Pelarian

5 1 0
                                    

Pada suasana yang kacau balau di Lapangan Lentera, kabut juga turun di sekitar keraton Kerjaan Wijaya Nagari. Firasat Kanjeng Ratu Kirana Garwa Padmi, benar adanya. Mereka akan kalah. Ia segera menuliskan surat sambil menangis untuk dikirim ke Kerajaan Enggala. Kepada Ayahnya itu, ia meminta untuk menyatakan diri merdeka dari Kerajaan Wijaya Nagari, kerena jika tidak, kerajaan kecil mereka akan berada di wilayah kekuasaan Kerjaan Chalon Kasogi yang bengis. Begitupun dengan daerah Lawangsukma dan Kerajaan Nara Gunung Mas.

Ki Brata berjalan terseok sambil dituntun oleh Ratu Kirana. Mereka baru saja memenangkan perlawan dengan Ashina Shoi yang melarikan diri dari kamarnya. Ashina Shoi berhasil melukai Ki Brata, namun Ki Brata berhasil melumpuhkannya. Tidak sampai disitu, saat Ratu Kirana dan Ki Brata hendak mencari stempel kerajaan, mereka juga harus menghadapi para prajurit yang berkhianat. Mereka sedang merencanakan plot untuk mengambil alih takhta dengan mencuri stempel kerajaan. Sekali lagi Ki Brata dan Ratu Kirana berhasil mengalahkan mereka. Namun Ki Brata terkena tombak pada bagian vitalnya. 

Perlahan tapi pasti mereka segera pergi menuju ke tempat persembunyian Balai Kanoman demi menghindari prajurit prajurit pengkhianat. Ratu Kirana yakin masih banyak prajurit pemberontak yang berada di istana untuk mencari kesempatan menyerang mereka. Tidak lama setelah Ratu Kirana dan Ki Brata tiba, Aryasana dan Kencanawuning datang. Mereka juga memiliki banyak luka namun tidak separah Mahesa yang dibawa oleh Sekar dan Waluya dalam keadaan pingsan. Hampir seluruh tubuhnya terluka terutama kaki yang berdarah-darah karena sabetan pedang yang cukup dalam.

"Oh, apa yang terjadi dengan anakku?" Ratu Kirana menangis meraung sambil menangis kencang.

Sementara Waluya mendekati kakungnya yang masih terdapat mata tombak di dada dan sabetan di perutnya. Waluya tahu, luka mata tombak dan sabetan di Kakungnya itu adalah pertanda kematiannya. Tidak akan ada orang yang selamat jika mata tombaknya telah menembus paru-paru dan jantungnya. Waluya mulai meneteskan air mata, padahal ia adalah orang yang jarang menangis.

"Tidak apa-apa cucuku. Setidaknya aku akan mati sebagai ksatria. Aku akan malu bertemu anak-anakku yang pemberani jika aku mati dengan tenang karena usia tua. Aku sangat bangga pada anak dan cucuku. Kau dan orang tuamu adalah orang yang tulus, setia dan hebat."

Waluya hanya mendengarkan Ki Brata di sebelahnya tanpa berkata apapun. Hanya air matanya tidak bisa berhenti.

Sambil mengusap air mata yang terus mengalir, dengan tegas Sekar berkata pada semua orang, "Aku sudah menyerahkan pembersihan arena dan pencarian informasi selanjutnya pada Kang Rangga dan Tombak Hitam. Untuk saat ini, pilihan terbaik adalah mengungsi ke wilayah kerajaan Nara. Semuanya bersiaplah, aku akan melakukan sihir teleportasi."

Mereka semua kemudian berteleportasi ke kerajaan Nara.

***

Mahesa memaksakan diri membuka matanya. Ia sudah terbaring di ruangan yang remang-remang. Terlihat dari sela-sela jendela matahari mulai terbenam. Ia hendak bangun namun tertahan karena seluruh tubuh terutama kakinya terasa sakit. Melihat luka-luka dan keadaannya, Mahesa mulai menangis sesenggukan dengan melirihkan suaranya. Lengan tangannya yang kekar menutupi wajahnya yang berlinang air mata. Ingatan mengenai kejadian beberapa waktu yang lalu terlintas jelas.

Mahesa dan Kerajaan Wijaya Nagari telah kalah berperang. Itu adalah kenyataan pahit yang harus ia terima. Ia tak tahu harus bagaimana setelah ini, pikirannya kosong. Hanya ada amarah dan dendam yang tersisa di hatinya. 

Seseorang mengetuk pintu kamar Mahesa dari luar. Tok Tok.

"Saya Waluya Mulya, mohon izin untuk memasuki kamar Gusti Raden," ucap suara yang familiar itu. Mahesa tidak membalasnya, namun orang di balik itu tetap masuk ke dalam kamarnya.

Penobatan Prabu MahesaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang