11. Salah

945 133 17
                                    

Naruto duduk di taman bersama Himawari, dia menatap balita mungil itu dengan tatapan sayang. Entah kenapa dia begitu merindukan putrinya itu, waktu berjalan sangat sangat lama ketika balita itu tidak ada dalam jangkauannya.

“Hima, sini…” Naruto melambaikan tangannya ke arah Himawari, balita itu tersenyum cerah lalu berlari ke arah Naruto.

“Papa, ada apa?”

Naruto menggeleng, dia menarik tubuh mungil itu ke dalam dekapannya lembut. “Gapapa, Papa kangen banget sama Hima..”

Balita itu tertawa kecil, dia membalas pelukan Ayahnya erat. “Papa ngga boleh sedih, Mama bilang kalau Papa sedih nanti malaikat di langit ikutan sedih…” ujar balita itu.

Naruto mengerutkan keningnya heran, agak bingung juga dengan capan balita berusia lima tahun itu.

Daripada berfikir lebih jauh Naruto lebih memilih untuk mengabaikan apa yang otaknya pikirkan, dia memeluk Himawari lalu mengecup pucuk kepalanya berulang kali.

***

Perih, tak ada rasa yang paling ketara di tubuh Hinata selain itu. Dia sadar namun tak sanggup bergerak. Tubuhnya remuk lukanya mungkin saja sudah membusuk, entah berapa lama gadis itu jatuh pingsan di sini.

“Udah bangun lo?” Hinata meringis pelan saat Naruto menarik rambutnya, “Tahan banting juga ya lo ternyata, hebat.” Pujinya sambil tersenyum sinis. “Lo lulusan apa sih bisa sekuat itu?”

Namun Hinata tak sanggup menjawab, jangankan berbicara untuk sekedar membuka mulut saja rasanyay sangat menyakitkan.

“Kalau di ajak ngomong tuh jawab, beg*!!” Naruto menghempas kepala Hinata hingga membentur lantai, entah kenapa dia sangat bernafsu menyiksa gadis itu.

“Bos, bak mandinya udah.”

Seorang lelaki bertubuh bongsor menghampiri Naruto, senyum iblis di wajah lelaki itu kian nyata. Dia menggendong tubuh lunglai Hinata dengan santai. Gadis itu pasrah, dia sudah sangat iklas menjalani takdirnya.

“Karna lo belum mati, jadi lo harus nyobain yang satu lagi.”

Hinata menutup matanya yang lemah ketika dia dia angkat dan siap di ceburkan kedalam bathup berisi es batu dan air.

Mungkin kali ini Hinata akan mati, begitu kurang lebih yang di pikirkan gadis itu.

Naruto menceburkan Hinata kedalam air es itu tanpa belas kasih. “Selamat menikmati,” ujarnya lalu meninggalkan Hinata di sana yang tak lagi sanggup bergerak.

Hinata menangis, bukan tangis penyesalan atau mengutuk pilihannya lagi melainkan tangisan permohonan agar nyawanya segera di ambil.

***

Naruto terkejut mendapati anak tunggalnya menangis histeris sambil menggenggam sebuah liontin kecil bernama dirinya, “Mamaaa…”

Naruto berlari ke arah Himawari yang sedang belari kesana-kemari mencari entah siapa yang di panggilnya Mama. “Hima, hey kenapa sayang??” Naruto menggapai balita itu lalu mendekapnya erat sementara Himawari meronta ingin lepas dari pelukan Naruto.

“Mama, Mama Hinata dimana…” balita itu terus meronta-ronta sedangkan Naruto tidak paham apa yang di maksud balita itu.

“Mama siapa Hima? Ini Papa di sini, Hima nyari siapa??” Naruto terlihat panik dan frustrasi dalam satu waktu bersamaan.

“Mama Hinata… Mama di mana, jangan tinggalin Hima lagi Ma… Hima ikut Mama…”

Naruto kian tidak paham, “Himawari, Mama siapa yang Hima maksud? Mama Hima nggak di sini sayang..” Naruto tidak mengerti, kenapa anaknya bisa seaneh ini. Dia seperti kesurupan mahluk halus dan mendadak berubah jadi orang lain.

“Bukan, Mama Hinata.. Mamanya Hima yang baru, Mama bilang gak akan ninggalin Hima lagi…”

Naruto menggendong putrinya paksa lalu membawanya kedalam mobil sambil memeluknya erat, “Sayang diem ya? Kita jalan cari es krim Hima jangan nangis lagi..”

“Gak mau es krim, Hima mau Mama…”
“Mama siapa sayang? Mama Hima kan ada di langit.”

“Gak mau mau Mama Hinata…”

Naruto tidak tau, dia membawa anaknya itu pergi berharap di jalan nanti Himawari tenang dan melupakan Mama halusinasi yang dia maksud.

***

Sekitar jam dua pagi Naruto kembali ke apartemennya, dia  berhasil menangkan putrinya. Balita itu tertidur lelap sekarang, ahirnya Naruto bisa bernafas lega ketika melihat buah hatinya kembali lelap tertidur seperti sebelumnya.

“Kamu kenapa sih sayang?” monolog Naruto, dia mengelus pipi tembam anak itu lalu mengecupnya lembut. “Jangan bikin Papa takut.”

Sekarang yang ada di kepala Naruto adalah menemukan bos gadis aneh yang sudah membuat putrinya seperti ini, Naruto bersumpah akan membasmi keluarga gadis itu hingga ke akar kalau saja dia masih bungkam. “Cih,” Naruto berdecih pelan. Dia mengeluarkan ponselnya lalu menghubungi seseorang.

Shikamaru Nara, satu-satunya orang cerdas yang bisa bekerja sangat rapih bersamanya. Naruto ingin sekretasirnya itu segera menemukan siapa dalang di balik penculikan putrinya.

“Temuin siapa pelakunya,”

“Bukannya udah?” dari cara bicaranya terlihat jelas Shikamaru tengah malas meladeni Naruto.

“Dia gak mau bilang siapa bosnya.” Naruto mengepalkan tangannya kuat hingga buku jarinya memutih, dia tak habis fikir kenapa gadis lemah seperti Hinata tidak mau membuka mulut padahal dia bisa saja selamat kalau saja dia berbaik hati mengatakan yang sebenarnya.

“Kasih gue waktu.”

Naruto tersenyum bangga kemudian mengangguk, “Secepatnya. Semakin cepat semakin besar bayaran lo.” Lalu Naruto memutus sambungan telepon itu sepihak.

Dia kembali menatap putrinya lembut, “Bentar lagi Papa pasti balesin rasa sakit kamu cantik.”


Next___




Apa?

MAMA | Hyuuga Hinata✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang