12. Kebenaran tentang Marie (R)

27 7 0
                                    

“Menurutmu berapa persen ceritanya Kak Arini yang bisa dipercaya?” tanya Axel setelah mereka kembali ke ruang duduk

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Menurutmu berapa persen ceritanya Kak Arini yang bisa dipercaya?” tanya Axel setelah mereka kembali ke ruang duduk. “Aku pusing dengar bicaranya! Nggak karuan kayak benang kusut.”

“Sedikit di atas lima puluh persen,” sahut Sylvie singkat sambil mencatat dalam binder.

“Entah, ya, aku kok merasa Kak Arini tahu lebih banyak dari apa yang dia ceritain,” komentar Irene. “Okelah, dia memang penggila klenik, tapi orang normal nggak mungkin tiba-tiba bicara soal kematian sebelum ada kematian yang sesungguhnya, kan? Mungkin ada hal lain yang nggak sengaja dia lihat. Pikirannya langsung ngehubungin itu sama hal-hal mistis, tapi sebenarnya hal itu kunci penting kasus ini!”

“Itu kalau semua yang dia lihat bukan cuma khayalannya doang,” keluh Axel. “Huh, rasanya kita juga cuma putar-putar nggak jelas sepanjang siang ini. Baru tiga orang yang kita
dapat keterangannya, dan tiga-tiganya malah bikin semua ini tambah ruwet. Maksudku, kita bahkan nggak tahu kenapa Marie Rochelle yang jadi korbannya!” Remaja itu menghempaskan tubuhnya ke sofa terdekat. Dengan tatapan kosong dipandanginya langit-langit ruangan.

“Nah, itu dia masalahnya!” Mendadak, Sylvie menepuk paha Axel keras-keras. Mengabaikan protes Axel, gadis itu menjatuhkan diri ke tempat di sampingnya, menatapnya
lekat-lekat dengan mata kucingnya itu.
“Oke, sekali ini aku ngaku kalau ini salahku. Semua pembunuhan pasti ada alasannya, entah itu dendam, pencurian, atau yang lainnya,” ucap Sylvie pada Axel, lalu berpaling dan menatap Irene. “Irene, kamu ngikutin berita-berita seni budaya, kan? Apa kamu tahu orang kayak apa Marie Rochelle itu?”

“Um, dia pendatang baru yang cukup bikin heboh di dunia seni rupa.” Irene berusaha mengingat-ingat. “Kalau nggak salah, dia dulu belajar seni lukis di Perancis, tapi lebih sering
membuat karya seni instalasi dan lukisan mixed media. Gaya karya-karyanya cenderung ke
arah surealisme. Cepat sekali dia terkenal. Orang-orang yang iri bilang kalau dia terkenal gara-gara modal tampang, mentang-mentang masih muda dan cantik. Menurutku pribadi, itu cuma omongan orang iri aja. Habisnya, karya-karyanya memang bagus! Tahun lalu dia pameran
tunggal di Jakarta, tapi aku nggak sempat datang.”

“Apa ada kemungkinan karya-karyanya menyinggung beberapa golongan masyarakat?” tanya Axel. “Orang seni kadang-kadang bikin sesuatu yang, kalau ditelan mentah-mentah, sepintas terkesan kontroversial.”

“Nggak. Kalau soal ini aku yakin. Nggak ada karya Marie Rochelle yang sifatnya politis. Semuanya murni tentang kehidupan sehari-hari masyarakat modern. Ah, aku jadi ingat kritik dari seorang pematung senior yang dimuat di koran Minggu. Kelihatannya seniman-seniman dari golongan lebih tua menganggap karya-karyanya dangkal, nggak lebih dari objek selfie buat anak-anak muda.”

“Kalau soal pernikahannya, apa ada gosip-gosip miring?” sahut Sylvie.

“Yah, sayangnya Marie Rochelle dan suaminya bukan selebriti. Aku cuma pernah dengar kalau resespsi pernikahan mereka sangat mewah. Sori, kalau soal itu aku kurang tahu.” Irene menggeleng dengan wajah sedih.

“Jalan buntu lagi, eh?” sahut Axel. “Ah, apa itu suara Om Hosea? Kayaknya aku dipanggil, deh. Kutinggal dulu, ya!” Ia melambai tanda perpisahan, lalu bergegas keluar.

***

Axel menghabiskan sisa siang itu dengan membantu pamannya membereskan kertas-kertas bekas di kantor perkebunan. Di keadaan biasa ia pasti membenci tugas itu, tetapi mau tidak mau ia kini harus mengakui bahwa, di saat pikiran sedang ruwet, kegiatan sesederhana menumpuki dan mengikat kertas-kertas bekas jadi cukup menyenangkan. Ia kembali ke ruang duduk homestay kira-kira tiga jam kemudian dengan wajah cerah berseri. Irene sudah tidak ada di sana. Hanya Sylvie yang masih tinggal, menyambut Axel dengan wajah kusut.

“Kenapa senyum-senyum?” sambut Sylvie ketus.

“Kamu sendiri kenapa cemberut? Marah, ya, gara-gara kutinggal?” goda Axel.

“Ya nggak lah! Aku tuh cuma .... Ugh! Buntu!” Sylvie merentangkan tangannya dengan putus asa. “Kalau kamu masih berani senyum-senyum terus di depanku kayak gitu, aku harap kamu punya info yang berguna.”

“Oh jelas ada, dong.” Axel menepuk dada. “Beneran mau tahu, nih?”

“Kalau niat ngomong tuh to the point aja! Kalau mau disimpan sendiri ....” Sylvie menghentikan kalimatnya, tampak berusaha keras untuk tidak terbawa emosi. “Silakan aja. Aku nggak punya hak buat maksa kamu bicara, kan?”

“Hei, jangan ngambek gitu dong.” Axel menggaruk kepalanya. “Jadi, aku mastiin beberapa hal sama Om Hosea tadi. Pertama, semua tamu di sini minimal punya kenalan yang jadi kenalannya Om Hosea. Kamu sendiri dapat info soal homestay ini dari Irene, kan? Nah, papanya Irene itu temannya Om Hosea. Kak Aryo kerja di bank tempat Om Hosea menyimpan sebagian besar uangnya. Om Yunus dan Tante Mutiaitu nama dua orang yang kemarin ngobrol asyik sama Om Hosea‒adalah sahabat-sahabat lama Om Hosea dari zaman mereka kecil dulu. Perkebunan Mahendra Jaya jadi supplier buah-buahan untuk PT. Anugerah Prasatya Megah, jadi dari situlah Om Hosea bisa kenal sama Pak Louis. Nah, info terakhir ini yang
paling seru.” Axel menghentikan kalimatnya dan tersenyum penuh arti.

“Apaan?” Sylvie memiringkan kepalanya sedikit, menatap kedua mata Axel lekat-lekat. Walau tangannya masih bersilang di depan dada, terdengar jelas kalau nada sengit dalam suaranya mulai berkurang. Axel mencondongkan tubuhnya ke depan, lalu berbicara dengan suara rendah.

“Masih ingat soal lukisan di ruang duduk, kan? Benar kata Irene, itu memang hadiah dari Binsar Simatupang, yang ternyata sahabat Om Hosea di SD dulu. Ternyata, Binsar Simatupang itu ayahnya Kak Yunita!”

“Oh, ya? Terus, apa ada informasi lagi?” Sylvie hampir-hampir tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.

“Oke, setelah tahu hal itu, jelas dong aku iseng-iseng tanya apa Binsar Simatupang pernah terlibat kasus atau enggak. Dari Om Yunus dan Tante Mutia, aku dapat banyak info menarik. Beberapa tahun lalu, organisasi seniman yang diketuai Binsar Simatupang berencana ngadain pameran dan lelang karya seni di Paris. Untuk itu, mereka bekerjasama dengan asosiasi seniman muda lokal di sana. Enggak tahu gimana detail kejadiannya, tapi asosiasi itu menipu mereka. Uang ratusan juta yang mereka bayarkan untuk biaya sewa gedung dan acara hilang dibawa kabur, lalu asosiasi itu nggak bisa dihubungi lagi. Kalau ditotal dengan semua persiapan acara di Indonesia, kerugiannya lebih dari lima ratus juta rupiah. Nah, sesaat sebelum aku balik ke sini, mendadak Om Hosea ingat sesuatu. Binsar Simatupang pernah bilang kalau perwakilan asosiasi itu yang berkomunikasi dengan mereka adalah seorang mahasiswi seni keturunan Indonesia. Meskipun waktu itu dia menggunakan nama lain, begitu melihat foto pernikahan Marie yang viral itu, Binsar Simatupang yakin kalau Marie Rochelle dan mahasiswi itu adalah orang yang sama.”

Klotak! Perhatian Sylvie dan Axel terpecah oleh sebuah kaleng pipih yang jatuh menggelinding ke dekat kaki mereka. Tanpa mereka sadari, Irene sudah berdiri di belakang
mereka. Wajahnya seolah-olah baru saja melihat hantu. Ia bahkan tidak menyadari kotak permen mint yang dibawanya sudah terlepas dari genggaman.

“Jadi itu masalahnya ...,” gumam Irene lirih. “Sekarang aku tahu kenapa Kak Yunita benci banget sama Marie Rochelle!”

 “Sekarang aku tahu kenapa Kak Yunita benci banget sama Marie Rochelle!”

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Veritas [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang