Lama nggak up cerita. Buat yang masih baca, aku sarankan baca beberapa part sebelumnya ya. maaf typo bertebaran.
.
.
Rio setia menggenggam tangan Aruna, dirinya banyak bersyukur pada Tuhan ketika sekali lagi masih memberikan keselamatan pada Aruna serta janin dalam kandungan wanita itu. Rasa bersalah serta khawatir menumpuk saat ia melihat wajah pucat sang istri yang masih tertidur akibat pengaruh obat yang dokter berikan. Rio bahkan baru menyadari pipi Aruna yang terlihat lebih tirus alih-alih semakin tembam di masa kehamilannya.
Sebelah tangan Rio membelai pipi Aruna, dalam hati ia menggumamkan maaf atas semua sikap yang harus ia lakukan untuk melindungi sang istri. Dokter menyarankan Aruna menjalani bedrest total, keadaan kandungannya sekarang tidak memungkinkan untuk Aruna menjalani kegiatan seperti biasa. Entah apa yang akan terjadi jika tadi ia dan Bian terlambat membawa Aruna ke rumah sakit.
Merasakan usapan ringan di pipinya, membuat Aruna mulai terusik. Perlahan ia membuka mata, menyesuaikan penglihatan dengan silau cahaya lampu yang pertama menyapa, namun matanya kembali terpejam.
"Mas?" Panggil Aruna saat ia merasakan sebuah tangan menggenggamnya.
"Kamu butuh apa?" Rio menegakkan tubuhnya ketika menyadari sang istri telah sepenuhnya sadar.
"Haus," gumam Aruna.
Dengan sigap Rio mengambil segelas air putih di atas nakas, membantu Aruna minum dengan bantuan sebuah sedotan, kemudian meletakkan kembali pada tempatnya semula.
"Aku panggil perawat dulu," ucap Rio seraya berdiri, menekan tombol merah yang menggantung di dekat kepala ranjang pasien.
Tak selang berapa lama, seorang perawat masuk dalam ruang rawat untuk memeriksa keadaan Aruna, memberi sedikit penjelasan mengenai keadaan Aruna yang mulai membaik kemudian undur diri.
"Istirahat lagi aja. Masih malam." Rio membenarkan selimut Aruna dan mengganti lampu ruangan dengan lampu yang lebih redup agar istrinya merasa nyaman.
"Jam berapa?" Aruna mengernyit, sudah berapa lama dirinya tertidur.
"Masih jam 2. Kamu perlu banyak istirahat, kalo ada apa-apa kamu bisa bilang sama aku."
"Maaf merepotkan Mas lagi," gumam Aruna seraya memalingkan wajahnya pada tirai yang menutup rapat jendela.
Ketika mengingat suatu hal yang membuatnya sampai seperti ini, rasa malu kian menggerogoti setiap aliran darahnya, tak ada lagi kata kuat yang tersisa dari dirinya sebagai penghiburan. Semua telah lebur tanpa menyisakan sedikit celah untuk hatinya berpegang bahwa semua akan baik-baik saja.
Foto itu, bulir keringat di dahi Aruna kian tak terbendung meski suhu pendingin ruangan cukup dingin untuk orang normal. Ingatan Aruna seketika terserap pada sebuah protret yang tengah menampilkan dirinya dalam keadaan yang jauh dari kata baik, serta sebuah foto lain dengan potret seorang pria yang sangat Aruna kenal tengah berpelukan dengan seorang wanita namun tidak dapat Aruna lihat wajahnya, akan tetapi sebuah undangan yang dipegang oleh si wanita lah yang membuat Aruna tersenyum miris.
Bram? Apakah pria itu yang melakukannya, tapi untuk apa? Bahkan ketika Aruna mencoba meminta pertanggung jawaban, pria itu sama sekali tidak bisa ditemukan keberadaannya. Lalu, apa yang Bram inginkan sekarang? Apa hubungannya dengan foto Rio yang turut dikirimkan padanya? Tangan Aruna mengepal, wajahnya perlahan memerah tanda menahan amarah yang entah pada siapa dia tujukan.
Menyadari perubahan mimik wajah Aruna membuat rasa khawatir menyergap diri Rio, namun untuk menanyakan apa yang sedang istrinya pikirkan, pria itu seolah kehilangan suara. Dia putuskan untuk memberi ruang dan waktu sejenak pada Aruna untuk menenangkan diri, mungkin nanti ia akan menanyakan jika suasana hati Aruna terlihat lebih baik.
"Jangan berpikir terlalu berat, kamu dan dia butuh istirahat. Aku ada di luar kalau kamu butuh sesuatu." Rio berbalik setelah menunggu beberapa saat namun tak ada respon apapun dari sang istri.
Sesaat setelah pintu tertutup, Aruna mengalihkan padangannya ke arah pintu kemudian mengembuskan napasnya pelan. Kenapa semua seakan menjadi rumit untuknya sekarang? Perasaannya? entahlah, ia sendiri tidak tau apa yang sebenarnya dirinya rasakan sekarang. Ya, dia sangat terkejut melihat foto itu, bahkan harga diri yang ia miliki telah hilang berasama kehormatannya. Namun saat melihat foto yang lainnya, rasa yang selama ini berusaha ia tepis justru kian terasa. Cemburu? Pantaskah dia cemburu jika justru dia lah yang hadir diantara Rio dan Shila. Sisi lain, ada rasa kecewa yang Aruna rasakan atas sikap Rio. Kenapa Rio tidak mengatakan apapun padanya tentang itu semua? Lalu untuk apa Rio memintanya bertahan jika pria itu sendiri sebentar lagi akan memulai kehidupan baru dengan wanita yang seharusnya?
***
"Dimana Aruna?"
Juni yang pagi itu hendak menjenguk Aruna, bertanya pada Rio ketika berpapasan dengan Rio yang hendak menuju kafetaria tak jauh dari lorong ruang rawat inap. Pada akhirnya, Juni yang telah menceritakan apa yang tidak sengaja ia temukan pada sang suami, memilih datang lebih pagi setelah Bian menawarkan diri menjaga anak-anak mereka agar Juni dapat menemui Aruna.
"Runa sedang istirahat." Rio menghentikan langkahnya, mengernyit ketika raut khawatir yang Juni pancarkan tak bisa disembunyikan.
"Ada yang mau aku bicarakan. Penting."
"Kita ke sana," tunjuk Rio kemudian mengarahkan langkah mereka pada sudut yang terlihat sepi agar mereka bisa lebih leluasa bicara.
"Ada apa?" tanya Rio begitu mendudukkan diri di depan Juni.
"Bagaimana keadaan Aruna?"
Sebenarnya Juni sudah mendengar sekilas keadaa Aruna memalui informasi yang Bian berikan kemarin, namun ia harus memastikan sendiri sekaligus memberitahukan penyebab Aruna sampai berada di tempat ini pada Rio.
"Keadaannya tidak memungkinkan, Aruna harus istirahat total."
"Ini. Sepertinya kamu harus selesaiin semua secepatnya," ucap Juni seraya menyerahkan ponsel milik Aruna ke hadapan Rio.
Rio yang melihat ponsel Aruna berada di depannya hanya mengernyit tak mengerti dengan maksud Juni. Apa hubungan antara ponsel itu dengan keadaan Aruna saat ini?
"Ada seseorang yang mengirimi Aruna sebuah pesan. Buka saja."
Rio meraih ponsel yang tergeletak di hadapannya, perlahan membuka aplikasi pesan singkat dan perlahan menggulirkan layar tepat pada nomor tanpa nama. Mata Rio membelalak begitu melihat isi pesan dari nomor tersebut, darahnya seketika mendidih, rahangnya mengeras melihat apa yang menjadi kemungkinan besar penyebab Aruna mengalami hal seperti ini.
Sialan! umpat Rio dalam hati. Pria itu mengutuk siapa saja yang tega melakukan teror seperti ini pada Aruna. Rio bertekad untuk menemukan dalang serta alasan dibalik semua ini. Jika memang pengirim itu adalah Bram, Rio akan mencari tahu dimana pria itu berada dan untuk apa dia kembali muncul setelah sekian lama menghilang.
"Selesaikan atau lebih baik biarkan Runa pergi dari hidup kamu. Aruna hanya butuh bahagia bukan malah tekanan seperti ini." Suara Juni seakan menarik kembali jiwa Rio dari pikirannya.
Melepaskan Aruna? Itu hal yang tidak akan dia lakukan. Rio lebih baik kehilangan semuanya, daripada ia harus kembali kehilangan Aruna dari hidupnya. Katakan dia egois, tapi sudah cukup dirinya mengalah pada keadaan selama ini.
...
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Cinta Kedua
RomanceAruna, ia mencintai Rio namun cintanya berubah ketika ia tergoda pesona pria lain. Hingga suatu ketika keadaan membuat Aruna secara tiba-tiba bersanding dengan Rio yang sebenarnya sudah akan menikah dengan jodoh yang sebelumnya telah disiapkan sang...