Chapter 2

2.5K 257 9
                                    

Beberapa jam setelahnya, Fabian turun ke bawah untuk sarapan. Hari itu Sabtu pagi, tidak ada rapat pagi yang membuatnya harus terburu-buru berangkat. Alih-alih, Fabian berlama-lama membaca surat kabar dan menyesap kopinya, mengacuhkan Diandra. Pagi itu tidak jauh berbeda. Seolah-olah pertengkaran mereka berdua sebelumnya tidak pernah terjadi. Mereka makan menu makanan akhir pekan di dapur dan suasana rumahan yang melingkupinya memberikan nuansa domestik palsu. Sementara Diandra merasa tidak nyaman dan tegang dalam nuansa intim ini, Fabian justru terlihat tenang dan dingin.

Begitulah, tidak ada yang baru soal ini karena Fabian memang jarang menunjukkan emosinya. Faktanya, "diskusi" mereka pagi itu adalah yang paling panas yang pernah disaksikan Diandra. Fabian selalu menyimpan perasaannya, tapi tidak pernah gagal untuk menunjukkan ketidak-sukaannya pada Diandra dengan jelas. Dari caranya menolak melihat ke arah Diandra, menolak mencium bibir Diandra ketika mereka bercinta, berbicara pada Diandra seperlunya saja seolah melewatinya, sementara Diandra yang selalu optimis dan bodoh ini tidak pernah bisa menyembunyikan perasaannya dari Fabian. Tidak pernah bisa... dari ketika mereka pertama kali bertemu, hampir dua tahun lalu. Bagaimana kesengsemnya Diandra dulu pada pria itu! Betapa cepatnya ia jatuh cinta pada Fabian.

***

Diandra masih bisa mengingat dengan jelas pertemuan pertama mereka. Fabian datang ke rumahnya untuk makan malam. Ayahnya tidak memberitahukan lebih dulu soal tamu mereka malam itu, kecuali bahwa tamunya adalah anak laki-laki dari kenalan lama. Diandra bertugas menyambut kedatangan Fabian, sementara ayahnya menunggu di dalam. Ini adalah trik lama Guruh Kusumawardhana untuk membuat rekan bisnisnya merasa santai dan rileks ketika ia melangsungkan bisnisnya di rumah. Guruh akan membiarkan Diandra menjamu mereka dan membuat tamu-tamu bisnisnya terlena oleh kehangatan alaminya, lalu menyerang mereka saat masih terpesona oleh jamuan putrinya.

Mulanya Diandra tidak mengerti perannya dalam modus operandi bisnis ayahnya itu sampai usianya sembilan belas tahun; sebelum itu ia hanya bersyukur telah diberi kesempatan untuk membantu ayahnya menghibur rekan-rekan bisnis penting pria berkuasa itu. Ketika Diandra pertama kali bertemu dengan Fabian, ia telah menjadi definisi nyonya rumah yang sempurna: mempesona, manis, hangat di luar namun sama sekali tidak tertipu di dalam. Perjamuan bisnis ayahnya selalu meninggalkan perasaan sedih bagi Diandra karena ia merasa dimanfaatkan dan semua itu hanyalah fasad semata.

Fabian datang ke rumah Diandra terlihat lelah dan penuh tekad, seperti pria yang siap bertarung. Ia terlihat kaget melihat Diandra menyambutnya di depan pintu. Diandra mengenakan gaun warna hitam yang menempel lekat pada tubuhnya, rambutnya digelung ke atas, dan memilih anting zamrud hijau sebagai satu-satunya hiasan malam itu. Fabian terlihat gugup berada di hadapan Diandra malam itu, alisnya berkerut bingung. Sementara itu Diandra sendiri terhenyak oleh pria tampan yang berdiri di hadapannya, dan untuk pertama kalinya gadis itu kehilangan keanggunan tertata miliknya. Ia tidak bisa mengeluarkan sepatah katapun. Fabian mengenakan jas bisnis hitam yang terlihat rapi ala Sartorial, namun rambutnya yang tersibak acak mengontradiksi aura resminya, memberikan tampilan yang sedikit liar. Cambang gelapnya dan dasinya yang sedikit longgar memperkuat persepsi itu. Fabian tidak terlihat seperti pria manapun yang pernah ditemui oleh Diandra sebelumnya, dan ia ingin mengenal pria itu, mengetahui segalanya tentang laki-laki di hadapannya itu.

Fabian berhasil menguasai dirinya lebih dulu, mengambil satu langkah mendekat, lalu selangkah lagi, dan lagi hingga ia berdiri persis di hadapan Diandra. Terlalu dekat hingga setiap tarikan napasnya membuat dadanya yang bidang mengenai tubuh Diandra. Wanita itu menengadah, menatapnya penuh kekaguman, menyusuri setiap lekuk wajah Fabian penuh penghayatan.

"Halo." Suara laki-laki itu, seperti kain beledu yang mengenai gigi, mengirimkan desir aneh ke punggung Diandra. "Siapa namamu?"

"Diandra." Ia tidak sanggup memberikan respon yang lebih baik dari ini. Pria itu wangi, tanpa sadar Diandra mendekat ingin menghirup aroma tubuhnya.

Kesempatan KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang