Lapangan Lentera

14 2 0
                                    

Peringatan! Cerita mengandung adegan kekerasan.

****

Pasukan Chalon dihadang oleh prajurit Dharma di sebuah lapangan perbatasan Kadipaten Limasan dengan Kadipaten Kauman sebelum Keraton. Wilayah itu disebut Lapangan Lentera.

Prajurit Dharma dipimpin oleh Dharma dan panglima Kerjaan Wijaya saat ini, yaitu Patih Ragajampi.

Katanya, Raja Chalon sudah membawa seribu pasukan.

Pasukan Dharma siap atau  tidak harus berperang. Sudah lama sejak Wijaya Nagari terakhir berperang. Pasukan mereka tidak ada apa-apanya dibandingkan pasukan Raja Chalon yang bersenjata lengkap.

Prajurit Chalon memakai zirah rompi besi lengkap. Mereka memakai pelindung kepala dari besi. Dilengkapi pedang dan tombak yang terlihat tajam mengkilat.

Seluruh pasukan Kerajaan Wijaya Nagari dikonsentrasikan di tempat peperangan yaitu Lapangan Lentera. Jumlah mereka sangat kurang jika dibanding musuh. Hampir mustahil untuk melihat kemenangan.

Seluruh penduduk yang berada di dekat wilayah Lapangan Lentera sudah diamankan.

Dharma sudah bersiap di baris depan dengan Mahesa di sebelahnya. Baju zirah yang tidak pernah dipakai membuatnya terlihat gagah.

"Ini kali pertama aku memakai baju zirah perangku, Ananda. Aku sangatlah senang baju ini masih cukup," Dharma mengajak Mahesa berbincang di sela-sela suasana yang tegang.

"Benar, Rama terlihat sangat gagah!" Setuju Mahesa. Mahesa menangkap keceriaan dari nada bicara Dharma.

"Ngomong-ngomong Mahesa, aku tidak melihat Dimasmu, Amurti. Kemana dia?" Dharma bertanya sambil mencari sosok itu. Tapi tak kunjung menemukannya.

Mahesa diam. Ia tidak tahu harus menjawab apa sekarang. Waluya yang ada di sebelahnya terus menunduk. Ia juga tidak berani menjawab meski mengetahui kebenarannya.

Dharma melanjutkan, "Mungkin Amurti takut. Yah, tidak semua ksatria pemberani. Mungkin aku terlalu lembek padanya. Mahesa, aku punya sebuah permintaan."

"Apa itu Rama?"

"Jika aku mati dan kita kalah di perang ini, kau harus menyelamatkan diri. Menyelamatkan dirimu sama artinya dengan menyelamatkan Wijaya Nagari. Dengar, aku sangat bangga bila aku mati sebagai seorang ksatria sejati di medan perang."

"Rama, tidak seharusnya mengatakan hal-hal demikian!" Cegah Mahesa.

Mahesa tidak tahu harus bagaimana jika Ramanya mati. Ia tidak pernah mengharapkan hal itu terjadi. Mereka harus menang meskipun dengan kemungkinan kecil.

"Anakku, kau sangat berani, cerdas dan bijak. Aku tahu kau juga berpikir kita akan kalah, kan? Ingat permintaan Rama ini," tegas Dharma.

Mahesa tidak menampik. Ia tahu dalam situasi yang seperti ini. Pasukan yang tidak siap dan banyak yang melarikan diri, ditambah pihak musuh yang sangat banyak dan kuat. Hampir tidak ada kemungkinan.

Tidak lama, Chalon dan pasukannya tiba di Lapangan Lentera.

"Chalon, kenapa kau tidak sopan, datang ke kerajaanku dengan membawa pasukan sebanyak ini?" Teriak Dharma.

Chalon dan beberapa orang keluar dari kerumunan pasukannya dan mendekat. Dharma, Mahesa, Ragajampi, Gajah Mukti dan Waluya ikut mendekat.

Mereka berhadapan satu sama lain.

"Aku ingin menjemput anakku, sekaligus memaksa Kerajaan Wijaya untuk menikahi putriku dan mengakui Kerajaanku," ucap Raja Chalon dari atas kudanya.

Penobatan Prabu MahesaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang