19 - Malam Bencana

29 14 0
                                    

TEMAN-TEMANNYA perlahan mencerna cerita Arietha di sepanjang jalan keluar. Tentang dia dengan identitas samaran, mulai dari memakai alat perubah warna rambut dan mata, sampai pemalsuan namanya. Ramirez sudah tahu sejak awal, Ethan tidak terlalu acuh, dan Lloyd tampaknya telah menduga. Dia memang pernah melihat ketika tanpa sengaja alat pengubah warna milik Arietha konslet dan sekejap membuat matanya kembali biru. Meski hanya sekejap, Lloyd sempat memergoki itu.

"Benar apa yang Arietha katakan. Jika memang chip lain masih utuh di dalam tubuhnya, maka Endsburg akan lebih cepat mendeteksi keberadaan Haydens." Ramirez mengisi senapan lasernya dengan baterai, ketika mereka tiba di pekarangan belakang gedung asrama.

Salju masih berguguran dari langit hitam, tempat tidak ada bulan ataupun bintang melainkan awan yang bergulung-gulung. Anak-anak telah keluar dari penjara bawah tanah, bergilir mendapatkan mantel-mantel hangat yang dibawa Arietha dan Alphia. Malam musim dingin itu mereka berkumpul di luar gedung, tampak amat sangat janggal terutama saat Lloyd dan Ethan, bersama anak lain, datang menggotong senjata. Hanya gazebo yang menjadi tempat perlindungan sementara.

"Apa Anda yakin kita mampu membawa seluruh siswa ke markas Anda di Scramton?" tanya Ramirez. "Organisasi terlarang itu memang belum jelas siapa pemimpinnya, atau apakah mereka dapat menyerang. Kita tidak tahu jika mereka akan datang dan melawan, atau tidak sama sekali."

"Dan kendaraan," Ethan menggenggam tangannya yang telah memerah kedinginan, "tentu kita bisa hipotermia kapan pun jika menempuh jalan kaki saat salju turun begini."

"Haydens memiliki bus, parkir di belakang gedung utama," kata Mr. Libra Smith. "Tak perlu kunci. Kita bisa menggunakannya."

"Baiklah." Ramirez mengangguk pada teman-temannya. "Segera kalian bangunkan semua anak, lalu pergi. Aku, Mr. Smith dan sisa anak lain mengurus busnya."

Alphia, Arietha, Lloyd dan Ethan segera bangkit, dengan senjata telah tergantung di pundak, digenggam, atau disimpan dalam saku masing-masing. Beberapa anak yang lain ikut membantu mereka agar gerakan lebih cepat. Namun, ketika mereka baru turun dari gazebo dan separuh berlari menuju gedung asrama, sekelompok orang berjubah hitam telah tersebar di sana. Mengepung mereka dari berbagai arah, dengan jarak renggang yang mengancam.

Lloyd berdecak, tangannya terkepal kuat sebelum merogoh senapan laser yang tersemat di pinggangnya. Alphia mengangkat revolver lasernya menyentuh pundak, Arietha menurunkan busur elektriknya yang praktis. Semua anak yang telah memegang senjata mereka bersiaga, Mr. Libra Smith turun ke posisi terdepan, diikuti Ramirez. Kedua kelompok itu kita berhadap-hadapan, meski kelompok mereka yang lebih tersudut.

Orang-orang serba hitam dan kelam itu, dari balik tudung mereka tampak sinar mata yang berkilat. Dalam sekejap, mereka tidak lagi sendirian. Makhluk-makhluk aneh berdatangan dari segala penjuru. Alphia terbelalak tak percaya, bahkan tak terkecuali semua orang yang menyaksikan. Patung-patung ogre yang terpajang di banyak selasar gedung Haydens menjadi hidup, mereka bergerak dengan cakar tajam dan mata menyala. Alphia baru sadar bahwa itu bukan patung.

"Animatronik," gumam Alphia. Ethan pun juga berpikir demikian. Persis seperti yang ada di rumah Albert, tempat mereka tinggal selama ini.

Udara semakin kering, namun berembus dingin hingga menusuk setiap tulang, dan banyak jantung yang berdegup-degup. Salah satu orang berjubah hitam melangkah ke depan, tertawa.

"Lihatlah kalian. Tikus-tikus yang keluar dari lubang."

Alphia menelan ludah. Dia dan teman-temannya sudah menerka dalam kecemasan tentang seseorang yang bicara itu. Mr. Kruz. Arietha sendiri sangat tidak percaya jika guru kimia mereka ternyata seorang pemimpin organisasi biadab. Di balik senyum ramahnya, sajak-sajak yang ia lantunkan. Siapa sangka?

Mereka sudah siap menghadapi jika memang itu guru mereka sendiri. Anak-anak menjejakkan kaki mereka semakin kuat, bersiap mengambil ancang. Tapi, mereka dikejutkan ketika orang itu menurunkan tudungnya. Semua napas tercekat. Mr. Libra Smith menggelengkan kepala. "Anda," bisiknya.

Seorang pria berdiri di antara gerombolan yang mengepung mereka, tertawa jahat. Alphia sangat mengenal rambut putih yang berantakan itu, menyatu dengan salju yang terus menghujan mereka tanpa ampun. Matanya berkilat seperti batu kristal darah yang retak. Dia menyeringai.

"Anak-anak muridku," ejeknya. "Sejak awal aku menyukai kalian yang berambisi dengan senjata-senjata. Aku mendukung kalian. Tapi, sekarang kalian mengarahkan senjata itu kepadaku. Jadi, aku juga membawa pasukan."

"Kita tidak ingin ada pertumpahan darah antara sesama penghuni Haydens," kata Mr. Libra Smith. "Aku perintahkan Anda untuk menghentikan ini semua. Tarik para pasukan Anda, terlepas dari siapa pun kalian, lalu kita diskusikan secara dewasa."

"Diskusi?" Mr. Latriel berlagak ingin muntah. "Kalian sengaja mengulur waktu. Kita tidak bisa buang-buang waktu demi mereka. Mereka hanya akan memberi tuah jika kita memberi mereka hadiah. Ini sebuah balas budi, Pak Tua."

Mr. Libra Smith tahu tidak ada gunanya lagi untuk membuat mereka sadar tentang penyimpangan paham itu, dan mereka sudah tidak mendengar perintahnya. Pasukan telah berhadap-hadapan. Tapi, pasukan di sisinya adalah anak-anak didik Haydens. Apakah jika ada salah satu yang mati, dia bisa mempertanggungjawabkan? Ini sebuah risiko yang amat besar.

"Sekali lagi aku peringatkan, Latriel," Mr. Libra Smith menyalang lurus ke arahnya, "ada banyak siswa yang masih terlelap di sana, guru-guru yang masih ingin mendidik mereka. Kita tidak akan bertarung antar sesama dan membuat kehancuran sendiri. Ingat, kita memiliki musuh yang nyata. Endsburg di luar sana akan mengalahkan kita dengan mudah jika seperti ini jadinya."

"Ha!" Mr. Latriel terbahak-bahak. "Omong kosong apa? Biarkan saja mereka datang, kita semua pasti juga akan mati!"

Mendadak sebuah letupan pistol terdengar. Ethan menembakkan pistol bermesiunya ke langit malam, dengan wajah datarnya yang menyiratkan keberangan. "Maaf, Mr. Smith. Tapi aku capek mendengar bacotannya." Semua orang di sana sekonyong-konyong tercengang ke arah Ethan, yang kemudian menembak lagi dan menantang,

"Ayo maju."

Mr. Latriel menyeringai, pasukannya bersiap. "Kalian yang meminta—"

BIP, BIP, BIP, BIP ....

Dalam keheningan itu, terdengar bunyi aneh yang berulang terus menerus. Arietha menelan ludah, jantungnya berdetak sangat kencang ketika seluruh pasang mata tertuju padanya. Bibirnya gemetar seiring tangannya menyentuh bagian leher yang terasa panas.

Chip berdenging.

"Mereka datang."

Sebuah ledakan besar mengejutkan setiap orang yang berada di dalam wilayah Haydens, baik yang tergegau di dalam asrama atau di pekarangan belakang. Ledakan keras bertubi-tubi menyerang kubah pelindung Haydens hingga hancur lebur, puing-puingnya menghantam sebagian gedung hingga terbongkar. Anak-anak itu heboh ketika tank-tank keras menerobos masuk melindas apa pun. Tentara android berderap berat, dengan revolver lasernya menyerang sadis.

"Pasang senjata kalian!" pekik Lloyd. "Kita sudah dilatih, kita habisi mereka semua! Maju!"

Semua anak terpantik semangatnya, mereka memekikkan nama Adargan. Mr. Latriel berdecak murka, dia kerahkan pasukannya untuk tetap menyerang mereka. Dalam sekejap, gelanggang kosong Haydens pada puncak malam itu penuh kerusuhan dahsyat. Pertempuran besar berlangsung sengit, antara manusia, android, animatronik, dengan desau peluru, desing laser, dan tembakan keras. Beberapa orang yang masih di dalam gedung tetap bersembunyi, sebagian yang lain keluar dengan mental mereka yang kokoh.

Alphia dan Arietha berada dalam jarak yang dekat, bersama Ramirez, Lloyd dan Ethan, mereka bersiap merangsek maju. Ketika seorang komandan berdiri di atas tank baja, menembakkan senapannya ke langit malam. Dia berteriak penuh amarah.

"TEMUKAN BOCAH BRENGSEK ITU!"

Arietha tersentak. Dia hafal dan tahu suara yang familiar.

Itu Marcus, komandan tentara android yang menyerang keluarganya, yang menjadikannya militer intermiran, yang merusak kehidupannya sampai ke akar-akar. Sekarang dia datang mengejar Arietha hingga ke Scramton ... hanya untuk membunuhnya. Kali ini sungguh tidak akan Marcus lepaskan.

[]

I'm HomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang