Bagian 8

1.2K 267 42
                                    

"Yo, kamu jenguk aku ya?" Suara manja Shila terdengar melalui sambungan telepon sore ini.

"Maaf. Aku nggak bisa, La." Rio merapikan tas kerjanya. Hari ini dia berniat pulang lebih awal untuk menemani Aruna memeriksakan kandungannya.

"Plis, Yo. Aku belum sembuh, apalagi kakiku belum benar-benar pulih." Shila sedikit memelas agar Rio menurutinya.

"Tolong ngerti, La. Kita udah bahas ini kemarin. Semua udah nggak kayak dulu." Rio medesah, kembali duduk serta memijit pelipisnya dengan sebelah tangan.

"Tapi, aku kayak gini juga karena kamu! Kamu jahat, Yo!" Sambungan telepon seketika terputus setelah Shila menumpahkan kekesalannya.

Dengan kasar Rio meletakkan ponselnya. Sudah cukup ia bersabar, kenapa Shila tak juga mengerti. Rio telah memilih bertanggung jawab pada Aruna, bahkan seharusnya Aruna telah bersamanya sejak lama. Biarkan orang mengira Rio bodoh dengan menerima kembali mantan pacar yang telah menjadi "bekas" orang, namun tak ia pungkiri jika ia masih mencintai Aruna.

***

Malam itu, setelah mendapat telepon dari Shila karena gadis itu takut sendirian sementara sang mama terpaksa pulang untuk mengurus ayahnya yang terserang stroke saat mendengar penikahan puterinya batal seminggu lalu, membuat Rio bergegas menemui gadis itu. Setahun bersama membuat Rio cukup paham akan satu hal itu, Shila tak suka keheningan.

"Maafin aku, La. Kita emang nggak seharusnya bersama. Andai dulu aku bisa nolak perjodohan itu, mungkin nggak akan sejauh ini kamu ikut terseret," ucap Rio frustasi saat sebelumnya Shila terus mendesaknya meninggalkan Aruna.

"Aku cinta kamu, Yo. Tolong tinggalin dia." Tangis Shila pecah, membuat Rio semakin kacau.

"Maaf, tapi aku beneran nggak bisa, La. Kamu pasti akan dapat jodoh yang lebih baik, dan itu bukan aku. Karena nyatanya aku masih cinta sama dia. Maafin aku." Rio perlahan melepaskan genggaman tangan Shila.

"Yo ... Jangan pergi, malam ini aja tolong temenin aku, aku takut." Permintaan Shila membuat Rio tak tega meninggalkan wanita itu sendiri sebelum berhasil memejamkan matanya. Biarlah malam ini ia menemani Shila hingga mantan calon istrinya itu tertidur, sebelum ia menyerahkan penjagaannya pada perawat, tanpa Rio tahu jika saat Rio tak sengaja tertidur, Shila diam-diam mengirimkan sebuah foto dan peringatan pada Aruna.

***

Tak ingin terlalu lama larut dalam pikirannya, Rio putuskan untuk segera turun ke lobi. Aruna sebelumnya memberitahu jika wanita itu kini berada di lobi. Aruna memilih menunggu Rio di kantor dengan alasan rumah sakitnya lebih dekat jika dari kantor Rio dari pada dari rumah mereka.

"Ayo," ucap Rio ketika menemukan keberadaan Aruna yang saat ini tengah melihat ke luar jendela.

Tanpa banyak bicara, mereka menuju rumah sakit tempat Aruna biasa memeriksakan kandungannya. Rio melupakan satu hal, atau bahkan tak mengetahui jika Aruna dan Shila berada dalam rumah sakit yang sama. Ini kali pertama Rio menemani sang istri cek kandungan.

"Di sini?" Rio mengernyit saat ia menyadari jika rumah sakit tempat mereka berada sekarang adalah rumah sakit yang sama dengan yang beberapa kali ia kunjungi minggu ini.

"Iya," ucap Aruna seraya melepas sabuk pengamannya.

Melihat Aruna keluar dari mobil, Rio segera mengikutinya. Satu yang jadi harapannya, agar mereka tak bertemu dengan Shila, meski kemungkinan itu sangat tipis mengingat letak poli kandungan yang ternyata berada tak jauh dari ruang rawat inap di mana Shila dirawat.

"Masih lama?" Rio menayakan ketika Aruna baru saja kembali dari meja pendaftaran pasien.

"Dua pasien lagi," jawab Aruna mendudukkan diri di dekat Rio.

Mendengar jawaban Aruna, Rio hanya menganggukkan kepala kemudian melihat sekelilingnya, banyak ibu hamil yang terlihat bahagia didampingi pasangannya, bahkan tak sedikit pula dari mereka nampak antusias saat bercerita satu sama lain. Sangat kontras dengan Aruna yang lebih banyak diam saat ini menatap keluar jendela entah tengah memikirkan apa, tak ada sedikitpun raut kebahagiaan dari wajahnya. Rio tahu ini tak akan mudah bagi Aruna, wanita itu menjadi korban dan mengandung janin hasil pemerkosaan yang Bram lakukan. Rasanya ia ingin merengkuh istrinya untuk memberi dukungan, namun ia tak bisa. Benar mereka telah menikah, tapi itu hanya untuk sekedar status.

"Ibu Aruna." Panggilan perawat menyadarkan keduanya yang telah sama-sama terlarut dalam pikiran masing-masing.

Beriringan mereka masuk dalam ruang periksa, tanpa menyadari kehadiran seseorang di atas kursi roda dengan pandangan penuh kebencian pada Aruna serta tangan yang telah terkepal kuat tak jauh dari tempat mereka menunggu sejak tadi.

"Aku nggak ikhlas, kamu harus ngrasain apa yang aku rasain sekarang," geram wanita itu.

***

"Gimana?" Suara Widya antusias ketika Aruna membuka pintu.

"Mama?" Aruna terkejut ketika suara mama mertuanya menyambut saat dirinya masuk rumah.

"Iya, Mama sengaja nggak kasih kabar kalo mau ke sini. Ayo makan dulu. Mama sengaja ke sini karena tadi Mama masak makanan kesukaan Rio, kita makan bareng yuk. Udah Mama siapin juga. Sebentar, Mama panggil Papa dulu," ucap Widya antusias menuntun Aruna duduk di meja makan kemudian melenggang ke arah kamar tamu untuk memanggil sang suami yang sedang beristirahat di sana.

Tak selang berapa lama, Widya dan Wirya menghampiri Aruna yang telah duduk di meja makan, disusul Rio yang turun dari lantai atas dengan keadaan lebih segar.

Suasana makan malam kembali terasa menegangkan bagi Aruna, ini kali kedua dia berhadapan dengan sang papa mertua yang ia tahu tak begitu menyukainya. Tak banyak pembicaraan selain Widya yang menanyakan soal kondisi kehamilan Aruna.

Sesaat setelah makan malam selesai dan kedua orang tua yang memilih pulang, Aruna membereskan meja makan dan dapur sebelum beranjak tidur.

***

"Sudah minun vitaminnya?" Ketika Aruna masuk kamar, Rio bertanya tanpa mengalihkan pandangan dari laptop yang menyala di pangkuannya.

"Sudah," jawab Aruna singkat menuju ke arah lemari untuk mengambil pakaian ganti. Ia butuh menyegarkan badan dan pikirannya.

Tak ada lagi pembicaraan hingga Aruna menghilang di balik pintu kamar mandi. Rio kini mengalihkan pandangan sepenuhnya pada pintu kamar mandi yang tertutup.

"Sampai kapan akan seperti ini?" gumam Rio.

Entah berapa lama dirinya termenung hingga tak menyadari Aruna yang kini telah berdiri dihadapannya dengan raut bertanya.

"Melamun?"

"Tidak, cuma mikirin kerjaan." Rio buru-buru mengalihkan fokusnya lagi pada layar yang telah menggelap, mencoba menepis pikiran tentang apa yang akan ia lakukan setelah ini.

Tak ingin mengusik Rio, Aruna lebih memilih segera merebahkan dirinya di ranjang. Sebenarnya ia ingin mengatakan suatu hal pada Rio, namun urung ketika melihat Rio yang sepertinya sedang memikirkan hal lain. Biarlah esok saja ia bicara, semoga sebuah titik terang akan segera ia temukan.

...

Maaf aku telat up. Semoga chapter ini nggak bikin kalian tambah bingung....
Vote komen follow d terima dengan senang hati.

Happy reading....

Bukan Cinta KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang