Barang siapa mengaji sungguh-sungguh kitab “Alfiyah” karangan Ibnu Malik di bidang ilmu nahwu, dia insya Allah tidak akan menjadi aktor-aktor perusakan di muka bumi, seperti bekerja sama dengan para pemodal tambang, ikut dalam bisnis ekstraktif yang merusak lingkungan, atau ikut-ikutan mendukung proyek tambang serta proyek-proyek perampas ruang hidup rakyat lainnya yang dibuat oleh pemerintah. Ini karena Ibnu Malik menulis di dalam baitnya:
وعامل الحال بها قد أكدا # فى نجو لاتعث فى الأرض مفسد
“Dan sungguh-sungguh ‘Amil-nya Haal (kalimat yang melahirkan Hal) hadir dalam bentuk di Taukid, seperti dalam contoh: ‘Janganlah engkau berbuat kerusakan di bumi seraya (dalam keadaan, Haal) benar-benar membuat kerusakan nyata’”.
Pengertian bait tersebut, menurut Ilmu Nahwu terkadang Haal hadir dalam bentuk taukid, artinya memiliki fungsi signifikasi memperkuat pengertian kata sebelumnya, atau meradikalisasinya, menajamkannya. Haal adalah istilah ulama Nahwu (gramatika Arab) untuk menyebut suatu sifat yang mencirikan sesuatu, namun tidak permanen dan aksidental, serta dapat berubah-ubah. Kita mengenal ini dengan kata “seraya”, “sembari”, “sambil”, atau “dalam keadaan”. Suatu state of things”. Seperti, “Saya makan sambil berjalan” ( اكلت ماشيا ), atau “saya shalat dalam keadaan menghadap kiblat” (اصلى مستقبل القبلة), dan seterusnya. Dalam kasus tertentu, ada Haal yang diungkapkan dengan kata berbeda dari kata sebelumnya, namun memiliki pengertian serupa, bahkan lebih mendalam seperti dalam contoh :
لا تعث في الأرض
“Janganlah berbuat kerusakan nyata (parah) di muka bumi.” Kalimat ini saja memiliki pesan sangat kuat. Karena kata “’atsaa’- ya’tsuu’”
( عثا-يعثو)
sudah berarti “berbuat kerusakan yang sangat
parah”. Lebih-lebih ketika diimbuhi kata Haal “mufsidan” (مفسدا) yang berarti “orang yang berbuat kerusakan”. Maka, ketika diungkapkan lengkap:
لا تعث في الأرض مفسدا
Dapat diterjemahkan menjadi: “Janganlah engkau berbuat kerusakan nyata di bumi dalam keadaan sebagai orang yang sungguh-sungguh berbuat merusak.” Kalau di-syarah (diuraikan) lebih gamblang begini: “Janganlah engkau berbuat kerusakan nyata dan parah, serta dampak merusaknya terus-menerus (hingga diwariskan ke
generasi berikutnya), di bumi, yang membuat engkau hari ini dicatat dan diberi identitas (di sisi Allah dan menurut pandangan manusia) sebagai ‘mufsid’ (hamba kriminal yang kerjanya berbuat kerusakan)”. Ini sejalan dengan redaksi ayat Al-Baqarah ayat 60.
وَلَا تَعْثَوْا فِي الْأَرْضِ مُفْسِدِينَ
Artinya: “dan janganlah kalian berlebih lebihan dalam berbuat kerusakan di bumi” (al baqarah:60)
Menggali bait-bait Ibn Malik, ada beberapa yang bisa dipetik:
1. Berbuat kerusakan di muka bumi adalah suatu tindakan (Fi’il), dan itu saja sudah tercela. Lebih-lebih ketika menjadi Haal atau keadaan yang dibiarkan terus-menerus (dilanggengkan).
2. Ketika berbuat kerusakan telah menjadi keadaan (Haal, “state of things”, Status Quo), maka pola perusakannya menjadi sistemik dan dampaknya semakin kuat dan menghancurkan terhadap kehidupan di bumi.
3. Meski begitu, karena berupa Haal, keadaan itu bisa berubah asalkan tindakannya juga berubah. Artinya, perusakan apapun, sesistemik apapun, dapat dihentikan asalkan perilakunya dicegah.
4. Mengubah sistem harus dimulai dari mencegah prakondisi yang memudahkan perilaku. Perilaku merusak terjadi karena pembiaran dan legitimasi. Dalam konteks perusakan lingkungan, wajib hukumnya kita tidak diam membiarkan para pemodal perusak lingkungan berbuat semena-mena, wajib hukumnya melakukan delegitimasi dan pembongkaran atas semua proyek perusakan (ifsaad fil ardl). Hal itu semata mencegah agar perbuatan itu tidak ter-Taukid (terkokohkan) menjadi pola. Di sini letak nilai Jihad Lingkungan, Jihad Ekologi, Jihad Agraria.
Ini baru satu bait. Bagaimana dengan bait yang lain? Kitab “Alfiyyah” Ibn Malik memiliki banyak pesona misterius. Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan konon berfatwa fikih melalui bait “Alfiyyah”. Kalau kita beranjak ke bait berikutnya, lebih asyik lagi. Seperti pada kalimat bait:
وان تؤكد جملة فمضمر
“Dan jika Haal di-Tawkiid sebagai satu Jumlah (rombongan kalimat), maka ‘Amilnya disembunyikan”. Ini bisa diterjemah, untuk konteks lingkungan hidup hari ini: “Jika perilaku merusak itu dilakukan secara beramai-ramai, maka biasanya pelaku utamanya (‘Aamil)-nya – yaitu pemodal akan tersembunyi (berada di balik layar)”. Al-Fatihah untuk Imam Ibnu Malik Al-Andalusi, semoga karyanya terus menjadi inspirasi kaum santri untuk belajar.
والله اعلم بالصواب**********
Di tonton videonya ya di youtube:
KAMU SEDANG MEMBACA
NAHWU QULUB Mengungkap Makna Tersirat Dalam Ilmu Gramatika Arab
Sci-fiIlmu nahwu bukan saja memelihara lisan dalam mengucapkan bahasa arab, tetapi ilmu nahwu juga di bekali dengan ilmu memelihara hati dan tingkah laku. secara dzohiriyah ilmu nahwu memang membahas seputar i'rob. tetapi kalau di teliti lebih da...