Kemarin bukan hari yang bagus untuk gadis yang tengah berkutat dengan kerudungnya di depan cermin. Bibirnya mengerucut dengan alis menekuk. Dia sudah menantikan melihat Ustadz Hanan ceramah dan bertemu Kiyai Yusuf untuk permintaannya yang belum terkabulkan, tapi semuanya tidak ada yang berjalan lancar.
"Tapi biasanya Ustadz Hanan ceramah kok beneran gak bohong" Awa mencoba meyakinkan Nasyla bahwa ucapannya benar hanya saja Allah tidak mengizinkan Nasyla melihat Hanan ceramah.
Nasyla berbalik badan menatap Awa yang berada di belakang. Menarik nafas lalu membuangnya. "Udah gak papa, aku sedikit kesel aja karena nggak jadi lihat Ustadz Hanan ceramah dan enggak jadi juga ketemu Kiyai Yusuf"
Awa meraih tangan Nasyla dan menggoyang-goyangkannya untuk memastikan. "Beneran?"
"Iya, Wa" Nasyla menarik kedua ujung bibirnya membentuk garis horizontal.
Awa tersenyum dan langsung menggandeng tangan Nasyla dan mengajaknya berangkat ke kelas.
Baru tiga langkah mereka menjauh dari pintu kamar, seorang santriwati menghampiri mereka. "Awa, ada telfon di kantor"
Awa dan Nasyla terkejut mendengarnya. Masih pagi seperti ini ada hal penting apa sampai Awa harus menerima telfon.
"Aku antar" kata Nasyla menawarkan diri. Awa menyetujuinya dan berjalan bersama ke kantor, tak lupa juga untuk berterima kasih pada santriwati itu.
Sampai kantor Awa langsung berjalan menuju meja Ustadzah Ani karena beliaulah guru piket di sini.
"Ustadzah"
"Oh Awa, ini telfon dari Ayah kamu" kata Ani sambil menyodorkan telephone kabel.
Awa melihatnya dulu sejenak sebelum mengambil telephone itu dan menempelkannya di telinga.
"Assalamualaikum" sapa Awa dari sini. Entah apa yang di bicarakan Ayahnya di sebrang sana, yang jelas itu membuat Awa segera memutus sambungan telfon dan meminta pada Ani untuk di sambungkan kembali dengan telephone pribadi Ani.
Ani menuruti permintaan Awa dan menyerahkan ponselnya pada Awa untuk dia sambungkan sendiri panggilan tadi. Tanpa pikir panjang Awa pamit untuk berbicara di luar karena pembicaraannya cukup pribadi. Nasyla yang melihat Awa keluar tanpa meliriknya dan mengiranya sudah selesai langsung mengikuti Awa dari belakang, hingga berada di belakang kantor yang jaraknya tak jauh.
Saat itulah Nasyla mengerti, bahwa urusan Awa belum selesai. Saat hendak berbalik badan untuk kembali Nasyla di kejutkan oleh seruan suara Awa.
"Kenapa?!"
Langkahnya terhenti, kini Nasyla berada di balik tembok untuk memastikan apa temannya baik-baik saja.
Sedetik tak ada suara yang terdengar lagi Awa, namun di detik selanjutnya suara lirih keluar sampai membuat Nasyla bingung.
"Kenapa begitu? Kenapa begitu padaku? Apa Ayah pikir aku akan baik-baik saja? Menurut Ayah aku ini apa? Aku sudah melakukan semua yang kalian mau. A-aku bahkan rela tinggal di sini" suara lirihnya kini berubah jadi isakan tangis yang kian membesar.
"Memangnya apa kesalahanku?! Aku melakukan apa sampai kalian seperti ini padaku? Hah?!" Serunya meninggikan suara.
Nasyla tahu, bahwa dia seharusnya tak menguping pembicaraan Awa, bagaimana pun dia harus memberi ruang untuk Awa.
Nasyla melangkah kembali ke kelas dengan hati tak menentu. Apa yang terjadi sebenarnya pada Awa? Dia akan baik-baik saja kan? Kenapa dia sampai harus berteriak pada Ayahnya? Apa sesuatu terjadi di keluarganya? Atau apa?. Semua pertanyaan tercampur aduk di kepalanya, kekhawatiran melanda hati hingga membuatnya tak tenang dan sibuk menerka-nerka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lamaran Sang Ustadz [On Going]
Fiksi Umum"Kalau Ustadz, Raja maka aku Permaisurinya" -Nasyla "Raja apa dan permaisuri apa?" -Hafidz "Raja dan Permaisuri, Surga" -Nasyla Nasyla Adelin Viona. Gadis manis dengan lesung pipi di bagian ujung kanan bawah bibirnya-sangat rakus akan kebahagian. Ke...