"Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahaya yang kamu miliki. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang sombong dan membanggakan diri,"
(QS. An-Nisa' 4: Ayat 36)
"Ini, jalan menuju kebebasan. Atau bisa dibilang pintu santri nakal bolos. Dulu semua santriwati wajib membajak sawah, tapi dari tahun kemarin. Kewajiban itu dicabut. Ada banyak komentar dari para orang tua," jelas Zahra lalu memilih melanjutkan langkahnya.
"Dari sana, padahal kita banyak belajar, ya, Zah. Ada enaknya juga sih gak ngerasain badan gatal, tapi tetap kangen aja," balas Intan.
Zahra menoleh. "Memang, kata Umi Maryam yang banyak komentar itu dari angkatan dua tahun yang lalu."
Dari hasil tour tadi pagi, berakhir kumandang Azan Duhur Hilma menemukan tempat yang membuatnya kembali kesal berada di pesantren. Lain kali tidak masalah bukan bolos tidak mengikuti jadwal? Bukan merebut kunci pintu yang dipegang Zahra tadi, tapi niatnya itu adalah bersantai dengan angin siang yang sejuk menenangkan.
Sayang, Hilma harus membelakangi pondok santri di ujung sana. Meskipun tertutup benteng, tapi tadi Zahra sempat memperingati jangan kembali ke sana. Memberitahukan saja kepada Hilma, bukan berarti tempat tersebut layak menjadi tempat favorite.
"Mau ke mana, Hilma?" Intan bertanya seraya menggantung baju yang baru ia setrika.
Hilma berbalik dengan kikuk, mencoba menutupi rasa gugupnya. "Sakit perut, ke bawah dulu, ya."
Rahma yang sedang mengerjakan beberapa tugas menatap Hilma sekejap, lalu melempar senyum mengejek. "Ditahan dari tadi, ya?" tanyanya bergurau.
Untuk mencairkan suasana agar tidak gugup, Hilma menimpal, "Iya, nunggu waktu yang tepat!"
Hilangnya Hilma tidak menimbulkan rasa curiga. Keadaan pondok masih berjalan sesuai jadwal. Sekarang waktu menunjuk pukul dua siang, tersisa satu jam untuk para santri menghabiskan waktu luangnya. Memberikan waktu pula untuk Hilma yang memiliki niat dari jauh hari. Harus bisa masuk ke tempat yang lama ditunggu.
Mengendap-endap agar tidak menimbulkan curiga dari dalam kamar santriwati yang Hilma lewati. Seperti yang dilewati sejak awal, harus berjalan lurus mengikuti benteng tinggi. Tidak menemukan pecahan kaca tajam, akhirnya Hilma berada tepat di ujung pondok. Memiliki pemandangan asri pesawahan siap panen.
"Gak mengecewakan nih, bikin tenang gak dengar hafalan para santri yang berisik," gumamnya.
Sebuah tembok penyekat yang landai dijadikan Hilma sebagai tempat duduknya. Angin siang menyerbu menerbangkan kerudung warna biru tuanya. Kali ini, ia tidak memakai seragam santriwati, tapi hanya sarung hitam dengan pola garis-garis pasaran, sedangkan baju lengan panjang atasannya berwarna putih polos.
"Kalo malem, keliatan kali, ya, terhampar lampu rumah penduduk di sana," tebaknya sambil tiduran dengan santai.
Hilma bersiul dengan riang, hampir saja kedua matanya memejam karena deru angin siang membuatnya terkantuk-kantuk. Tanpa Hilma sadari, suara siulannya mengundang senior santri yang sedang membuang sampah tak jauh dari keberadaan Hilma yang hanya tersekat benteng, membuatnya cepat bergerak.
Keadaan yang sunyi jauh dari berisiknya suara manusia, tiba-tiba Hilma tersadar suara langkah kaki yang mendekati. Secepat kilat Hilma beranjak, belum sempat berlari untuk sembunyi. Kedua kaki yang melangkah lebar itu sudah berada di hadapan Hilma.
"ASTAGFIRULLAH!"
Beruntungnya, Hilma menutupi sebagian wajahnya dengan kerudung.
"Sedang ap-"
KAMU SEDANG MEMBACA
Ustaz Pondok Kepergok Cinlok [COMPLETED ✔️]
JugendliteraturPINDAH KE DREAME Persahabatan yang terjalin tidak mampu membongkar rahasia kecil dari salah satu keempatnya. Karena terbungkus senyum kecil mempesona, irit bicara dan tidak peduli saat berpapasan dengan lawan jenis. Intinya menghindari pandangan, ta...