Hujan semalam telah membuat tanah di sekitar Perkebunan Mahendra Jaya becek dan berlumpur. Kabut tipis menyelimuti udara, menambah dingin suasana pagi yang suram itu.
Mentari muncul remang-remang di ufuk Timur, seolah masih segan menampakkan seluruh kekuatan sinarnya. Sungguh sebuah cuaca yang membuat orang enggan beranjak dari tempat tidurnya kalau tidak ada suatu keperluan penting.
Hari itu, keperluan penting itu mendesak semua orang turun ke lapangan. Para pekerja perkebunan, para wisatawan yang menginap di homestay perkebunan, hingga pemilik perkebunan itu sendiri. Mata mereka cermat menyisir seluruh sudut yang terlihat, tangan mereka sigap menyibak tiap tempat yang sekiranya cukup untuk menyembunyikan seorang manusia. Malam sebelumnya, di tengah derasnya hujan badai, seorang wanita telah lenyap tanpa jejak.Bila diperhatikan, para tamu benar-benar adalah regu pencari yang ganjil. Beberapa mencari dengan berpakaian rapi dan lengkap, dan beberapa lainnya dalam balutan baju tidur dan sandal jepit. Seorang wanita dengan rambut acak-acakan dan daster panjang berenda yang sudah usang menatap sekitarnya penuh ketakutan, mulutnya tak henti-henti berbicara tentang nasib buruk dan serangan hantu. Seorang remaja laki-laki dalam kaus longgar dan celana pendek celingukan di semak-semak, ditemani seorang pemuda berambut acak-acakan.
Sepasang suami-istri yang sudah agak tua memanggil-manggil ke arah deretan gudang. Dua pemuda dan satu pemudi, kelihatan jelas sebagai manusia-manusia pagi, menyusuri deretan greenhouse dan gudang dengan bersenjatakan cahaya lampu flash dari ponsel. Masih dalam
balutan piyama, dua orang gadis yang agaknya bersaudara berjalan agak jauh ke Utara, mengikuti seorang remaja putri berkaus putih dan bercelana pendek yang terlebih dahulu pergi menuju daerah curam di belakang perkebunan.
Di antara mereka semua, berdiri seorang lelaki berusia kira-kira tiga puluh tahun. Pada keadaan normal, Louis Alexander Prasatya adalah seorang eksekutif muda yang menarik, tetapi penampilannya saat ini bisa dikatakan sangat kacau. Wajahnya menampakkan kekalutan yang mendalam, tangannya sedikit gemetar ketika ia mengarahkan senter ke sudut-sudut gelap. Ia menyusuri petak-petak di antara deretan greenhouse, lalu berhenti sebentar di tepi telaga mungil di belakang area greenhouse. Sejurus kemudian, ia menghela napas panjang.
“Sebenarnya ke mana dia ini?” ujarnya. “Kenapa belum ketemu juga?”“Sabar, Pak, istri Anda tidak mungkin jauh dari homestay.” Pemilik perkebunan mencoba menenangkan hati tamunya. “Kemarin hujan turun deras sekali. Hampir mustahil
orang bisa pergi keluar jauh-jauh.”
“Justru itu yang saya herankan. Marie keluar kemarin malam tepat sebelum hujan bertambah deras, dan tidak kembali. Saya takut dia terluka atau tersasar di suatu tempat. Bagaimanapun juga, perkebunan ini luas.” Ia memandangi jalan dengan tatapan putus asa.
Jalan-jalan di perkebunan itu sudah dilapisi dengan paving, sedangkan sebagian besar tanah di sekitarnya tertutup rumput. Hampir tidak ada jejak kaki yang membekas. Tidak ada perhiasan yang jatuh, atau apa pun yang bisa dijadikan penanda jejak.Mendadak, suatu seruan mengalihkan perhatian mereka. Salah satu dari dua gadis yang tadi berjalan ke belakang perkebunan melambaikan sesuatu yang kelihatan seperti sepotong batu berlumpur. Usapan tangan gadis itu menampakkan wujud asli benda itu, sebuah bros perak berbentuk bunga dahlia.
“Itu milik Marie!” Louis berseru dengan nada keheranan. Cepat-cepat ia berlari menghampiri remaja itu.
“Ayo, kita cari di sekitar sini!” Pemilik perkebunan berseru, mengumpulkan para pencari lainnya. Dalam waktu singkat, derap langkah terdengar di jalan utama, yang menghubungkan gerbang depan dengan perkebunan. Tanpa dikomando mereka menyebar, memeriksa setiap semak dan sudut yang ada.
“Nggak ada apa-apa di sini, Pak Hosea!” salah satu pemuda berseru pada pemilik perkebunan. “Tinggal jurang saja yang belum kita periksa!”
“Periksa saja, tapi hati-hati!” balas pemilik perkebunan. “Ajak teman-temanmu yang muda-muda itu. Jangan sampai jatuh!”
Belum habis mereka berbicara, seruan lain terdengar tidak jauh dari tempat si gadis remaja berdiri. Temannya, si gadis berkaus putih, perlahan melangkah menuruni tepian tebing yang agak landai. Walau lumpur tebal menempel di sepatunya dan ranting-ranting semak meninggalkan goresan-goresan kecil pada lengan pucatnya, gadis itu tak ambil pusing. Beberapa kali ia hampir terpeleset. Namun, tangannya sigap mencengkeram dahan dan
bebatuan di sekitarnya."Sylvie, hati-hati!" Temannya berteriak penuh kekhawatiran. Sylvie tidak menggubrisnya. Mata hitam gadis itu menatap tajam ke arah serumpun semak arbei liar. Perlahan, ia sibak semak itu, menampilkan sebuah benda berselimut kain cokelat di baliknya. Seketika, jeritan tertahan dan seruan kengerian terdengar di sana sini. Mereka sadar, itulah tubuh wanita yang mereka cari-cari. Lumpur menodai jaket parka cokelat yang ia kenakan, menyamarkan wanita itu dari pandangan para pencari.
Salah seorang dari para tamu, seorang mahasiswa kedokteran tingkat akhir, dengan sigap turun untuk memberikan pertolongan. Namun, semua sia-sia. Wanita itu sudah tewas lama berselang, bahkan sebelum seorang pun menyadari bahwa ia menghilang. Tidak ada seorang pun yang ragu bahwa ia tersesat dan terjatuh ke dalam jurang dalam badai semalam. Ya, begitulah isi pikiran semua orang, sampai mahasiswa itu meraih scarf panjang yang membungkus leher wanita itu dan mengangkatnya.
Di balik scarf itu, terlihat bekas jeratan tipis memanjang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Veritas [Terbit]
Mystery / Thriller[Terbit di HWC Publisher] Axel Putra Mahendra tak pernah menyangka liburannya ke homestay milik pamannya akan berubah menjadi petaka. Dimulai dari teror seorang maniak supernatural, tanah longsor yang mengisolasi homestay dari dunia luar, sampai ter...