Ketiga remaja itu menemukan Wayan sudah kembali masuk dan sedang berjalan-jalan di ruang duduk. Saat itu kira-kira pukul sepuluh pagi. Ruang duduk itu sudah kosong. Meski lampu-lampu tidak ada yang dinyalakan, cahaya matahari dari jendela sudah cukup meneranginya.
“Kak, kalau nggak keberatan, ada beberapa hal yang perlu kami tanyakan,” ujar Axel membuka percakapan. “Sekadar untuk memastikan saja. Nggak apa-apa, kan?”
“Yah, selama kita semua terjebak di sini, kurasa kita harus saling percaya, kan? Jadi, kalian mau tanya apa?” sahut Wayan ringan.
“Aku lihat mayatnya sudah dipindahkan,” lanjut Axel. “Apa Kak Wayan tahu sesuatu?”
“Oh, itu atas permintaan Pak Louis,” jawab Wayan kalem. “Selain itu, rasanya memang nggak etis kalau jenazah korban dibiarkan begitu saja, mengingat polisi belum bisa datang ke sini dalam waktu dekat. Menurutku seharusnya langsung dimakamkan saja setelah pemeriksaan, tapi nggak ada yang bisa memimpin upacaranya.”
“Lho, terus gimana jadinya?”
“Anu, ada gudang bawah tanah di rumah Pak Hosea. Biasalah, rumah kuno. Dingin sekali di dalam situ. Jadi, yah, setelah para tukang membuat peti sementara, ruangan itu jadi kamar mayat dadakan.” Wayan menarik-narik ujung rambutnya dengan ragu. “Terus terang, entah ini keputusan yang terbaik atau bukan. Kami nggak ada yang pernah menghadapi kejadian seperti ini.”
“Apa Kak Wayan sempat memeriksa jenazahnya?” Sylvie ganti bertanya.
“Cuma di permukaan tubuh saja. Aku nggak punya wewenang maupun peralatan buat ngelakuin otopsi sungguhan. Yang jelas, nggak ditemukan bekas-bekas penganiayaan lain di tubuh korban, atau apa pun yang menunjukkan perkelahian. Kalaupun ada beberapa memar yang terlihat, itu terjadi setelah kematian, kemungkinan karena tubuh korban dijatuhkan dari ketinggian. Aku yakin penyebab kematian korban adalah kekurangan oksigen gara-gara jeratan tali di lehernya.”
“Tali atau kawat?” sela Sylvie.
“Ah, ya, kemungkinan kawat atau senar. Soalnya, uh, maaf kalau kedengarannya agak terlalu sadis atau gimana gitu, jeratan itu dilakukan dengan sesuatu yang tipis, tetapi tajam. Kulit leher korban sampai tersayat, meskipun enggak dalam.”
Tanpa permisi, pikiran Axel melayang ke mimpinya kemarin. Masih jelas terbayang dalam benaknya sosok wanita dengan leher tersayat yang ia lihat malam itu. Axel tidak punya penjelasan yang lebih baik selain menganggapnya sebagai sebuah firasat. Irene mengeluarkan pekikan tertahan. Sebaliknya, ekspresi Sylvie nyaris tak berubah. Gadis itu menggigit-gigit ujung pulpennya sebentar, lalu menulis dalam catatannya.
“Ah ya, memang kawat dipakai di mana-mana di kebun ini.” Axel berkomentar. “Selain itu, apa ada lagi yang Kak Wayan lihat?”
“Hmm, korban mengenakan kuku palsu.” Suara Wayan kedengaran agak bimbang. "Ada sedikit bercak darah pada kuku-kuku tangan kanannya. Ini cuma pendapatku saja, tapi ada dua kemungkinan asal darah itu. Pertama, dari luka di leher korban waktu korban berusaha melepaskan jeratan kawat dari lehernya. Kedua, mungkin terjadi sedikit perlawanan, dan pembunuhnya sempat tergores. Untuk pastinya, perlu dilakuan tes darah dan tes DNA di kepolisian nanti.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Veritas [Terbit]
Mystery / Thriller[Terbit di HWC Publisher] Axel Putra Mahendra tak pernah menyangka liburannya ke homestay milik pamannya akan berubah menjadi petaka. Dimulai dari teror seorang maniak supernatural, tanah longsor yang mengisolasi homestay dari dunia luar, sampai ter...