Udara dingin malam ini tak sedikit pun mengusik wanita yang masih setia duduk di teras rumah. Sejak mertuanya berpamitan pulang, Aruna tak sedikitpun bergerak dari bangku yang sejak tadi didudukinya. Sesekali ia terlihat mengembuskan napasnya berat. Entah apa yang mengusik hatinya saat ini.
"Kenapa masih di luar?" Sebuah suara membuatnya sedikit terlonjak kaget. Sejak kapan pria ini ada di sampingnya? Ia terlalu larut dalam pikirannya sampai tak mengetahui kepulangan sang suami.
"Mas?" Aruna beranjak dari duduknya, mensejajarkan diri di depan Rio.
"Masuk, udara malam nggak baik buat kamu." Rio berjalan meninggalkan Aruna masuk ke rumah.
"Aku siapin makan malam buat kamu, kamu mandi dulu aja, Mas." Aruna membelokkan diri ke arah dapur, namun langkahnya terhenti ketika Rio menolaknya.
"Nggak perlu, aku udah makan di luar." Hanya itu yang Rio ucapkan sebelum berlalu begitu saja menuju kamarnya.
Rio menolaknya meski tidak dengan cara yang kasar. Aruna lagi-lagi menghela napasnya, kenapa seperti ini? Bahkan ia tak meminta di posisi seperti ini.
***
"Aku hamil," gumaman dengan pandangan kosong serta air mata yang mengalir deras disertai isakan, membuat seorang pria yang duduk di sebelah ranjang terbelalak kaget. Hal ini sudah ia duga sebelumnya, namun mendengar langsung kabar itu dari Aruna sendiri membuat ia tak lagi bisa berkata apa pun.
Tak ada suara lain dalam ruangan itu, hanya isakan ringkih Aruna yang terdengar menyayat. Nasibnya sungguh tak baik, ia kini semakin hancur tak bersisa. Menelungkupkan kepala di atas lutut yang terlipat bertutup selimut, mencengkeram erat sisi selimut tanpa peduli rembesan darah yang kembali mengalir melewati pori-pori perban yang membalut pergelangan tangan kirinya. Ia berharap tak lagi ada detak tersisa yang membawanya melihat dunia.
"Aku akan membantu kamu buat nemuin Bram. Dia harus tanggung jawab dengan semua ini." Rio mengepalkan tangannya.
"Bram pergi. Aku nggak bisa nemuin dia. Aku benar-benar hancur." Napas Aruna tersengal. Tak ada apa pun lagi yang bersisa darinya, orang tuanya meninggal saat dia masih remaja sementara Sonya, sang bibi yang selama ini bersamanya telah mengusir dirinya setelah apa yang ia alami dianggap sebagai aib oleh sang bibi.
Dengan napas yang semakin tersengal menahan sesak, tubuh Aruna perlahan terkulai. Matanya berkunang-kunang kemudian pandangannya menggelap, matanya terpejam erat, berharap tak akan lagi bisa terbuka.
Kepanikan melanda Rio ketika mendapati Aruna yang mendadak pingsan dengan luka yang kini terlihat jelas kembali mengeluarkan banyak darah. Tak ada kata baik-baik saja untuk wanita yang kini terkulai pucat tanpa daya di depannya.
Rio tak tahu lagi harus berbuat apa. Ia berharap Aruna akan bertahan dan melewati ini semua. Aruna tak boleh pergi dengan keadaan seperti ini.
***
Bunyi ponsel yang berdering membuat Aruna memutuskan pandangan dari kelinci-kelinci di depannya. Entah sudah berapa lama ia duduk sendiri di sini, mencari ketenangan yang tak jua ia dapatkan, menikmati udara pagi namun malah terasa menyesakkan ketika ia kembali mendapati memori silam yang berkelebat tanpa bisa ia kendalikan.
Aruna menggeser tombol hijau ketika nama ibu mertuanya tertera di ponsel itu. Ada apa ibu mertuanya menelepon sepagi ini? Pasalnya, baru kemarin mama Widya pulang dengan meninggalkan banyak wejangan untuknya.
"Run, hari ini jadwal kamu periksa kandungan kan?" Suara ibu mertuanya di seberang mengingatkan Aruna kembali akan keadaannya.
"Iya, Ma. Runa sudah bikin janji sama dokter."
"Jangan lupa ajak Rio buat antar kamu." Aruna melihat ke arah jam dinding yang terlihat dari tempatnya sekarang duduk karena hanya tersekat kaca tembus pandang.
"Mas Rio ada meeting, Ma. Runa nanti naik taksi aja, kalau sempat nanti Mas Rio mau nyusul katanya." Menggigit kuku telunjuk, Aruna mencari alasan agar ibu mertuanya tak sedikitpun merasa curiga dan menanyakan hal lain.
"Apa mau Mama temenin aja ke dokternya? Biar kamu nggak sendirian. Sekalian Mama mau lihat gimana perkembangan cucu Mama." Nada yang sarat kekhawatiran terdengar dari mama Widya di seberang sana.
"Eh, nggak usah, Ma. Mama pasti capek. Jarak dari rumah ke sini kan juga enggak deket Ma, belum kalau nanti macet. Runa bisa sendiri kok Ma. Dan ... Papa pun pasti lebih butuh Mama sekarang." Cicit Aruna pada perkataan terakhirnya. Ia ingat bagaimana sang papa mertua terkena serangan jantung saat itu.
"Yaudah, kamu hati-hati di jalan ya, Nak. Nanti jangan lupa kabari Mama. Jaga kesehatan, minum susunya juga jangan lupa. Semoga kalian sehat selalu. Kalau gitu Mama tutup dulu ya."
Layar yang menggelap menandakan panggilan telah terputus setelah sang mertua terdengar mengucapkan salam. Lagi-lagi Aruna menundukkan wajah, mengembuskan napasnya berat. Setelah semua yang terjadi, kenapa mama mertuanya malah sebaik ini padanya?
Cucunya, bagaimana bisa ibu mertuanya dengan mudah menganggap janin ini sebagai cucunya, mengingat bagaimana ia bisa hadir dalam rahim Aruna. Haruskah ia bahagia, ketika kemungkinan banyak hati yang tersakiti di sini. Aruna tergugu dalam tangisnya, ternyata masih ada yang menyayangi dirinya dan bayinya setelah apa yang terjadi.
...
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Cinta Kedua
RomansaAruna, ia mencintai Rio namun cintanya berubah ketika ia tergoda pesona pria lain. Hingga suatu ketika keadaan membuat Aruna secara tiba-tiba bersanding dengan Rio yang sebenarnya sudah akan menikah dengan jodoh yang sebelumnya telah disiapkan sang...