Bagian 3

1.4K 269 39
                                    

Mendudukkan diri di samping jendela yang entah sejak kapan menjadi tempat favoritnya semenjak tinggal di sini, Aruna lagi-lagi termenung  sepulang dari rumah sakit. Hatinya kembali berdenyut nyeri saat ia mengingat hal yang tak seharusnya ia lihat di sana. Bukan karena hasil pemeriksaan yang dilakukannya tadi, melainkan sebuah pemandangan yang terasa menyesakkan.

Ia selalu berpikiran jika salah dirinya sendiri karena berada di posisinya sekarang. Namun apa mau dikata, semua sudah terlanjur. Tak seharusnya ia marah atau kecewa,  namun sisi hatinya tersentil melihat pria itu di sana dengan wanita yang sepertinya sangat berarti. Aruna hanya bisa berpasrah kemana takdir akan membawanya kali ini.

***

"Sudah, cukup Mas!" Suara seorang wanita dengan nada yang sedikit tinggi mengalihkan perhatian Aruna ketika berada di ruang tunggu yang terletak tak jauh dari taman rumah sakit.

Tampak seorang wanita yang duduk di atas kursi roda sedang berusaha menarik tangannya dari genggaman pria yang kini berlutut di hadapan wanita tersebut. Aruna mengernyit menajamkan pandangannya yang seperti pernah melihat wanita itu, tapi entah di mana. Lalu matanya semakin menyipit kala melihat pria yang masih berlutut dengan menggenggam tangan si wanita, Aruna merasa seperti mengenal jelas postur itu.

Entah apa yang mereka bicarakan, Aruna semakin jauh dengan pikirannya sendiri. Mencoba mengingat wajah tak asing di depan sana.

Deg!

Jantungnya berdetak hebat saat ia mulai mengingat siapa wanita itu, ditambah sosok pria yang kini terlihat jelas ketika berdiri serta berbalik sambil mendorong kursi roda menjauh dari taman. Pria berkemeja hitam dengan lengan yang telah tergulung, kemeja yang sama seperti yang disiapkan Aruna untuk suaminya pagi tadi.

"Mas Rio," Aruna bergumam pelan dengan sebelah tangan yang mencengkeram erat tali tas kecilnya.

Aruna kini mengingat, wanita itu adalah Kayshila Widuri -Shila-, wanita berparas ayu yang merupakan tunangan Rio bahkan seharusnya telah menjadi istri Rio. Hubungan yang terjalin selama hampir setahun harus berakhir ketika Rio memilih menikahi Aruna sebulan yang lalu.

***

Entah berapa lama Aruna tertidur, hingga ia membuka mata, didapatinya awan biru yang telah berubah menjadi kemerahan serta sinar matahari yang semakin meredup. Menegakkan badan, Aruna melihat pada jam dinding yang ternyata menunjukkan hampir jam lima sore, ternyata ia terlalu lama tertidur. Mengingat jika suaminya akan segera pulang, Aruna bergegas membersihkan diri untuk sembahyang serta memasak makan malam dengan menghiraukan rasa pening yang tiba-tiba datang.

Selesai melakukan semuanya, Aruna duduk di depan meja makan untuk mengistirahatkan diri sembari menunggu suaminya pulang. Namun hingga waktu menunjukkan pukul sembilan malam, tak ada sedikitpun tanda-tanda kedatangan Rio. Berulang kali Aruna mengecek ponsel yang sedari tadi tergeletak di dekatnya, tapi tak ada satu pun pesan dari sang suami. Sementara untuk sekedar menelepon dan menanyakan keberadaan Rio, Aruna sama sekali tidak berani. Ia takut jika dirinya hanya akan mengusik suaminya karena Rio sudah cukup menolongnya selama ini.

Aruna masih menunggu, hingga beberapa saat kemudian terdengar deru mesin mobil milik Rio yang memasuki pekarangan rumah. Aruna beranjak dari duduknya untuk bergegas membuka pintu.

"Kamu ... Belum tidur?" Rio terkejut ketika mendapati Aruna yang membukakan pintu, ia lihat jam tangannya yang ternyata hampir menunjukkan tengah malam.

"Belum, aku ... nungguin kamu. Makan malam udah aku siapin, sebentar aku panasin dulu biar enak. Mas ganti baju saja dulu." Aruna mengambil tas kerja Rio dan mengikuti langkah Rio yang berada di depannya.

"Nggak perlu, aku ... sudah makan tadi." Rio berkata dengan nada bersalah.

"Oh, kalau begitu Mas Rio mandi terus istirahat saja. Aku akan bereskan meja makannya." Aruna tersenyum melihat wajah Rio seakan dia baik-baik saja, meletakkan tas yang semula ia pegang ke atas sofa, kemudian berbelok meninggalkan Rio tanpa mendengar jawaban suaminya itu. Tanpa Rio tahu, diam-diam Aruna tersenyum miris. Bagaimana dia bisa lupa jika mungkin seharian ini Rio bersama Shila.

Rio mengamati Aruna dari tempatnya berdiri, terselip rasa bersalah di hatinya. Namun, ia tak bisa berkata jujur pada Aruna saat ini karena ada hal yang belum ia selesaikan.

Di dapur, rasa pening semakin hebat menghantam kepala Aruna. Memegang pinggiran wastafel, Aruna berusaha sekuat mungkin untuk mempertahankan kesadarannya. Hingga tubuhnya merosot ke bawah, terkulai dengan mata terpejam rapat.

***

Mengerjap, Aruna sedikit meringis memegang kepalanya dengan sebelah tangan. Kamar? Sejak kapan dia berada di sini? Ia ingat terakhir ia sedang membereskan dapur setelah menyimpan masakannya dalam kulkas.

"Sudah bangun?"

Aruna mengernyit mendengar suara Rio yang bernada dingin, namun ia tak ingin menanggapi apa pun.

"Kenapa tidak makan?" Rio mendekat dan duduk di bangku rias yang berada di samping ranjang.

"Aku....," Dalam batin, Aruna mulai merutuki dirinya sendiri. Ia baru sadar jika sedari siang hingga sekarang ia belum memasukkan makanan apa pun dalam mulut. Tangannya tanpa sadar mencengkram kaos yang menutupi bagian perut, ia melupakan satu hal.

"Makanlah ... dan minum vitaminnya." Rio menyodorkan sesuap nasi dengan sebelah tangan membawa piring yang entah kapan berada di sana. Aruna hanya diam menuruti Rio, hingga makannya tandas serta vitamin telah ia minum. 

"Jaga dia, Runa. Dia sama sekali nggak bersalah." Perkataan Rio yang disertai usapan lembut di atas perutnya membuat air mata Aruna tumpah. Kenapa takdir seolah mempermainkannya sedemikian rupa? Pria yang dulu ia tinggalkan malah ada untuknya hingga sekarang.  Namun seolah tersadar, ia tak ingin terlena dengan sikap Rio. Apa yang ia saksikan tadi siang, besar kemungkinan jika Rio tak pernah sedikitpun menyisakan cinta untuknya.

...

Bukan Cinta KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang