shila berkata dengan nada penuh ancaman.

"Maaf," ucap Aruna.

"Harusnya aku yang ada di posisi kamu sekarang. Sudah cukup aku kasih waktu kamu sama Rio. Tinggalin dia, atau ...," Shila berkata seraya maju selangkah mendekat pada Aruna kemudian memandang wanita itu dengan penuh intimidasi dari atas hingga berhenti di bagian perut Aruna.

Aruna seketika mendekap perutnya sendiri. Ia takut jika Shila membahayakan calon anaknya.

"Kamu tahu, aku bisa melakukan apa aja buat ambil apa yang seharusnya jadi milik aku! Kamu harus ingat itu!" Shila yang diliputi emosi tiba-tiba mendorong Aruna hingga istri Rio itu jatuh terduduk di lantai hingga punggungnya terantuk pada sofa di belakangnya kemudian meninggalkan Aruna begitu saja. Kejadian yang begitu cepat tak memberi kesempatan pada Aruna untuk mempertahankan dirinya.

Aruna terlihat mengerang kesakitan, rasa kram menjalar hingga ia refleks mendekap perutnya berharap tak terjadi apapun pada janin dalam kandungan. Rasa sakit di perut menjalar ke hati ketika sedikit cairan merah merembes di antara kedua pangkal pahanya, Aruna menangis berharap Tuhan memberikan pertolongan padanya.

"Runa!" sebuah suara mengiringi tubuh Aruna yang kian lemah menahan sakit.

***

"Bagaimana, dok?" Pertanyaan dengan nada khawatir yang terdengar jelas menyambut ketika dokter mengijinkannya masuk setelah beberapa lama menunggu di luar.

"Syukurlah janinnya masih bisa diselamatkan karena pendarahan yang dialami tidak terlalu parah, tidak ada gumpalan dan jaringan yang keluar, serta hasil USG yang dilakukan menunjukkan semua masih baik-baik. Ibu Aruna hanya mengalami syok dan perlu banyak istirahat untuk segera pulih, tapi maaf, perlu saya sampaikan jika kondisi kandungan ibu Aruna sekarang dalam keadaan lemah. Kejadian berulang sekali lagi, berpeluang besar menyebabkan keguguran. Usahakan dijaga dengan lebih hati-hati lagi." Penjelasan singkat dipaparkan oleh sang dokter hingga tak berapa lama kemudian dokter obgyn itu undur diri.

***

Juni menatap nanar pada Aruna yang telah dipindahkan ke ruang rawat setelah mendapat pertolongan di ruang IGD. Niatnya untuk memberi kejutan pada Aruna malah membuatnya terkejut sendiri ketika mendapati pintu rumah yang terbuka serta Aruna yang telah terduduk di lantai dengan ringisan kesakitan sambil memeluk perutnya sendiri. Tadi, ia sempat menjelaskan pada Aruna mengenai keadaan wanita itu hingga sebuah raut kelegaan muncul di paras ayu mantan karyawan suaminya itu setelah mendengar jika kandungannya selamat.

"Aruna dan anaknya akan baik-baik saja. Kamu tenang ya. Oh ya, Udah ngabarin suaminya?" Bian masuk lalu memeluk pundak istrinya, sebelumnya ia telah memulangkan anak-anaknya terlebih dahulu lalu kembali menyusul Juni ke rumah sakit.

"Udah, Mas. Aku sedih liat Runa begini." Juni mendongak menatap ke arah suaminya, mencari kekuatan.

"Enggak apa, Aruna pasti akan nemuin kebahagiaannya suatu saat nanti." Bian tersenyum serta mengusap pundak Juni yang berada dalam rengkuhannya.

Tak lama kemudian, suara pintu yang terbuka membuat keduanya mengalihkan perhatian, terlihat Rio dengan napas terengah di ambang pintu. Juni menyingkir agar Rio bisa mendekat ke arah ranjang tempat Aruna tertidur.

"Terima kasih," ucap Rio singkat tanpa memutus pandangannya dari wajah Aruna.

"Sebaiknya lebih hati-hati menjaganya. Kandungannya lemah." Juni menjelaskan.

Tak ada lagi yang buka suara di antara mereka, hingga Juni mengatakan hal yang tak terduga.

"Aruna butuh perhatian, bebannya terlalu berat. Dia nggak hanya butuh status," ucap Juni dengan mengepalkan tangannya.

Dirinya dan Aruna memiliki nasib yang sama, korban pemerkosaan yang berujung kehamilan, namun ia merasa sedikit lebih beruntung karena Bian bertanggung jawab dengan perbuatannya meski dengan cara yang tak mudah. Sedangkan Aruna merupakan korban dari pria yang tak bertanggung jawab, hingga ia malah bertemu mantan kekasih sebagai penolong yang mengambil semua tanggung jawab itu, meski dengan sikap yang tak bisa Aruna terka maksudnya. Semua terlalu rumit untuk Aruna.

Belum sempat Rio menanyakan maksud ucapan Juni, suara lirih Aruna mengalihkan perhatiannya.

"Mas?" Aruna sedikit terkejut mendapati kehadiran Rio.

"Iya, kenapa bisa begini?" Rio semakin mendekat pada ranjang kemudian mendudukkan diri di kursi samping ranjang Aruna.

"Aku ... aku nggak sengaja kepleset," cicit Aruna. Sekali lagi ia terpaksa berbohong, kejujurannya hanya akan menambah masalah yang ia terima dari orang yang tak suka dengan kehadirannya dalam hidup Rio.

"Run," Juni terdengar ingin protes, namun Bian menahannya seraya menggelengkan kepala.

Mereka tahu kemungkinan apa yang telah terjadi, meski tak semua mereka lihat, tapi mereka juga tidak memiliki hak untuk mencampuri kehidupan rumah tangga Aruna dan Rio. Biarkan keduanya menyimpan ini sampai menemukan bukti yang kuat untuk Aruna.

Melihat apa yang Bian lakukan, Juni kemudian mundur dan memilih berpamitan dengan alasan anak-anak yang akan rewel jika ditinggal terlalu lama, hingga menyisakan Aruna dan Rio dalam ruang rawat.

"Mas nggak balik ke kantor?" Setelah Rio menyuapi dirinya tanpa mengatakan apa pun, Aruna mulai buka suara mengingat jam makan siang telah terlewat satu jam lebih.

"Istirahat saja, bentar lagi Mama datang sebelum aku balik ke kantor ambil kerjaan." Rio membenarkan selimut Aruna, kemudian berbalik menuju sofa tak jauh dari ranjang.

Hening, tak ada lagi yang bersuara. Keduanya terlarut dalam pikiran masing-masing, entah apa yang keduanya pikirkan sekarang.

...

Bukan Cinta KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang