Chapter 7

2.6K 367 33
                                    

Rumahnya terlihat gelap dan sepi ketika Diandra pulang, tidak tampak Fabian yang terlihat marah menunggu di depan pintu kali ini, sepinya menggemakan langkah kaki Diandra ketika naik ke lantai atas menuju kamar tamu. Setelah mandi air panas, Diandra ambruk ke atas tempat tidur dan tidak bergerak lagi hingga pagi, ketika ia terbangun memandangi sinar matahari. Ia duduk kebingungan ketika mendapati tidak lagi berada di kamar tamu. Ia telah berada di kamar utama dan menatap ke sisi tempat tidur di sebelahnya dan mendapati bekas-bekas bahwa semalam Fabian memang tidur di sampingnya. Buru-buru Diandra mengintip ke balik selimut dan lega mendapati ia masih memakai kaus yang semalam dipakainya asal sebelum tidur.

Diandra mengecek jam dan mengeluh ketika mendapati kalau ia tidur sampai jam sepuluh siang. Menyibak rambutnya yang kusut dari muka, Diandra bangkit dan sedikit was-was ketika mendapati suasana kamarnya terasa limbung, berputar cepat. Ia tersandung, tapi untungnya sempat berpegangan ke kepala tempat tidur dan berusaha menenangkan diri. Diandra merengut, mencoba mengingat-ingat terakhir kali ia makan yang layak...jelas bukan sarapan pagi kemarin, yang dimuntahkannya begitu selesai mencuri dengar percakapan Fabian dan ayahnya, atau makan siang, yang rusak karena kehadiran Fabian tanpa diundang di rumah David dan Lisa. Meskipun David dan Lisa memintanya makan lebih banyak untuk makan malam, Diandra tak memiliki nafsu makan yang tersisa, terutama setelah hari yang dialaminya! Sabtu juga kurang lebih sama; yang dimakannya hanya popcorn di bioskop.

Sekarang Diandra mesti membayar semua penalti karena telat makan. Pergi ke kamar mandi, ia memutuskan untuk memanjakan dirinya dengan brunch yang enak. Hari Senin adalah hari libur rosa, dan mereka tidak memiliki staf asisten rumah tangga lain yang tinggal di mansion itu, jadi Diandra berada sendiri di rumah. Ia berharap menghabiskan hari itu sendirian, mencoba mencari tahu apa langkah berikutnya yang mesti diambil. Diandra tidak bisa meninggalkan Fabian dan sepertinya Fabian juga tak bisa menceraikan Diandra. Lalu apa? Mendesah pelan, ia memutuskan untuk berhenti berpikir sampai setidaknya setelah ia makan nanti, kalau-kalau nafsu makannya hilang lagi.

Kurang dari sejam kemudian Diandra muntah-muntah di toilet kamar tamu lantai bawah. Hanya mencium bau telur goreng saja membuatnya mual. Setelah perutnya berhenti berontak, ia berjalan limbung menuju ke patio, sejauh mungkin dari bau masakan di dapur, dan menjatuhkan diri di sofa yang menghadap kolam renang.

"Tidak mungkin..." bisik Diandra, menatap kosong ke arah ujung kolam, menyaksikan air berwarna aquamarine seolah terlihat luas seperti lautan dan warna langit. "Tidat, tidak, tidak, tidak... tidak... kumohon, Tuhan! Jangan..."

Ia menenggelamkan wajahnya ke keduan telapak tangannya dan berayun maju mundur. Seluruh sistem tubuhnya seolah berontak setelah menghadapi peristiwa yang menimpanya selama 48 jam terakhir. Secara alami, tentu ia akan merasa mual setelah lama tidak makan. Semua terasa logis...ia hanya bereaksi berlebihan.

Tidak mungkin Diandra setidak-beruntung ini, tidak setelah ia meraih sedikit kemajuan, mencoba mendapatkan kebebasannya sendiri dari pernikahan ini. Ia mencoba mengingat kapan terakhir kali ia datang bulan, tapi akhir-akhir ini Diandra mengalami stres dan jadwal menstruasinya menjadi tak teratur, jadi jelas bukan metode paling terpercaya untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi padanya kini. Perlahan Diandra bangkit dan merasa lega ketika ia tidak lagi pusing. Berjalan menuju dapur, ia bersiap menghadapi serangan mual berikutnya, tapi untungnya perut Diandra bertahan tenang seperti batu. Bernapas lega, Diandra berjalan menuju ke arah kompor dan mengangkat pinggan, membuang sisa makanan yang gosong. Ia akhirnya minum the hitam dan mencoba makan roti tawar, berusaha meredakan rasa takut hamilnya yang irasional.

Setelah menghabiskan sarapan yang rasanya hambar itu, Diandra berjalan menuju ke loteng yang telah disulapnya menjadi ruang kerja, dan menyalakan musik sambil menenggelamkan diri ke pekerjaannya. Seringkali Diandra lupa waktu ketika ada di ruang kerjanya itu, menenggelamkan diri dalam kesibukan, juga suasana damai dan tenang yang menyelimutinya ketika sedang bekerja. Tapi hari ini berbeda, Diandra tak bisa berkonsentrasi. Di benaknya melintas gambaran tapi ia tidak bisa menuangkannya dengan lancar ke atas kertas. Duduk di depan papan gambarnya, menatap kosong ke kertas kelima dalam setengah jam terakhir, bertopang dagu di satu tangan. Diandra terus mengamati kertas kosong itu, berusaha menyatu dengan imajinasinya, menjadikannya realita. Ia mengangkat pensil, ujung tumpulnya menyentuh permukaan kertas, sebelum akhirnya menghembuskan napas menyerah dan menggelengkan kepalanya frustrasi. Diandra menjatuhkan pensilnya dan menekan tangannya ke mata.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 22, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kesempatan KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang