Rencana & Takdir

14 0 0
                                    

Malam hari pun tiba. Tenda-tenda didirikan untuk tempat istirahat dan tempat pengobatan prajurit terluka yang berhasil selamat.

Mahesa berada di tendanya bersama Waluya.

Ia malam itu mengeluarkan keris Nagih Janji yang diberikan oleh Ki Brata untuk digunakan. Ia akan berusaha berkomunikasi dengan orang-orang Padepokan Lawangsukma untuk berkumpul.

Satu per satu dari mereka pun datang berkumpul dan duduk membentuk lingkaran di tenda Mahesa.

Aryasana, Kencanawuning, Tombak Hitam datang lebih dahulu. Kemudian tak lama Ranggawuni, Ki Brata dan Sekar juga datang.

Waluya sengaja duduk disebelah Kakungnya*. Ia sangat menaruh hormat pada Ki Brata, keluarga satu-satunya yang ia miliki.

"Kalian kukumpulkan disini karena aku membutuhkan saran kalian," ucap Mahesa memulai pembicaraan.

Lanjutnya, "Seperti yang kalian tahu, kekuatan Kerajaan Wijaya rupanya tidak sebanding dengan Kerajaan Chalon atau Kerajaan Kasogi. Aku sangat berduka prajuritku banyak yang kehilangan nyawa di peperangan. Apakah kalian memiliki suatu saran yang dapat kugunakan untuk memenangkan perang ini?"

"Mahesa, dengan kemampuan seperti ini, kita tidak akan memenangkan perang ini, apakah kita harus meminta pertolongan Raden Ranjana dari Nawangsari?" ucap Tombak Hitam.

Memang benar Raden Mahesa masih bisa meminta pertolongan kepada Raden Ranjana.

"Kenapa tidak meminta bantuan Kerajaan Enggala dan Kerajaan Mandu terlabih dahulu? Itu adalah kerajaan yang sudah menjadi bagian Kerajaan Wijaya," ucap Ranggawuni.

"Aku sesungguhnya sudah meminta bantuan pasukan. Esok, pasukan Enggala datang. Tapi kita tidak bisa berharap banyak, karena hampir semua prajuritnya sudah mengabdi pada keraton Kerajaan Wijaya sekarang. Mandu, tidak menjawab permohonan bantuanku" jawab Mahesa.

"Bagaimana dengan Kerajaan Nara, Gusti Raden Ajeng Rara Sekar?" tanya Tombak Hitam.

"Maaf, Tombak Hitam, Gusti Raden, Kerajaan Nara atau Gunungmas tidak pernah bersedia ikut berperang secara langsung. Namun kami janji membantu," terang Sekar.

"Kerajaan Mandu? Apakah Kerajaan Mandu merupakan Kerajaan daerah utara?" tanya Tombak Hitam menagih.

Waluya menjawabnya dengan anggukan.

"Benar, kerajaan itu adalah kerajaan Indungku Indrawati, ibu Raden Amurti Wijaya," Mahesa menambahkan.

"Aku melihat Amurti dan beberapa orang berlari ke arah utara, ke Lawanglor bersama Garwa Ampeyan Prabu Dharma, saat aku akan menuju tempatmu, Raden. Mungkin mereka menuju Kerjaan Mandu," ucap Tombak Hitam.

"Ya , mereka memang melarikan diri," sahut Waluya.

"Kalau begitu, tidak bisa diharapkan sama sekali. Kang Mas Gusti Raden harus meminta pertolongan Raden Renjana dan Nawangsari. Kita tak bisa menghadapi mereka dengan hanya seperti ini," ucap Aryasana.

Mahesa bersiul. Seekor merpati masuk. Ia menuliskan permohonan bantuan di sebuah kertas. Ia meminta Renjana menghubunginya dengan keris Nagih Janji nanti. Kemudian menyelipkan kertas itu di kaki merpati.

Mahesa kemudian melihat mata merpati itu sambil menyebut-nyebut Renjana di Kerajaan Nawangsari. Warna mata merpati yang semula hitam menjadi ungu. Ia kemudian terbang meninggalkan tenda.

Itu adalah sihir sederhana. Mahesa sangat ahli dalam urusan mempengaruhi pikiran merpati. Merpati itu tidak pernah salah alamat.

"Tentu kita harus bertahan sampai Kerajaan Nawangsari datang membantu. Yang penting Gustin Raden Mahesa, buatlah dirimu esok selamat. Kau adalah penerus takhta, kalau kau selamat, walaupun Dharma kalah, kau masih bisa menyelamatkan Kerjaan Wijaya," ucap Tombak Hitam.

"Benar, Kang Mas Gusti Raden, walaupun aku tidak berharap Gusti Prabu dapat dikalahkan, tapi aku berharap kau selamat, karena kuncinya ada padamu," Ucap Aryasana.

"Aku tidak berharap Rama ataupun Kerjaan Wijaya kalah. Rama masih sangat muda untuk meninggalkan aku," ucap Raden Mahesa dengan mata berkaca-kaca.

Lanjutnya, "Tapi Rama juga berpesan demikian. Seakan tahu ia akan kalah. Seakan tahu kematiannya dekat."

"Anakku, bukankah Dharma akan senang meninggalkan dunia sebagai ksatria? Apakah ia tidak berpesan demikian?" Ucap Ki Brata.

"Benar Ki. Benar sekali. Tapi bagaimana aku bisa menerima hal itu?"

"Raden, kuatkan dirimu. Semua makhluk akan menemui ajal. Apalagi dalam sebuah perang," Sekar menjawab.

"Aku sudah menyiapkan sebuah rencana melarikan diri bila kita kalah. Kita harus menyadari, bahwa kekuatan kita saat ini sudah tidak mungkin menang," ucap Sekar melanjutkan.

Jelas Sekar, "Aku berusaha menyiapkan sebuah perisai sihir. Agar Gusti Raden dan Gusti Prabu tidak terluka. Tapi, jika Penguasa Jagad berkehendak lain, aku sudah menyiapkan garuda untuk menyelamatkanmu dan membawamu ke Kerajaan Nara."

***

Sekar dan Ranggawuni kembali ke Keraton Kanoman menjelang tengah malam.

Ki Brata juga melakukan hal yang sama. Kembali ke tempatnya berjaga.

"Kang," ucap Rara Sekar dengan mata terpejam.

"Iya Kanjeng Rara?" ucap Ranggawuni kemudian membuka matanya ke arah Rara Sekar yang kemudian juga membuka matanya.

"Aku sudah melihatnya," ucap Sekar. Lanjutnya, "Kita akan kalah."

"Sudah kuduga."

"Kerajaan Kasogi tidak pernah kalah selama menakhlukkan kerajaan lain. Mereka salalu bisa dengan baik melihat peluang dan membuat strategi kemenangan," lanjut Ranggawuni.

"Kang, hubungkan aku dengan Rama," pinta Sekar pada Ranggawuni.

"Kenapa kau minta tolong padaku, kau bisa menghubunginya sendiri," jawab Ranggawuni.

Ranggawuni tidak jarang menggunakan bahasa pergaulan biasa dengan Sekar. Mereka benar-benar seperti kakak adik di Kerajaan Nara.

"Sudahlah, menurut saja," paksa Sekar.

Keduanya kemudian kembali bersila dan memfokuskan pikiran mereka. Mereka berdoa untuk disambungkan dengan Prabu Airlangga.

Airlangga menjawab panggilan putrinya dan Ranggawuni. Disitu Sekar bercerita mengenai penglihatannya yang mengerikan. Ia bertanya, apakah boleh seorang penyihir merubah takdir dari Penguasa Jagad?

Jawaban Airlangga tidak terlalu mengejutkan. Sekar dapat menebaknya.

Manusia tidak bisa mengubah takdir dan memanjangkan kehidupan orang lain. Ada konsekuensi yang harus ditanggung jika melakukannya.

Sementara manusia hanya bisa berusaha sebaik mungkin menyelamatkan apa yang bisa diselamatkan.

Takdir berupa kehidupan dan kematian sudah tetap. Tidak akan bisa diubah tanpa ritual sihir gelap dengan banyak korban.

Begitulah kira-kira penjelasan Airlangga. Sekar hanya melihat satu kematian kejam, yang akan membuat Kerajaan Wijaya Nagari kalah.

Hanya satu kepala. Ia tidak melihat sebab mengapa keadaan itu terjadi. Atau akibat dari keadaan itu. Sekar hanya melihat satu kematian yang pasti.

Yang jelas Sekar akan berdoa menguatkan perisai sihirnya untuk orang itu. Orang yang dilihatnya akan menjemput kematian.

***

Kakung = Kakek

Penobatan Prabu MahesaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang