Chapter 5

2.1K 245 42
                                    

Tubuh Diandra kini berupa untaian saraf tegang yang membuatnya putus asa ingin kembali ke kamarnya, bersembunyi. Ia berbaring di atas tempat tidur, merasa aneh dan masih saja mual. Rasanya seperti habis bertinju sepuluh ronde, namun anehnya ia merasa kalau suaminya kini mulai mendengarnya dan perempuan itu berhasil meyakinkannya. Ingin berbicara pada seseorang tentang apa yang terjadi, Diandra meraih gagang telepon namun ia kaget mendengar suara dering di seberang. Menyadari kalau Fabian sedang tersambung di bawah, Diandra hendak menutup teleponnya namun dering itu tiba-tiba berhenti.

"Guruh di sini." Suara ayahnya berdenging di telinga wanita itu, dan matanya melebar kaget. Fabian dan ayahnya tidak pernah akur, sejujurnya ia kaget mendapati suaminya itu secara suka rela menelepon ayahnya. Lebih dari sekedar ingin tahu, Diandra merasa ragu haruskah ia menutup telepon sekarang atau terus mencuri dengar. Sedikit keraguan itu cukup untuk membuatnya tetap tersambung.

"Anakmu minta cerai," ujar Fabian tanpa basa-basi, membuat jari Diandra semakin erat menggenggam gagang telepon di tangannya.

"Kamu bilang apa? Cerai? Cerai bukan pilihan. Kamu tahu itu!" Reaksi ayahnya mengejutkan Diandra.

"Ya," suara Fabian terdengar lebih kering dari sabana di musim kemarau di telinga Diandra. "Aku tahu, tapi ternyata Diandra yang nggak tahu. Kamu nggak ngasih tahu dia soal perjanjian kita?"

... Perjanjian apa?

"Tentu dia nggak tahu," desau Guruh merendahkan. "Diandra nggak akan pernah mau menikah denganmu kalau aku memberitahunya soal perjanjian kita. Bocah itu bodohnya nggak ketulungan. Dia cinta padamu!" Ayahnya tertawa mengejek dan Diandra mengernyit mendengarnya. Tangannya yang satu lagi refleks melingkari perutnya menahan mual. Beberapa lama, Fabian tidak bereaksi sedikitpun atas pernyataan Guruh.

"Kukira dia setuju menikah untuk menjual dirinya demi kontrak sadismu; menjadi anak baik daddy-nya sampai akhir!" ujar Fabian setelah jeda beberapa lama.

"Apa itu akan mengubah pikiranmu, kalau saja dulu tahu bahwa kamu menikahi perempuan naif bodoh yang mengira Fabian Argha adalah mimpinya yang jadi kenyataan?"

"Diandra nggak tahu klausul di kontrak perjanjian kita?" tanya Fabian perlahan-lahan. Suaranya hati-hati.

"Yah, karena kukira nantinya dia juga bakal ngerti dengan sendirinya, setelah kamu beri tahu..."

"Maksudmu dia menikah denganku, percaya kalau aku cinta padanya?" Fabian terdengar takjub mendapati bahwa Diandra mengira bahwa pria itu pernah jatuh cinta padanya.

"Yah, begitulah," dengus Guruh geli.

"Dan kamu nggak peduli, membiarkannya percaya akan hal itu?"

"Aku tahu itu asumsi yang menggelikan tapi toh menguntungkan buat kita kan? Seperti melihat kucing mengantuk jatuh ke kandang singa," tawa ayahnya, tertawa terbahak setelah mengatakannya. "Tapi sejujurnya aku tidak yakin dia bakalan mau menikah denganmu kalau sampai ia tahu yang sebenarnya."

"Menguntungkan buat kita? Tidak ada kita di sini, Guruh. Aku tidak ada sangkut pautnya dengan persekongkolanmu ini."

"Oh, please deh, jangan sok bijak, Menantu. Simpan saja ceramahmu itu untuk lain waktu, Fabian," dengus ayahnya. "Jangan munafik, apalagi kamu juga dapat untung banyak dari kontrak ini. Dan bahkan... kalaupun kamu tahu soal ekspektasi Diandra, memang hasilnya bakal berbeda? Kamu juga tahu soal ini."

"Tapi dia anakmu!" Tiba-tiba Fabian menggeram. "Seharusnya kamu peduli!"

"Tentu aku peduli. Ini artinya, paling tidak Diandra bisa berguna untukku. Perannya dalam hidupku lumayan penting karena misi yang harus kalian penuhi. Jadi Menantu, saranku buat dia bahagia, hamili anakku dan hentikan omong kosongnya soal perceraian. Kamu tahu apa yang bakal hilang darimu kalau pernikahan kalian putus sebelum aku mendapatkan yang aku mau."

Kesempatan KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang