14. Penyesalan

1.1K 127 19
                                    

Menyesal? Entahlah Naruto sudah tidak bisa menjabarkan seperti apa kacaunya perasaannya sekarang. Pria tampan pemilik salah satu perusahaan ternama di Tokyo itu tengah duduk di balkon kamarnya sambil meneguk segelas wine di tangannya.

Pemuda itu tersenyum hambar sambil menatap layar ponselnya yang menunjukan foto Hinata, entah sejak kapan wajah gadis itu berhasil menjarah fikirannya. Perasaan bersalah dan juga menyesal itu memenjara Naruto dalam belenggu luka yang dalam, dia menyesal namun tak mampu berbuat apa-apa. Kenyataan bahwa dia manusia brengsek yang melebihi binatang tidak bisa dia sembunyikan begitu saja.

“Apa gue harus mati juga biar rasa bersalah gue ini hilang?” tanya Naruto pada semilir angin yang menerpa wajahnya, pria itu menangis tanpa suara. Di cengkramnya erat ponsel bersoftcase hitam itu sambil menahan sesak. “Tapi kalau gue mati gimana Himawari?” Naruto meneguk lagi minumanya, “Gue harus apa?” Naruto menjambak rambutnya frustrasi.

Tiba-tiba terdengar tangisan Himawari yang begitu kuat dan memekakkan telinga.

“MAMA!!”

Naruto segera meletakan gelasnya lalu beranjak ke kasur, “Hy sweety kenapa cantik? Ini Papa.” Naruto lantas memeluk balita itu namun Himawari menepisnya.

“Mama… Mama.. Hima mau Mama..” jerit balita itu sambil menangis histeris.

Kalian tau rasanya sekarang? Sakit. Sangat sakit bahkan Naruto tidak bisa mendefinisikannya lagi. Dia sudah seperti seorang suami yang di tinggal mati istrinya.

Dia sudah membunuh gadis baik hati yang tak bersalah, dia sudah membuat anaknya kehilangan sosok yang sejak dulu di carinya dan sekarang Naruto membuat dirinya sendiri terbelenggu rasa bersalah yang kian mencekik dan menyiksa.

“Hima ini Papa, ayo sini sama Papa aja..” pemuda itu memeluk putrinya paksa meski Himawari meronta, entah kenapa balita itu mendadak seperti ini. Balita itu sering mengigaukan Hinata bahkan terkadang dia menangis dalam tidurnya karena terlalu merindukan Hinata. Naruto menyesal, rasanya dia ingin membunuh dirinya sendiri karena terlalu bodoh.

“Maafin Papa sayang..”

Lagi, sepertinya malam ini dia akan menghabiskan waktunya dengan meratpi nasipnya sendiri sambil menatap foto Hinata.

***

Sekitar pukul tujuh pagi, Naruto mendapatkan panggilan dari salah satu bawahannya di Osaka. Ada laporan kehilangan salah satu karyawannya di sana, seorang pihak keluarga mendatangi perusahaan untuk menanyakan keluarganya.

“Lo gak bisa tangani?” tanya Naruto pada Sasuke yang merupakan kepala cabang di sana.

“Gak bisa dia mau ketemu lo, dia nuntut gak terima karena keluarganya hilang waktu masih di jam kerja,” sergah Sasuke.

“Emang bener gitu?” tanya Naruto sambil memijit pelipisnya.

“Enggak! Anak itu hilang udah di luar jam kerja. Dia sering ngambil izin karena ngasuh anak kecil jadi hari itu dia ada jadwal belanja dan balik lebih awal.”

Naruto merasa ada yang janggal dengan perkataan Sasuke. “Nama?” tanyanya ragu.

“Hyuuga Hinata, umur 23 tahun posisi di kantor office girl. Beberapa hari terakhir dia dateng ke kantor bawa anak terus, udah beberapa kali di tegur tapi dia bilang gak ada yang bisa jaga anak dia.” Jawab Sasuke lancar. Hening, tak ada jawaban dari Naruto sama sekali. “Nar, lo denger gue?”

Naruto menatap kosong ke arah dinding dimana ada banyak coretan tangan anaknya,  dadanya sesak. Bahkan dalam keadaan bekerja Hinata masih membawa Himawari yang bukan anaknya, kenapa Naruto merasa malu pada dirinya sendiri yang sering meninggalkan Himawari di penitipan terkadang sampai larut malam?
Dia ayah yang buruk.

“Gue ke sana sekarang,” tanpa pikir panjang Naruto langsung memasukan ponselnya ke saku, dia memasuki kamar untuk melihat putrinya. Hatinya terenyuh saat melihat Himawari sedang belajar memasukan beberapa buku bacaannya ke dalam tas, balita itu sudah memakai baju yang biasa ia pakai meski tidak serapih ketika Naruto memakaikannya.

Sebanyak apa hal yang di ajarkan Hinata pada putrinya? Kenapa dalam waktu satu bulan saja dia sudah bisa merubah banyak hal pada balita mungilnya.

“Hima?” panggil Naruto pelan.

“Papa? Selamat pagi…” Himawari tersenyum manis lalu berlari ke arah Papanya. “Papa Hima udah cantik kan?”

Naruto tersenyum bangga lalu mengecup pipi putrinya, “Iya Hima cantik,” ujar Naruto.

“Kata Mama kalau Hima nggak manja lagi Hima bisa jadi putri cantiknya Mama…”  ujar balita itu.

Naruto tersenyum nanar, dia menggendong anaknya lalu membawanya ke meja makan. “Minum susu dulu ya, ini di makan..” Naruto menyodorkan semangkuk sereal sarapan untuk Himawari, selagi balita itu menikmati sarapannya Naruto sibuk membereskan bekal Himawari.

“Papa nanti jemput jam berapa?”

“Kayanya Papa pulangnya lama, gapapa kan baby?” Naruto menatap putrinya.

Himawari tersenyum lebar menampilkan deretan gigi putihnya yang rapih sambil mengangguk, “Iya gak papa. Mama bilang gak boleh nakal kok, Hima bisa jadi anak baik..”

“Hima sayang banget ya sama Mama?” tanya Naruto sambil mengusap kepala balita itu pelan.

“Mama selalu beliin Hima es sama jajan, Hima sayang Mama..”

“Kalau sama Papa, sayang nggak?”

“Sayang, Papa kan super heronya Himawari..”

Ah sial, seandanya Naruto bisa menggunakan otaknya lebih baik mungkin hidupnya tidak akan seberantakan ini. ‘Maafin Papa.’ Batin Naruto.

***
Naruto meremat jemarinya frustrasi, wajahnya boleh datar tapi pikirannya sedang berantakan.

Di hadapannya sekarang duduk beberapa karyawan yang akan memberikan kesaksian tentang Hinata terakhir kali, Naruto tidak siap mendengar penjelasan yang mungkin akan membuat hatinya kian tertusuk.
“Jadi Hinata itu office girl di sini?” tanya Naruto. Suaranya begitu berwibwa kendati hatinya gelisah.

“Iya, Hinata sudah menjadi pegawai di sini sejak enam bulan yang lalu.” Gaara selaku kepala staff kebersihan menjawab pertanyaan Naruto.

“Sebelum dia hilang apa ada tanda-tanda mencurgakan?” pertanyaan ini lebih seperti ke ajang intergoasi.

“Nggak ada yang aneh bos, Cuma satu bulan terakhir Hinata selalu kerja sambil bawa anak kecil.” Fuu, selaku partner kerja Hinata ikut menjawab.

“Anak?”

“Iya, kami nggak tau itu anak siapa Cuma Hinata gak bisa ninggalin anaknya di apartemen, dia gak punya cukup uang juga buat bayar penitipan anak.”

Naruto merasakan nafasnya sesak, kendati hatinya sakit dia masih bisa menyembunyikan ekspresinya dengan baik.

“Boleh saya ngomong??” Tanya Sasori sambil menatap lurus ke depan.
“Silahkan.”

“Anak yang di bawa Hinata itu adalah anak yang dia selamatkan dari penculikan, saya berasumsi anak itu bukan anak biasa dan bisa saja Hinata di culik oleh penculik yang masih memburu balita itu.”

Naruto terdiam menyimak perkataan Sasori dengan baik, “Dia sudah melaporkannya ke polisi tapi sepertinya polisi sangat lama bertindak, padahal dia bisa saja meninggalkan anak itu di kantor polisi tapi Hinata bersikeras membawanya pulang karena-“

“Cukup.” Naruto mengangkat tangannya lalu menatap Sasori datar, entah kenapa mendengar perkataan Sasori tentang Hinata membuat dadanya kian sesak.

“Saya akan menangani ini, kalian silahkan kembali ke ruangan.”

Mereka semua berdiri tidak terkecuali Sasori, sebelum pergi dia sempat menatap Naruto sekilas lalu tersenyum samar.


Next____

MAMA | Hyuuga Hinata✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang