6. Setelah Badai Usai (R)

34 8 0
                                    

16 Desember, pukul delapan pagi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

16 Desember, pukul delapan pagi

"Tim gabungan Basarnas dan TNI sudah datang. Syukurlah jalan nggak longsor, dan cuma terblokir oleh material longsoran dari atas. Tapi, longsor telah menimbun tiga desa di
bawah. Sampai saat ini, masih banyak warga desa yang belum ditemukan. Untuk saat ini, upaya penggalian dan penyelamatan difokuskan pada desa-desa tersebut."

Kabar yang disampaikan Om Hosea itu sontak membuat semua orang tersenyum kecut. Ditambah lagi, sambungan listrik dan telepon terputus. Karena keterbatasan bahan bakar untuk genset, terpaksa AC dan TV tidak bisa digunakan. Sinyal ponsel, yang kemarin masih ada
sedikit-sedikit, kini hilang sama sekali.

"Jadi, gimana Om? Berarti kita bakal stuck di sini sampai beberapa hari ke depan?" Axel garuk-garuk kepala. Terjebak bersama orang-orang asing saja sudah merupakan hal yang
buruk, apalagi kalau salah satunya pembunuh! Wah, bisa-bisa jadi versi nyata film thriller. Dalam film-film thriller, biasanya tokoh utama selamat. Tapi, bagaimana Axel yakin kalau perannya bukanlah sebagai figuran yang bakal mati di menit ke lima belas?

"Empat hari, paling lama," sahut Om Hosea. "Kira-kira nanti sore akan ada tambahan tenaga dan alat berat dari pemerintah provinsi. Kita berdoa saja semoga evakuasi dan perbaikan berjalan lancar, dan tidak banyak korban jiwa di bawah sana."

"Doa? Korban jiwa di bawah sana? Jelas-jelas ada kematian di sini." Suara Louis yang dingin dan tajam terdengar saat ia berdiri dari sofa. "Saya bahkan tidak yakin apakah Anda sudah menghubungi polisi. Tentu saya memahami kalau Anda ingin menjaga nama baik tempat
ini, tapi saya sungguh berharap Anda tidak berpikir untuk menyembunyikan seorang pembunuh."

"Polisi sudah dihubungi. Setidaknya kami sudah berusaha. Seharusnya tempat ini bisa dijangkau dengan menembus hutan, tetapi terlalu berbahaya untuk melintas di cuaca tidak menentu ini. Ditambah lagi, mereka juga disibukkan dengan evakuasi para korban longsor di
bawah. Tidak ada yang bisa mereka lakukan saat ini." Om Hosea menjawab diplomatis.

"Baiklah kalau memang itu situasinya, tapi saya harap mereka tidak berlambat-lambat." Louis kembali duduk, kedua tangannya mencengkeram pegangan sofa. Axel tidak bisa menjelaskan emosi yang tergambar di raut wajahnya. Tidak terlihat air mata, atau apa pun yang
dianggap sebagai ciri kesedihan secara universal. Sedikit kemarahan, mungkin. Namun, ada sebuah istilah yang muncul tanpa permisi dalam benak Axel begitu memandang pria itu. Entah mengapa, ia yakin kalau Louis merasa bersalah.

***

Suasana kelam menyelimuti ruangan bahkan setelah Om Hosea pergi. Hening menyesakkan menekan batin setiap orang. Rasanya seakan tidak ada kegiatan ataupun pembicaraan yang cukup pantas dilakukan saat itu. Axel sesekali melirik ke sekitarnya. Martin tertunduk, jari-jarinya memilin-milin sehelai tisu. Yunita duduk bersandar sambil memandangi langit-langit. Wayan berada di luar, berdiskusi dengan Om Hosea, Louis, dan kedua tamu setengah baya.

Veritas [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang