Chapter 3

2.1K 237 20
                                    

Diandra menelan ludah menatap sosok suaminya yang mengintimidasi, berdiri tegak di depan pintu dan menahan jeritan kecil ketika Fabian menarik tangannya masuk ke dalam rumah. Fabian membanting pintu hingga tertutup, mencengkeram kedua sisi bahu Diandra, mendorongnya mundur hingga punggungnya menabrak dinding. Butuh beberapa detik untuk melawan pusing dan sadar kalau Fabian tidak menyakitinya. Mata suaminya terlihat murka, mengamati Diandra naik dan menuruni tubuhnya, sampai ia melihat dan memastikan kalau mungkin tubuh Diandra masih dalam keadaan baik, lalu Fabian mengangkat matanya menatap istrinya tajam.

Mata Fabian, sangat sedikit kesempatan Diandra untuk benar-benar memperhatikannya, terlihat indah. Hitam kecoklatan dan dibungkus oleh bulu mata yang panjang dan lentik di bawah sapuan alis tebal, dan saat ini mata itu terlihat geram. Tangan pria itu kini lepas dari pundaknya dan naik ke wajah Diandra. Wanita itu terkesiap akan kontak yang terjadi, namun sapuan tangan Fabian tetap lembut, bergerak memegang dagu Diandra, ibu jari Fabian mengusap pipinya. Napas Diandra tersendat ketika suaminya condong mendekatinya, kepalanya semakin dekat. Fabian begitu dekat, Diandra bisa merasakan hembusan napasnya yang hangat di wajahnya. Fabian memiringkan kepalanya beberapa derajat, Diandra mengerang, rindu akan sapuan bibir pria itu di bibirnya sendiri, begitu putus asa sampai kakinya tidak mampu bergerak dan gemetaran seperti jelly. Satu-satunya yang mencegahnya pecah menjadi kubangan di depan kaki pria itu hanyalah tubuh berotot suaminya yang kini menahan tubuh Diandra. Wanita itu bisa merasakan ereksi Fabian menempel panas di perutnya dan tahu kalau suaminya juga putus asa menginginkannya. Bibir tebal Fabian yang seksi hanya beberapa senti jaraknya dari bibir Diandra, menyentuh mulut wanita itu ketika pria itu mulai bicara.

"Kamu bertingkah kayak gini lagi, sayang, akan kubuat kamu menyesal!"

Diandra terperanjat ketika realita seperti menimpuk kepalanya, membuatnya tersadar. Fabian melepaskan pegangannya pada Diandra dan tubuh wanita itu merosot jatuh ke lantai di bawah kakinya. Tatapan merendahkan Fabian menyapu tubuh Diandra, es di matanya telah kembali, sementara apinya hilang.

"Ke mana saja kamu?" tanya Fabian tenang. Diandra terhuyung mencoba berdiri, merasa dipermalukan karena ia membiarkan suaminya mempengaruhi dirinya hingga wanita itu jatuh bersimpuh di hadapan laki-laki itu. Diandra mendongak, menantang, menolak untuk memberikan jawaban. "Diandra, aku peringatkan ya..."

"Aku nggak takut," Diandra mencemooh ancaman Fabian dengan suara yang goyah. "Kamu ingin tetep nikah? Oke. Tapi aku nggak akan biarkan kamu injak-injak aku lagi. Sudah waktunya kamu tunjukkan sedikit respek!"

"Gimana aku bisa respek sama orang yang menjual dirinya ke penawar paling tinggi?" geram Fabian dengan kontrol diri yang tertata. Mendengarnya, Diandra terkesiap sakit hati. "Aku nggak punya sedikitpun respek buat kamu, Diandra, meski dengan statusmu sebagai calon ibu untuk anakku... Apalagi soal itu aja kamu nggak becus."

Seketika Diandra kehilangan kontrol diri, dan untuk pertama kalinya dalam 26 tahun hidupnya, Diandra menyerah pada impulsnya untuk melakukan kekerasan fisik. Ia menyerang Fabian, meludahi, menggeram, dan mencakarnya seperti kucing. Pada momen itu, Diandra sangat membenci Fabian, hingga kebencian itu terasa seperti sesuatu yang hidup dan memaksa keluar dari tubuhnya demi menyerang suaminya. Ketika akhirnya ia tersadar, Diandra mendapati Fabian mendekapnya, punggung Diandra menempel ke dada Fabian, pergelangan tangannya dipegang erat oleh pria itu, menyilang di depan dadanya sendiri. Napas keduanya terengah. Rintihan memilukan keluar dari mulut Diandra, kata-kata kebencian yang berulang-ulang diteriakkannya pada Fabian itu kini berubah menjadi isak tangis. Bibir Fabian menempel di rambutnya, di atas telinga kanan Diandra, dan pria itu berusaha menenangkannya, tidak menyakiti Diandra dan hanya menahan istrinya dengan kekuatannya yang superior. Tubuh Diandra lemas, menggantung kalah di dalam pelukannya.

"Aku minta maaf." Seketika Diandra membeku; kata-kata Fabian itu begitu lirih, ia tidak yakin benar-benar mendengarnya terucap keluar dari bibir suaminya. "Yang kukatakan itu jahat dan keliru."

Kesempatan KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang