11. Cerita Arini (R)

23 6 0
                                    

Baru saja Sylvie dan Axel selesai berbincang, pintu yang menghubungkan ruang makan dan teras belakang terayun membuka dengan suara keras

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Baru saja Sylvie dan Axel selesai berbincang, pintu yang menghubungkan ruang makan dan teras belakang terayun membuka dengan suara keras. Spontan kedua orang itu menoleh. Irene ada di pintu, terengah-engah kehabisan napas. Melihat ekspresi canggung Irene, Sylvie segera menyambutnya dengan senyuman lebar dan tangan di pinggang, seolah kedatangan Irene memang sudah ditunggu.

“Eh, anu, di sini kalian ternyata,” ujar Irene sambil mengatur napas. “Untung aku akhirnya ketemu kalian. Aku nggak ganggu, kan?”

“Nah, justru aku bersyukur kamu datang, Irene!” Suara ceria Sylvie sungguh merupakan hiburan setelah adegan aneh yang terpaksa disaksikannya tadi. “Nggak enak diskusi kalau anggota skuadnya kurang satu! Ngomong-ngomong, memangnya kamu habis y keliling perkebunan, apa? Rupamu kok kayak habis dikejar macan aja.”

Irene hanya bisa menggelengkan kepala, masih berusaha mengatur napasnya yang memburu. Ia sadar betul penampilannya pasti mengerikan sekarang. Bisa dirasakannya rambutnya melekat ke leher, basah oleh keringat. Tetes-tetes peluh mengalir menuruni dahinya.

“Anu, itu ....” Irene tidak terbiasa berbohong. Untung baginya, bunyi derit pintu kembali terdengar seiring masuknya Lucia. Mengetahui hal itu, Axel mendekati pintu itu dan mencoba membukanya kembali. Ia meringis mendengar suara derit yang menusuk kuping itu sekali lagi, lalu berpaling pada para perempuan yang bersamanya.

“Kayaknya engsel atasnya longgar, makanya pintunya miring. Lihat, kalau dibuka sampai segini, nggak ada bunyi apa-apa.” Dibukanya pintu itu sedikit, cukup untuk dia keluar masuk. “Tapi kalau dibuka sedikit lebih lebar lagi, nah! Ujung pintunya menggesek ubin, dan itu bunyi yang kita dengar sejak tadi. Hm, ingatkan aku buat bilang ke Om Hosea nanti, biar dibetulin.” Ia berbalik dan menepukkan kedua tangannya. “Jadi, Nona Detektif, karena Irene sudah di sini, sekarang waktunya kamu bicara.”

“Sudah kubilang, berhenti manggil aku kayak gitu.” Sylvie menukas, walau ia tersenyum kecil. Alright, guys, listen to me. Jadi, cerita Mas Jo tadi bikin aku ingat sama kejadian kemarin. Ingat kan, soal tamu—kalau nggak salah namanya Arini—yang bilang soal melihat hantu?”

"Tunggu dulu,” tahan Axel. "Bukannya waktunya nggak cocok? Kalau nggak salah, kemarin itu kejadiannya sekitar jam sepuluh, kan? Penampakan yang dilihat Mas Jo kan munculnya setelah jam dua belas?”

That's the point. Makanya, kita harus bicara dengannya.” Sylvie mendecakkan lidah dan menodongkan jari telunjuknya pada Axel, lalu mengajak Irene pergi ke halaman depan. Kontan Axel terkejut dengan gagasan itu. Buru-buru ia mengejar mereka, lalu menangkap lengan Sylvie.

“Hei, hei! Menurutmu dia nggak cuma berkhayal doang? Bisa gila aku kalau harus ngedengerin omong kosongnya lagi!” Suaranya meninggi, kedengarannya sedikit panik dengan gagasan itu.

“Kenapa? Kamu takut?” Sylvie berkacak pinggang. Suaranya kini mengandung tantangan, matanya menatap lurus ke mata Axel. Yang diajak bicara tentu tak mau kalah. Ia
balas melotot.

Veritas [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang