10

22 7 1
                                    

Akhir musim panas. Titik suhu tertinggi.

Kenapa mereka tak kembali? Hana selalu merenung sendiri.

Dan ia mencoba bertahan dengan sisa-sisa kepercayaan yang disimpan di dalam hati.

Sabar sebentar, sabar sebentar ... mereka tak akan menyakiti.

Namun setelah itu, Hana mendengar kabar, ada teror di Boston.

Sebuah gedung yang menjadi pusat perbelanjaan di sana meledak, pukul sepuluh malam ketika sudah tutup dan meninggalkan beberapa pekerja di dalam sana.

Sebelum itu, seseorang mengatakan lampu di sekitar pusat perbelanjaan padam. Kepanikan muncul, beberapa orang meraba bayangan. Kemudian, terdengar suara ledakan.

Evakuasi digegaskan beberapa menit setelahnya, mungkin seseorang mengontak 911 atau memang dunia memiliki sinyal informasi yang begitu kuat, entah bagaimana. Garis kuning dipasang sepanjang kompleks konstruksi, riuh-rendah kakofoni melayang di mana-mana. Menyesakkan, menyakitkan. Ada percikan darah, aroma hangus yang traumatis, dan asap-asap di berbagai sisi.

Gedung hancur total, lima orang tewas.

Katanya, pelakunya dua orang.

Laki-laki.

Satu pirang, satu hitam.

Berkewarganegaraan Korea Selatan.

Satu-satunya yang terjejak dalam rongga kepala Hana adalah satu ujaran Taehyung, yang telah lama tersimpan di memori otak, untuk kemudian terngiang lagi;

"Dia beruntung aku tak meledakannya dengan nuklir."

Dan Hana tersadar, bahwa ujaran itu bukanlah sebuah omong kosong belaka ....

- KATASTROFE -

Seminggu setelah kabar itu, Hana tak mengalihkan perhatiannya dari surat kabar internasional, situs-situs internasional, juga channel internasional di televisi apartemennya.

Ia absen dari kuliah, memilih berbaring di sofa tanpa ingat makan dan bersih-bersih, menajamkan pendengaran dan menutup mata ketika berita menyiarkan tragedi bom di Boston.

Hari itu adalah minggu terakhir di bulan Juni. Hana masih berbaring di sofa, rintik hujan terdengar di balik jendela yang tertutup tirai, angin malam menyusup lewat sela-sela ventilasi.

Hana merasakan tubuhnya menggigil, berita itu diulang lagi, lagi, dan lagi. Mereka menyebutkan kembali tentang bom nuklir, tentang dua orang yang tertangkap setelah evakuasi untuk kemudian diselidiki. Satu pirang, satu hitam. Berkebangsaan Korea Selatan.

Tapi kini, dengan informasi baru, yakni sebuah inisial.

Hana memejamkan matanya lagi.

" ... After police investigation, they got some new information. The suspects were wellborn in small city in South Korea. And the initial are ... "

Hana menutup telinganya rapat-rapat.

" ... LY and KT."

Sesuatu dalam hatinya hancur.

Ia mematikan televisi. Tak ingin mendengar apa-apa lagi.

Namun, sebelum tayangan dari kubus itu senyap, ia masih mendengar satu kalimat yang diucap lamat oleh si wartawan.

Katanya, mereka berdua akan disidang.

Harusnya Hana dapat mengira dari awal, mereka bukan mahasiswa biasa. Seharusnya ia tahu, Yoongi dan Taehyung terlalu istimewa. Obsesinya pada Fisika, pada reaksi fusi dan rakitan-rakitan nuklir, pada seluruh perbedaannya.

Seharusnya ia tahu lebih awal.

Si kritis dan si jenius. Satu konstruksi yang tak dapat disubtitusi.

Obesesi membekukan semuanya. Bagi mereka, egoisme bukan masalah besar yang berujung kesalahan. Mereka hidup di antara mimpi-mimpi besar yang dirangkum dalam rumus-rumus lusuh di binder Yoongi dan rumus yang tertempel di pintu kamar Taehyung.

Di dalam coretan itu tertulis; Harus diwujudkan. Sebuah keharusan, yang tak penting akhir atau akibatnya.

Sebab ketika semuanya sudah terwujud, kepuasan itu akan datang.

Hal itu akan mereka bayar dengan apa pun.

Apa pun.

Bahkan, dengan nyawa sekalipun.

TO BE CONTINUED.

KATASTROFE【END】Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang