Dari kemarin Awa selalu murung. Joks Nasyla sia-sia karena suasana hatinya yang kacau. Entah apa yang sedang Awa khawatir kan.
Nasyla dan Haba duduk di atas tempat tidur Awa yang berada di bawah ranjang Nasyla-memandang ke arah Awa yang sibuk merapikan buku di rak nya yang terletak di depan ranjang semua santri kamar ini, tepat samping pintu masuk.
Nasyla menceritakan betapa khawatirnya dia kepada Awa yang tidak tertawa dari kemarin. Haba pun bingung bagaimana cara membujuknya. Dia dan Awa baru dekat semenjak semester satu awal. Pertemuannya di pesantren menjadikan mereka teman. Tapi karena baru sebentar berteman dengan Awa, Haba bingung menghadapi sisi Awa yang seperti ini. Masalahnya di hari-hari sebelumnya Awa tidak pernah terlihat murung.
Karena terlalu segan untuk menanyakan hal pribadinya karena takut Awa akan salah faham Nasyla dan Haba hanya bisa menopang kepala dengan tangan mereka.
"Gimana nih?" Tanya Nasyla.
"Enggak tau" jawab Haba.
Hari sudah semakin sore, kemarin hari Nasyla si tutup dengan hal tak menyenangkan. Kiyai Yusuf tetap teguh pendirian, tidak mengizinkan Nasyla untuk berganti kelas padahal Nasyla sudah mengeluarkan semua kata-kata halus yang biasanya berguna untuk membujuk seseorang. Kiyai Yusuf terlalu keras dengan keputusannya. Hari ini Nasyla tidak mau jika harinya kembali di tutup dengan hal tak menyenangkan. Dia ingin melihat Awa kembali dengan senyum yang selalu merekah di wajahnya.
Setelah hampir setengah jam memandang Awa yang masih sibuk merapihkan buku dan lemarinya, kedua gadis ini beranjak menuju masjid untuk siap-siap sholat mahrib.
"Wa, ayo siap siap sholat mahrib" ajak Nasyla yang sudah menggandeng mukenanya bersama Haba.
Awa menoleh. "Kalian duluan aja, aku sebentar lagi beres"
Nasyla sedikit kecewa dengan jawaban Awa. Dengan seperti itu mereka tidak punya kesempatan untuk mengobrol lebih banyak dengan Awa. Sikapnya yang dari kemarin berubah drastis sungguh membingungkan. Seolah Awa ingin menjauh diri dari Nasyla dan Haba.
Dengan wajah kecewanya Nasyla dan Haba berjalan menuju masjid tanpa Awa.
Setelah sholat mahrib dan hendak mulai mengaji Nasyla mencari-cari keberadaan Awa. Tapi setelah dia menyapu bersih masjid ini tetap tidak menemukan sosok Awa.
"Nasyla, sedang apa? Ayo ngaji" interupsi dari Fatimah.
Nasyla menyudahi pencarian singkatnya untuk menemukan Awa dan kembali berjalan menuju Fatimah yang selalu menjadi guru ngajinya.
Iqra 1 cukup membuat Nasyla kerepotan. Dia yang sudah tak pernah mengaji dari 7 tahun yang lalu dan kemudian di sodorkan kembali iqra membuatnya pusing tujuh keliling. Nasyla setiap hari harus duduk di depan Ustadzah sambil mengingat-ingat kembali sebutan untuk siap huruf di iqra. Meskipun begitu, itu tidak sebanding jika dia terus berada di atap yang sama dengan bibi dan sepupunya.
Semua santriwati berkumpul mengaji di masjid, setelah selesai mengaji mereka akan melanjutkannya dengan menghafal Al-Qur'an atau menyetorkan hafalan mereka kepada Ustadzah yang bertugas.
Nasyla yang duduk di samping Haba menunggu Haba menyelesaikan setorannya hari ini pada salah satu Ustadzah. Rasanya ingin sekali bisa mengaji selancar Haba. Nasyla dengan fokus terus memperhatikan temannya itu yang menutup mata sambil terus mengaji. Apa dirinya selama ini terlalu acuh tak acuh pada agama Islam yang dari lahir sudah dia anut. Melihat Haba yang dengan mudahnya melafalkan kalimat suci itu menyisakan goresan di hatinya. Kira-kira kapan dia akan bisa seperti Haba yang lancar mengaji.
Waktu isya telah masuk, semuanya bersiap untuk sholat isya. Tadi saat mahrib, tidak ada hijab untuk menjadi pembatas antaran bagian depan dan belakang, tapi sekarang Fatimah menarik hijab itu untuk memisahkan dua bagian. Sepertinya akan ada akhwat yang juga ikut sholat berjamaah di sini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lamaran Sang Ustadz [On Going]
Fiction générale"Kalau Ustadz, Raja maka aku Permaisurinya" -Nasyla "Raja apa dan permaisuri apa?" -Hafidz "Raja dan Permaisuri, Surga" -Nasyla Nasyla Adelin Viona. Gadis manis dengan lesung pipi di bagian ujung kanan bawah bibirnya-sangat rakus akan kebahagian. Ke...