5. Bencana (R)

24 8 0
                                    

Spontan mereka menoleh ke tangga

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Spontan mereka menoleh ke tangga. Sekilas, tak ada yang aneh. Lampu-lampu menyala normal di sepanjang koridor yang sepi. Lukisan-lukisan dan hiasan-hiasan masih pada tempatnya. Apa yang mungkin menyebabkan jeritan yang menembus suara hujan? Suara jeritan tadi jelas adalah suara perempuan. Masih cukup muda, kedengarannya. Kalau bukan dari salah satu pembantu di homestay, pasti Arini atau Marie sumbernya.

"Kalian dengar, nggak?" Axel berlari-lari kecil kembali ke ruang tengah.

"Iya, kayaknya ada yang teriak di lantai atas. Yuk kita periksa!" sahut Wayan cepat. Ditariknya lengan Martin. Ketiga pemuda itu pun berlari-lari menaiki tangga, diikuti para perempuan.

Di samping sebuah jendela di ujung koridor lantai dua, mereka menemukan Arini setengah meringkuk di lantai. Dugaan Axel, ia tampaknya habis terjatuh. Lengan dan kakinya menekuk dalam posisi yang sama sekali tidak terlihat nyaman. Rambutnya tergerai menutupi mata, dan wajahnya sepucat kertas. Tatapan matanya terlihat panik dan ketakutan.

"Mbak Arini nggak apa-apa? Bisa berdiri?" Wayan dan Martin buru-buru membantunya. Untunglah, tidak ada bagian tubuhnya yang cedera. Lucia menepuk-nepuk bahu

perempuan itu dengan ringan, berusaha membuatnya melupakan apa pun yang membuatnya begitu ketakutan. Irene berlari turun untuk membuatkan teh manis hangat, sedangkan Sylvie memunguti barang-barang Arini yang jatuh. Agak trauma dengan pengalaman tadi sore, Axel berdiri agak jauh. Pikirnya, nggak apa-apa kelihatan seperti orang jahat, yang penting nyawa selamat! Oke, itu memang berlebihan, tapi tahu maksudnya, kan? Safety first!

"Ada hantu," desis Arini perlahan, matanya melirik ke kanan dan kiri. "Ada hantu yang lewat di jendela tadi. Kalian harus hati-hati. Mereka sudah merasa terganggu dengan kehadiran

kita. Jangan sampai mereka marah!"

"Hantu? Mana?" sahut Sylvie, spontan mendorong daun jendela dan melongok keluar.

"Ssh, jangan!" Arini buru-buru menariknya mundur. "Aku melihatnya dengan jelas. Ada seorang wanita, melintas di kegelapan malam. Ya, pasti itu salah satu dari mereka. Mereka mencariku sekarang. Sekarang mereka belum menemukanku, dan semoga jangan! Jangan sampai!"

Perempuan itu benar-benar tampak ketakutan. Lucia menggelengkan kepala, lalu mundur dengan tidak yakin. Sama seperti Axel, ia pun mulai meragukan kewarasan wanita itu.

Wayan mengamati suasana sekitar, lalu memberi tanda pada Martin untuk mendudukkan Arini pada kursi-kursi rotan kecil di seberang koridor. Baru saja kedua pemuda itu membawanya menjauh dari jendela, Aryo datang berlari-lari dari lorong yang mengarah ke kamar mandi.

"Arini! Apa-apaan ini?" Ia berbisik dengan nada tajam pada adiknya itu. Sekonyong-konyong ia meraih tangan Arini, lalu menarik perempuan itu menjauh dengan paksa. Meski agak kaget dengan gerakan yang tiba-tiba itu, Wayan dan Martin tidak mencegah. Mereka sadar, mereka orang asing. Seharusnya orang yang mengenal Arini pasti lebih paham mengenai cara memperlakukannya, kan?

Veritas [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang