Hinata sibuk menyelesaikan skripsinya, dia sudah bertekat tahun ini dia harus lulus. Hinata bosan bekerja menjadi officegirl dia ingin bekerja di tempat yang lebih layak dan juga berhenti menjadi beban Kakaknya.
Ya meski tidak bisa di pungkiri, menyusahkan Neji itu seperti ada kesenangan tersendiri bagi Hinata. Tapi tetap saja, sebagai adik yang baik dan berhati luhur Hinata ingin berhenti menghabiskan uang yang susah payah di kumpulkan Kakaknya.
Ditengah seriusnya Hinata menggarap tugas, suara rengekan balita membuat alis gadis itu berkerut.
“Anak siapa anjir malem-malem nangis di cuekin,” gerutu Hinata, dia mengabaikan tangisan itu namun bukannya diam tangisan itu makin kencang dan juga memekakkan seolah tangisan itu berada di ruangan yang sama dengannya.
“Eh anjir, woy anak siapa sih gak tau orang belajar apa!!!” pekik Hinata kesal, dia baru saja hendak memasang headset namun dia tersadar akan sesuatu.
“ASTAGA, HIMAWARI!!!”
Dengan langkah seribu Hinata berlari ke kamar, dia mendapati balita itu sedang menangis kencang di dalam kamarnya. Matanya sembab dengan baju yang basah kuyup, “Astaga.. cantik kamu kenapa?” Hinata menghampiri balita itu, saat dia hendak menggendongnya Hinata mencium bau aneh yang menguar dari tubuh anak itu.“Mamaaa…”
“Hima ngompol????” pekik Hinata kaget. Dengan tangisan yang tak kunjung reda balita itu mengangguk.
“Maaa maaf, Hima nggak janji gak pipis di kasur lagi… maafin Himaa…”
Balita itu menangis hingga terisak, Hinata merasa bersalah dan lantas menggandeng anak itu untuk pergi ke kamar mandi. “Udah jangan nangis gapapa cantik, ayo mandi dulu.”
Himawari mengangguk meski masih terisak-isak, Hinata segera menyiapkan air hangat untuk balita itu. Kepalanya mendadak di isi oleh berjuta beban yang beratnya melebihi kata mengulang mata kuliah.
“Kamu mandi dulu ya di sini Mama carikan baju buat Hima?” Hinata membantu melepaskan pakaian anak itu lalu menggendong Himawari masuk kedalam bathup. “Gak papa kan Mama tinggal sebentar?”
“Nggak lama kan Mama?” balita itu terlihat takut, Hinata menggeleng lalu tersenyum.
“Bentar aja kok nanti balik lagi, Mama mau cari baju buat Hima..”
Himawari mengangguk, dia mulai bermain dengan bebek karet yang tadi di berikan oleh Hinata. Sedangkan gadis itu langsung berlari ke luar untuk mencari bantuan.
“KAK, KAK SASO BUKA PINTUNYA WOY!!!”
Hinata menggedor pintu apartemen Sasori, beruntung Sasori sudah di berkahi kesabaran level dewa hingga mampu bertahan memiliki tetangga seperti Hinata. “WOY KAK LO MATI APA NGAPAIN SIH?!”
“Sabar anjing gue lagi makan!!” Sasori membuka pintu itu dengan emosi, pemuda tampan itu bahkan masih membawa piring nasinya.
“Lah gue malah belum makan, bagi dong.” Tanpa basa-basi dia merebut sendok Sasori dan memakan makanannya.
“Lah anjir, nasi gue!!”
“Bentaran Kak gue laper.”
“Makanya masak sih anji*g, minta mulu lo mah.”
Hinata tertawa tanpa dosa lalu mengembalikan piring Sasori, “Hehe maapin atuh.”
“Basi, apaan dah ganggu banget malem-malem?” sinis Sasori.
“Gue nemu anak, gak tau anak siapa anjir…”
Sasori mendelik, “Lah bego di kira anak kucing bisa nemu.”
“Serius Kak, lagi gue mandiin itu sekarang tapi gak ada baju gantinya..”
“Anjin* beg* banget sih lo,”
“Tolongin Kak, gimana ini…”
Sasori mengusap wajahnya kasar, dasar Hinata ada saja tingkahnya yang bisa membuat migren mendadak. “Kenapa manusia beg* kaya lo harus idup sih Nat??”
***
Sasori menatap Hinata tajam, gadis cantik itu sedang menggantikan baju Himawari dengan telaten. Sesekali ia terlihat bercanda dengan balita itu lalu tertawa seolah semua baik-baik saja.
Sasori benar-benar syok saat melihat balita berusia sekitar lima tahun itu berada di bak mandi Hinata, dia kira Hinata kerasukan hingga mengatakan hal gila itu tapi nyatanya Sasorilah yang hampir gila di buatnya.
“Kak, jangan bilang sama Bang Neji ya?” Hinata menggendong Himawari lalu duduk di depan Sasori yang masih bersedekap tangan sedari tadi.
“Gue bakal bilang, ini gak jelas anak siapa bisa bahaya nanti.” Tolak Sasori tegas.
“Jangan please, gue udah lapor polisi Kak nanti pasti orang tuanya nyariin dan semuanya kelar.” Bujuk Hinata, Sasori masih tidak begitu peduli dia sibuk mengamati balita mungil yang sedang sibuk menonton animasi di ponsel Hinata.
“Kalau lebih dari sebulan orang tuanya gak ketemu terpaksa gue turun tangan,”
“Iya gue janji gue bakal nemuin orang tuanya gak sampe sebulan,”
Sasori menghela nafas pelan, selain bodoh dan juga menyebalkan Hinata itu suka mempersulit hidupnya. Kenapa dia harus membawa anak itu kerumahnya padahal dia bisa meninggalkan balita itu di kantor polisi?
“Mama..” panggilan dari Himawari itu membuat alis Sasori kian menajam. Sekarang apa lagi? Batinnya.
“Iya cantik kenapa?”
“Perut Hima bunyi, Hima lapar..”
“Jangan bilang lo belum kasih dia makan malam?!” Sasori mendelik horror menatap Hinata sementara gadis itu tanpa rasa berdosa malah menjawab.
“Sebenernya dari gue nemuin dia gue belum kasih dia apa-apa, soalnya gue juga belum makan apa-apa seharian.” Jawabnya polos.
Sasori mengusap wajahnya kasar, “Astaga lo itu baik apa beg* sebenernya? Lo mau bunuh anak orang ha?!”
“Hehehe lupa Kak,”
“Lupa terus lo anjin*, buru ke apart gue! Mati anak orang lo yang di tuntut setan!”
Dengan cengiran tanpa dosanya Hinata langsung menggendong Himawari menuju apartemen Sasori. Hinata sangat beruntung memiliki tetangga seperti Sasori, selain baik hati dia juga selalu mengutamakan Hinata seperti adiknya sendiri.
“Kak, gausah marah-marah dong..”
“Diem lo ba*i!”
***
Sejak menghilangnya Himawari, Naruto jadi pribadi yang temperamental. Semua pekerjaan yang menurutnya tidak sesuai akan langsung di protes bahkan parahnya Naruto sudah memecat beberapa karyawan karena alasan sepele. Shikamaru kewalahan di buatnya, di tau suasana hati Naruto sedang tidak baik tapi dia tidak bisia seperti ini terus menerus.
“Nar, lo gak bisa kaya gini terus.. perusahaan kita menurun performanya ahir-ahir ini.” Tegur Shikamaru pada Naruto yang sedang menatap kea rah jendela dengan tatapan kosong.
“Gak ada gunanya gue ngurus persahaan raksasa kaya gini kalau gue gak bisa jagain satu anak gue,” Naruto tersenyum kecut, dia mengelus layar ponselnya yang menampakkan wajah Himawari yang sedang tertawa.
“Tapi Nar, perusahaan ini jeri payah lo. Lo rela kehilangan ini semua?”
“Bahkan gue rela jadi gelandangan lagi asal anak gue ketemu,” jawab Naruto pelan.
“Nar-“
“Lo gak paham Shika, lo gak ngerti. Anak gue itu satu-satunya yang gue punya, lo gak ngerti karna bukan anak lo yang ilang. Please gak usah maksa gue.”
Shikamaru terdiam, secara langsung Naruto mematahkan argumennya. Benar, memang benar dia tidak mengerti apa yang Naruto rasakan.
“Sorry.”
Next____
KAMU SEDANG MEMBACA
MAMA | Hyuuga Hinata✔️
Fanfiction18+ Mama, Bunda, Mommy. Pada usia sekitar dua puluh tiga kebanyakan teman Hinata sudah menyandang gelar itu sebagian besar dari mereka sudah sukses merajut keluarga yang bahagia namun sepertinya takdir baik belum datang pada Hinata, gadis yang sebe...