Update cepet kan aku? :*
Bintangnya dulu dong :D
Ehe.
.
.
Reon kini sedang berhadapan dengan anak yang sempat mengganggunya di hari pertama ia sekolah. Kini, anak yang belum diketahui namanya itu kembali mengganggu Reon. Entah apa yang ia inginkan, Reon pun tidak tahu. Yang Reon tahu, anak itu sepertinya nakal.
“Kamu mau apa?” tanya Reon dengan berani. Tidak, Reon terpaksa menjadi berani. Ia tidak mau mengecewakan Leon!
Bocah itu tersenyum seperti mengejek. “Kayaknya cengengmu udah berkurang, ya. Tapi lihat aja, aku bakal bikin kamu nangis, biar semua teman-teman tahu kalau kamu itu anak cengeng!”
Reon jelas tidak terima. Ia sudah berjanji akan menjadi anak yang baik, ia tidak boleh menangis saat di sekolah. Kalau di rumah beda lagi. Yang penting, Reon sudah bertekad bahwa ia tidak akan meneteskan air matanya sedikitpun.
“Kenapa kamu diem? Kamu takut?!” tanya bocah itu.
“Nama kamu siapa? Kenapa kamu nggak pakai nama,” kata Reon, berusaha mencari topik lain untuk dibicarakan. Ia juga sudah berjanji akan akur dengan teman-teman, ingat.
Dan juga, maksud dari perkataan Reon adalah … itu … begini, setiap anak diberikan kertas berwarna berbentuk persegi panjang dan mereka harus menuliskan nama masing-masing di atas kertas itu. Jika sudah, bu guru akan membantu anak-anak untuk memasang kertas nama itu di baju menggunakan peniti.
“KAMU GIMANA, SIH!? Kita udah nggak pakai nama itu lagi, tahu! Makannya jangan bolos sekolah, kamu jadi nggak ngerti apa-apa, ‘kan!” ucapnya marah.
Bibir Reon mulai bergetar, ia berusaha menahan air matanya. Reon tidak suka dibentak, apalagi jika orang lain yang melakukannya. Reon hanya diam dan perlahan melepas kertas namanya. Setelah itu, keduanya terdiam. Bel masuk telah berbunyi, kelas yang semula sangat ramai dan terlihat seperti kapal pecah, tiba-tiba berubah drastis menjadi tenang dan rapi.
Sungguh keajaiban.
‘Rasain,’ batinnya sambil tersenyum bangga. Tunggu, bangga karena apa?
Tidak lama kemudian, bu guru datang dan memasuki kelas. Bu guru dan anak-anak muridnya saling menyapa dengan ceria. Bahkan, bu guru sempat terharu karena ia melihat Reon berada di kelasnya.
“Reon, bu guru senang sekali kamu bisa bareng kita lagi. Anak-anak, kalian harus baik sama Reon, ya. Kalau Reon nggak tahu sesuatu, kalian harus bantu. Mengerti?”
“Mengerti, bu guru,” jawab mereka serempak, kecuali bocah yang mengganggu Reon tadi.
Bu guru tersenyum, tiba-tiba pandangannya tertuju kepada Reon yang sedang menunduk. Bu guru seperti sedang memerhatikan sesuatu.“Reon, kenapa kertas namanya nggak dipakai, Nak?” tanya bu guru. Sontak, seluruh teman-temannya kini menatap ke arah Reon, termasuk bocah tadi.
Sudah jelas Reon merasa bingung. Reon menatap bu guru dengan tatapan bertanya, kemudian ia beralih menatap bocah yang duduk di depannya. Bocah itu memberi Reon tatapan ‘mau aja dikerjain’ sambil tersenyum senang. Bahkan, ia kini memakai kertas namanya, padahal tadi tidak!
Rupanya Reon sedang dipermainkan.
Lagi-lagi Reon menunduk. “Maaf, bu guru. Reon salah,” ucap Reon menyesal.
“Nggak papa, Reon. Sekarang kertas namanya dipakai dulu, biar Ibu bantuin, ya.” Reon mengangguk. Bu guru kemudian berjalan mendekati Reon.
“Gitu aja minta dibantu, manja banget,” ucapnya dengan pelan. Tentu saja Reon masih bisa mendengarnya. Reon semakin tidak tahan untuk menangis.

KAMU SEDANG MEMBACA
Daily Life Reon Gerald 2 (SELESAI) ✔
JugendliteraturReon bersedia untuk berangkat ke sekolah?!! Itu adalah sesuatu yang melegakan. Hanya saja, mampukah little mochi satu ini menghadapi teman-teman sekelasnya dengan tingkah luar biasa mereka? Lantas, bagaimana Reon akan mendapat teman? Apakah ada yang...