10. Fragmen Pertama (R)

24 7 2
                                    

Tidak dapat dipungkiri kalau pembunuhan itu sangat berdampak pada kondisi psikologis para penghuni homestay

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tidak dapat dipungkiri kalau pembunuhan itu sangat berdampak pada kondisi psikologis para penghuni homestay. Suasana tegang yang menyelimuti homestay itu jelas tidak ditemui pada hari sebelumnya. Meski semua orang terlihat seperti sedang melakukan aktivitas mereka sehari-hari, tetapi gestur tubuh, lirikan, gumaman, dan kalimat-kalimat yang canggung mencerminkan fakta itu dengan jelas. Para tamu lebih banyak berkumpul dengan rombongan mereka masing-masing, dan memandang curiga pada orang luar kelompok yang mengajak bicara.

Irene benci keadaan itu. Perasaannya yang halus menolak menerima hawa prasangka yang ada, meski ia tak memungkiri bahwa rasa itu juga ada dalam dirinya. Tentu, ia merasa dirinya cukup beruntung. Setidaknya, ia bisa percaya penuh pada kakak dan sahabatnya. Terhadap Axel, ia tak tahu. Namun, Sylvie agaknya percaya padanya, dan pilihan Sylvie hampir tidak pernah salah. Apalagi, menurut cerita Sylvie, Axel datang dari keluarga polisi! Cowok itu pasti tahu persis nasib dan hukuman bagi para pelaku pembunuhan berencana yang tertangkap. Pastinya dia tidak cukup edan untuk merencanakan pembunuhan, kan? Namun, mengingat ayahnya seorang pejabat kepolisian dan ibunya seorang kepala kejaksaan, mungkinkah ia yakin dapat lolos dari jerat hukum dengan memanfaatkan pengaruh mereka?

Ah, percuma ia memikirkan hal itu. Irene bukan Sylvie, yang selalu berpikir berdasarkan bukti-bukti yang ada. Hanya gagasan-gagasan liarlah yang ia punya. Ia tidak berminat menjadi tokoh utama cerita detektif. Satu-satunya yang Irene inginkan adalah supaya jalanan cepat tersambung kembali, agar mereka bisa segera pulang. Untuk sementara ini, ia hanya bisa percaya. Kalau memang Sylvie memutuskan untuk mempercayai Axel, baiklah, ia juga akan mempercayainya.

Di teras belakang gadis itu berjalan mondar-mandir, diresahkan oleh pikiran-pikirannya sendiri. Piring kosong dan sendok garpu masih ada dalam tangannya, ia timang-timang sambil melangkah tak tentu arah. Pandangannya kosong menatap ke langit.

“Awas!” Mendadak tangan Lucia menangkap bahunya. Wah, nyaris saja ia jatuh dari tangga teras! Agaknya ia memang sudah terlalu tenggelam dalam lamunan.

“Hati-hati, dong!” omel Lucia. “Kalau kamu sampai jatuh, kan, bahaya!”

“Ah, iya, maaf.” Irene menunduk, jarinya memain-mainkan ujung rambutnya. Lucia tersenyum sedih. Dengan lembut, dirangkulnya bahu adiknya itu. Kemudian, ia mengajak Irene duduk di kursi-kursi baja antik yang berjajar di sudut kanan teras.

“Tenang aja, kalau kita tetap dalam kelompok, semua bakal aman. Nanti malam, kalau mau tidur, kita naik sama-sama, terus kita kunci pintu dan jendela. Kalau mau ke toilet, atau mau ambil air di ruang makan, ajak aku atau Sylvie,” ujarnya menenangkan. "Aku sudah mengambil gunting dari dalam koper kita. Semoga aja kita nggak perlu memakainya, tapi, seandainya pembunuh itu beraksi lagi nanti malam, setidaknya kita nggak menghadapinya dengan tangan kosong."

Veritas [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang