Jawaban Buya Hamka Saat Ditanya Allah Dibahasakan Laki-Laki

30 4 0
                                    




           Pada Majalah Gema Islam No 10 yang terbit pada 15 Juni 1962, Prof Dr Hamka atau yang lebih dikenal dengan  Buya Hamka mendapat pertanyaan dari seorang pembaca bernama Willem Lukas. Pembaca yang menyebutkan beralamat di Banjarmasin itu mempertanyakan mengapa di Alquran banyak terdapat ayat yang menyebutkan zat Allah dengan kata pengganti هو. Willem mencontohkan firman Allah: قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ (Al-Ikhlas : 1)Menurutnya hal itu menunjukkan bahwa tata bahasa (ilmu nahwu) kata huwa itu pengganti orang ketiga laki-laki yang disebut Muzakkar. "Tidakkah itu apriori bertentangan dengan Tauhid dan ayat Alquran sendiri yang berbunyi ليس كمثله سيئ  (Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya/QS: Asy Syura:11) dan  وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ  (dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia/QS: Al Ikhlas:4)".?" tanya Willem. "Bukankah menurut kepercayaan umat Islam Alquran itu kalamullah? Tidakkah amat mustahil dan paradoksal nampaknya di mana ayat-ayatnya berlawanan?" tanya Willem menambahkan.
           Mendapat pertanyaan itu, Buya Hamka meminta agar penanya (Willem Lukas) jangan sampai paradoksal membaca ayat dan mendalami akidah Islam ataubakidah segala agama. Buya Hamka meminta penanya bisa membedakan di antara dasar akidah dengan pemakaian bahasa. Menurut Buya Hamka, dalam tata bahasa Arab, ada kata isim (nama-nama) yang di mudzakar kan (dilaki-lakikan) meskipun dia sendiri bukan laki-laki dan ada pula isim yang di muannaskan, meskipun dia bukan wanita. Misalnya baitun yang artinya rumah. Dia disebut isim muzakkar. "Kata itu sendiri yang muzakkar, yaitu dilaki-lakikan, bukan rumahnya yang Langsung jadi laki-laki. Maka jika kata baitun menjadi orang ketiga, di hukum kan lah dia memakai dhamir Huwa. Padahal Huwa dipakai juga untuk orang-orang laki-laki yang ketiga (dlamir ghaib)," kata Buya Hamka. Kemudian, lanjut Buya Hamka, Tuhan Allah tidaklah laki-laki. Tetapi kalimat Allah dalam perhubungan tata bahasa dijadikan muzakkar (Muzakkar adalah lafadz yang menunjukan laki. laki) Bukan Zat Allah Ta'ala yang diciptakan oleh ahli bahasa menjadi seorang laki-laki. Dalam bahasa Belanda pun, ada isim yang manelijk (dilaki-lakikan) dan vrowelijk (diperempuankan). Yang lucunya pula, disebut buyutun yang menurut hukum bahasa dia dimuannaskan pula dimaksudkan dalam kata yang diwanitakan. Bukan rumah-rumah itu yang beralih kelamin jadi wanita  sebab telah banyak, melainkan menurut hukum tata bahasa segala kalimat jama' adalah muannas. Kecuali muzakkar salim. Yang lebih lucu lagi, kata Buya Hamka, dua kata untuk wanita dan jelas jelas terjadi pada wanita malah dihilangkan tanda wanitanya. Yaitu Hamilun (perempuan hamil) dan Haidlun (perempuan sedang datang bulan). Padahal menurut hukum umum, kejadian-kejadian dan sifat-sifat wanita harus diberi tanda wanitanya (ta’ ta’nits ). "Maka pada hamilun atau haidlun tidak perlu dipakai tanda wanita, sebab memang tidak ada laki-laki yang mengandung dan datang bulan," kata Hamka. Maka, lanjut Buya Hamka, kalimat Allah atau segala sifat-sifat Allah tersusun jadi kata sebagai hayyun, qadirun, ghafurun, dan lain-lain dihukumkan menurut tata bahasa menjadi muzakkar (Dilaki-lakikan) menurut hukum bahasa. Bukan Zat Tuhan Allah yang menjadi laki-laki-laki. Demikianlah pemakaian bahasa Arab dan terdapat juga aturan-aturan tata bahasa menyerupai itu dalam bahasa yang lain. Sehingga, tidak ada orang yang berpikiran lagi karena memakai tata bahasa kita telah paradoksial, kita telah berkacau-balau menjadikan Zat Allah yang Maha Kuasa menjadi laki-laki. Rajulun seorang laki-laki dibahasakanbhuwa. Willem Lukas (penanya) dibahasakan menjadi huwa, baitun (rumah) dibahasakan huwa juga. Qolamun (pena) dibahasakan huwa juga.  Maka, tidak seorang pun yang menyangka bahasa bahasa begitu paradoksial. Sehingga, Allah, rumah, pena, dan Willem Lukas jadi serupa.  Kecuali,  kalau misalnya kalau Willem Lukas dapat menciptakan bahasa baru, untuk mengubah segala tata bahasa yang telah berlaku itu. Sehingga, untuk kata Allah dicarikan 'orang ketiga' yang lain. Buya Hamka melanjutkan, ketika jadi orang pertama Tuhan Allah membahasakan dirinya Ana (saya), Sadara Willem Lukas pun membahasakan dirinya Ana (saya). Tidak seorang pun yang memandang itu paradoksal atau berpaham jika Willem Lukas membahasakan dirinya Saya, akan langsung dikatakan dia menyamakan dirinya dengan Allah. Malahan kalau memanggil Tuhan (Jadi orang kedua), dibahasakan Anta, artinya Engkau. Suadara Willem Lukas di bahasakan pula oleh ayahnya Engkau. Tidak ada orang yang mengatakan bahwa pemakaian bahasa demikian suatu paradoksal. Menurut Buya Hamka, sang penanya (Willem Lukas) sendiri ketika bertanya telah memakai istilah tata-bahasa Indonesia 'Orang ketiga' untuk kata-kata huwa yang bahasa Indonesianya Dia. Mengapa kepada Allah disebut orang ketiga? Apakah Zat Tuhan Allah itu seorang? Sekali-kali tidaklah terlintas di pikiran Saudara Willem Lukas bahwa Tuhan Allah sendiri yang menjadi orang, melainkan kalimat huwa atau Dia menurut tata bahasa disebut 'Orang ketiga'. Buya Hamka mengatakan, di sini mengertilah kita bahwa hukum tata bahasa janganlah dicampur aduk dengan akidah. Dalam akidah, Zat Allah bukanlah laki laki dan bukan perempuan.”Dalam hukum tata bahasa kalimat Allah di mudzakar kan artinya dilaki-lakikan. Dan tidak berdosa kalau hanya me'laki-lakikan' kalimat, karena Tuhan Allah tidak akan jadi laki-laki lantaran itu," tutup Buya Hamka.

************

NAHWU QULUB Mengungkap Makna Tersirat Dalam Ilmu Gramatika Arab Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang