PROLOG || Awal Kisah

123 24 155
                                    

"Senja, kalau main bola nendangnya jangan kencang-kencang, sayang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Senja, kalau main bola nendangnya jangan kencang-kencang, sayang. Kasihan Papah kalau harus ambil bolanya terus." Wanita paruh baya itu berteriak memperingati sang buah hati di sela-sela kesibukannya yang tengah mempersiapkan makanan.

"Oky doki, Mamah." Senja mengacungkan ibu jarinya diiringi senyuman mengembang.

"Papah tangkap bolanya lagi!"

"Hap!" Dengan sekali lompatan pria itu berhasil menangkap bola yang Senja tendang. Gadis kecil itu bersorak bahagia sembari melompat-lompat kegirangan. Sedangkan Rama terkekeh geli melihat tingkah Senja yang menurutnya sangat menggemaskan. Melihat Senja tersenyum dan tertawa lebar adalah suatu karunia yang Rama syukuri. Membuat sang putri tertawa adalah tujuan utama hidup Rama. Pria itu berharap, senyum manis itu tidak akan pernah luntur dari wajah putrinya. Dia sangat menyayangi Senja, saat ini, esok dan untuk selamanya.

Nadia menggelengkan kepalanya pelan sembari menatap putri kecilnya. Wanita itu terus tersenyum manis, melihat Senja seaktif ini membuat hatinya terasa tenang. Senja memang termasuk anak yang aktif dan ceria. Dia ingin tau banyak hal, tidak salah jika Senja akan terus bertanya jika melihat hal yang baru.

Saat ini keluarga kecil itu tengah berada di taman pusat kota, mereka memutuskan hari minggu ini untuk full time bersama keluarga. Kesibukan kantor yang dialami Rama dan Nadia membuat waktu mereka terkuras habis hanya untuk mengurusi dokumen-dokumen yang tidak ada habisnya. Mereka juga tidak banyak menyisakan waktu untuk bermain bersama Senja. Putri kecil mereka selalu marah ketika Rama dan Nadia lebih mementingkan hal kantor daripada Senja. Bahkan Senja pernah mengurung diri di kamar karena kedua orang tua itu pergi ke kantor pada hari minggu, padahal jauh-jauh hari mereka sudah berencana untuk jalan-jalan keluar.

Ketika mengingat Senja merajuk, membuat Nadia menjadi geli sendiri. Bagaimana tidak, wajah Senja yang imut itu berubah menjadi merah menahan amarah dan hidung kembang kempis menahan tangis.

Setelah memerhatikan putrinya cukup lama, Nadia kembali mengeluarkan semua makanan dari dalam keranjang. Tangannya dengan telaten menyusun makanan itu dengan rapi di atas alas yang sudah dibentangkan dengan lebar. Pergerakan tangannya terhenti ketika sesuatu yang dia cari tidak ada di dekatnya. Netranya berputar menyelidik mencari benda yang dia butuhkan itu.

"Mas, air putih buat Senja kamu taruh mana? Kok disini ngga ada," teriak Nadia yang perhatiannya tak luput dari barang-barang yang ada di depannya. Tangannya masih setia membuka tas dan ranjang itu secara bergantian.

Rama menoleh, menghentikan aktifitas bermainnya. "Ada di bagasi mobil," jawabnya berteriak.

"Boleh minta tolong buat ambilin nggak, Mas? Soalnya aku repot mau nyiapin makan siang buat kita nanti."

"Iya,sebentar." Pria itu berjalan kearah Senja. Menghampiri putrinya dan menyerahkan bola yang sedari tadi berada di tangannya. "Papah mau ambil air dulu di mobil. Senja main sendiri dulu, ya. Nanti Papah balik lagi. Mainnya jangan sampai ke tengah jalan, soalnya di sini lagi ramai, banyak kendaraan yang lewat," jelas Rama yang saat ini tengah berjongkok di hadapan Senja.

Dear, SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang