Bale Kasepuhan

39 3 0
                                    

"Gusti Raden Mahesa Wijaya ing Nagari Mugislamet sudah tiba di Bale Kasepuhan," ucap Waluya sambil membesarkan suara agar terdengar di Bale Kasepuhan yang sudah ramai.

Orang-orang yang mendengarnya segera menaruh hormat dengan menundukkan tubuh lebih rendah dari Mahesa yang berjalan jongkok menuju singgasana yang telah diduduki oleh Ramanya, Gusti Prabu Dharma Wijaya ing Nagari Mugislamet. Waluya juga berjalan jongkok mengikuti Mahesa di belakang. Raden harus memberi hormat dahulu kepada gusti prabu sebelum duduk di tempat duduknya yang terletak di sebalah kanan gusti prabu.

"Salam hormat, Rama Gusti Prabu, mugi slamet ing jagad," ucap Mahesa sambil menangkupkan kedua tangannya bersimpuh di depan Rama Prabu.

Dharma menyentuh kedua bahu Mahesa dan menyuruhnya duduk di kursi sebelah kanan. Tepat sebelah kiri Dharma telah diisi Kirana, Ibunda Mahesa. Mahesa juga menghormat kepada Kirana sebelum kemudian duduk menghadap para dewan, mantri dan adipati Kerajaan Wijaya Nagari. Anggota keluarga utama bertempat di atas undakan panggung sedikit tinggi dibanding orang-orang lain yang duduk di lantai lebih rendah. Di undakan itu terdapat singgasana dari kayu yang sudah sangat tua.

Sebelah kiri Dharma tapi tidak di atas undakan panggung, ada tempat duduk selir dan anak-anak prabu. Tentu saja, itu tempat Indrawati dan Amurti duduk yang berhadapan dengan para dewan, mantri dan adipati. Sementara itu, pengawal pribadi seperti Waluya, akan berdiri di belakang tuannya untuk terus bersiaga apabila terjadi sesuatu.

Sebuah singgasana tua berupa kursi kayu tua yang besar, megah dan indah dengan ukiran matahari teratai dan garuda berada di atas panggung. Bagian atas sandaran kursi itu terdapat ukiran huruf jawa yang dibaca sebagai 'Sepi ing pamprih, rame ing gawe' yang berarti, tidak pamer, banyak bekerja keras. Semua itu adalah pengingat agar siapapun yang duduk di atas kursi itu tidak sombong dan terus bekerja keras.

Singgahsana yang tetap sama dari masa ke masa, dari leluhur kerajaan yang dulunya bukan bernama Kerajaan Wijaya. Bagian tempat duduknya di modifikasi, terdapat bantalan duduk dari kain beludru merah berisi kapuk empuk. Terlihat sederhana namun tidak ada yang boleh duduk disana selain prabu, atau jika ada yang berani menempati kursi itu selain prabu, maka hukumannya adalah penggal kepala.

Kursi itu konon memiliki cerita legenda magis. Ia tidak mau atau tidak bisa diduduki oleh seorang yang bukan garis keturunan penerus tahta resmi yang harus keturunan pendiri kerajaan. Tidak tahu benar atau salah, tapi tidak ada satu pun yang berani mendudukinya selain prabu. Setiap tiga bulan sekali, kursi itu selalu dipoles ramuan anti rayap khusus yang juga membuat kayunya nampak berkilauan.

Tidak lama berselang, Amurti beserta istri dan abdinya datang. Amurti segera memberi hormat dan bersimpuh di depan Dharma dan mengucapkan salam hormat kepada semua orang termasuk pada Mahesa. Mahesa tidak dekat dengan Amurti. Sejak kecil, Mahesa dipersiapkan dan dilatih untuk menjadi prabu yang tangguh dan cakap. Waktunya habis untuk belajar. Kesibukan memisahkan kedekatannya dengan Amurti.

Setelah semua dirasa hadir, Dharma segera memulai pertemuan hari itu untuk membahas mengenai petisi menolak Mahesa naik tahta.

"Salam semuanya, mugi slamet Wijaya Nagari. Aku meminta kalian berkumpul semua disini, para ksatria garuda pelindung kerajaan, untuk mendiskusikan perihal keinginanku untuk turun tahta. Aku tahu sebagian dari kalian terkejut, sebagian lainnya sudah mengerti mengapa aku berniat untuk mengundurkan diri di usiaku yang belum cukup tua,

"Seumur jagung aku di atas tahta ini tapi aku punya alasan kenapa aku ingin mengundurkan diri. Lagipula anak-anakku, sudah siap meneruskan gelar ini. Aku dengar, ada sebuah petisi yang ditujukan kepada Mahesa mengenai pernikahan. Adakah yang bisa menjelaskannya padaku?"

"Salam hormat dan mohon ampun Gusti Prabu, saya mendengar bahwa terdapat sebuah pupuh yang dijadikan acuan dalam petisi ini. Katanya, seorang gusti raden harus menikah terlebih dahulu sebelum naik tahta. Saya pula mendengar bahwa petisi itu sudah ditandatangani oleh seperempat rakyat, termasuk di kadipaten saya. Namun sejatinya saya kurang tahu-menahu, siapa dan bagaimana petisi ini tersebar," jawab Adipati Lawanglor, ayah mertua Amurti, besan Prabu Dharma.

Dharma diam sejenak sebelum menjawab, " Tidak ada petisi dan pupuh seperti ini. Prabu terdahulu tidak ada yang membuat aturan mengenai pernikahan sebelum naik tahta!"

"Namun Gusti Prabu, tidak ada prabu yang naik tahta tanpa istri sebelumnya. Itu sebabnya pertimbangkanlah petisi ini. Ini suara rakyat," ucap salah seorang patih pada jaman dahulu.

Suasana Bale Kasepuhan menjadi hangat karena ucapan Dharma. Banyak pejabat tinggi yang mulai berdiskusi dengan teman sebelahnya mengenai hal ini.

"Salam hormat dan mohon ampun Gusti Prabu. Walaupun petisi ini janggal, kita harus melihat asal pupuh yang dijadikan acuan ini. Apabila benar ada aturan yang telah lama dilupakan, ada baiknya kita memenuhi adat dan menikahkan Gusti raden Mahesa sebelum diangkat menjadi prabu," ucap Aryasana, anak dari Rara Wanawangi, adik Dharma, sekaligus Adipati Lawangsukma.

Mahesa memperhatikan dengan seksama sahabatnya sekaligus sepupu terdekatnya ini. Suasana pertemuan riuh sejenak karena memperdebatkan bagaimana Mahesa menikah sebelum diangkat naik tahta. Ada yang berasumsi dijodohkan, ada pula yang menebak Mahesa akan memilih sendiri jodohnya, seperti pemilihan-pemilihan yang lain.

Seorang mantan patih dari masa kakek Raden Mahesa, Patih Bang Ijo mengangkat tangan lagi dan memohon ampun, "Gusti Prabu, ini adalah hal yang baru dalam Kerajaan Wijaya, sebelumnya tidak pernah ada petisi semacam ini. Hal ini berarti sebagian rakyat sudah tidak percaya pada Gusti Prabu maupun Gusti Raden. Saya tahu ini bukanlah hal yang sopan untuk dikatakan, namun ada baiknya kita berhati-hati."

Suasana pertemuan kembali riuh membicarakan pendapat Patih Bang Ijo yang dihormati semua orang karena jasa dan usia tuanya. Usia Patih Bang Ijo lebih dari sembilan puluh tahun. Kini ia menjadi salah satu penasihat dukun kerajaan yang sangat disegani. Tapi pernyataan itu mengandung kontroversi dan opini yang belum jelas kebenarannya.

Mahesa mendengarkan obrolan itu sambil mengusap dagunya. Ia melihat Ramanya menoleh padanya beberapa kali, tanda ia kesulitan. Terlihat ada raut wajah khawatir di wajah Dharma. Mahesa mengangguk, mengisyaratkan sesuatu pada Rama Prabu yang juga dibalas dengan anggukan.

"Ehem," Mahesa mulai berbicara sambil berdeham. Semua langsung diam dan menoleh ke sumber suara, Mahesa.

Mahesa melanjutkan, "Sebelumnya, aku ingin mengucapkan terimakasih banyak pada seluruh ksatria kerajaan yang sudah berada disini. Paman-paman sekalian, aku sangat berterimakasih atas tenaga dan pikiran yang sudah kalian curahkan bagi Kerajaan Wijaya. Aku tahu, rakyat adalah raja bagi seorang penguasa,

"Pertama, aku harap kita bisa meneliti mengenai kebenaran pupuh itu, namun kurasa aku memang akan menikah dengan atau tanpa petisi ini. Aku harap dengan apa yang aku umumkan hari ini bisa menjawab keresahan kita semua dan menjadi jawaban bagi rakyat. Tidak perlu berlebihan sampai menjadi penanda bahwa rakyat sudah tidak percaya pada kita. Aku akan menikah sebelum dinobatkan menjadi prabu, bila memang Rama memberi kepercayaan gelarnya padaku. Terima kasih."

Pertemuan itu kembali riuh dengan bisik-bisik. Mahesa memandangi petinggi-petinggi itu. Terlihat wajah Patih Bang Ijo sedikit mengeras, menahan amarah karena ucapan Mahesa yang seakan menyindirnya. Aryasana memandang sepupunya sambil mengangguk dan tidak berkata apa-apa pada siapapun.

Dharma mulai berbicara lagi untuk mengisi kekosongan pembicaraan sebelum menjadi semakin ramai, "Baiklah, dengan apa yang sudah dijawab oleh Ananda Mahesa, maka pertemuan ini ditutup dan dibubarkan terlebih dahulu. Terima kasih semuanya. Saya harap semuanya akan baik-baik saja. Tentu sebagai Prabu, aku akan mengumumkan kelanjutan dari keputusan hari ini kepada kalian semua. Hidup Kerajaan Wijaya Nagari."

Semua orang menjawab 'Hidup' sambil menunduk dan menaruh tangan kanannya di dada kiri. Prabu Dharma berjalan masuk kedalam ruangan di dibalik kursi singgahsananya diikuti oleh kedua istrinya, Raden Mahesa, Raden Amurti dengan pasangannya dan abdi mereka masing-masing.

Adat-nya akan selalu seperti itu. Selesai menggelar rapat di Bale Kasepuhan, anggota keluarga akan masuk kedalam ruangan itu dan minum teh bersama. Setelah semua orang pergi dari Bale Kasepuhan dan teh telah habis, mereka akan kembali ke keraton masing-masing. Dharma pun mengajak keluarganya memasuki ruangan itu.

Penobatan Prabu MahesaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang