🌼Part |7🌼

2K 227 26
                                    

Malam ini Adillah masih betah duduk di sofa ruang keluarga rumah itu meski Retno sudah menunjukkan kamarnya dirinya merasa enggan beranjak, terlalu banyak pertanyaan yang hinggap di pikirannya tentang keluarganya.

"Kamu belum tidur Nak?" tegur mama Retno yang baru saja keluar dari kamarnya.

"Belum ngantuk," jawab Dillah malas.

"Kamu gak betah ya di rumah yang kecil ini?"

"Bahkan rumah ini masih besar di banding rumahku di Surabaya," balas Dillah acuh.

Pak Zahir yang menyusul isterinya keluar dari kamar mendengar putrinya yang selalu ketus kepada Mama sambungnya, dia pun menghampiri mereka dan duduk diantara keduanya.

"Ada apa ini, kenapa belum tidur Nak?" tanyanya.

"Belum ngantuk?"

"Katakan sama Papi apa yang mengganjal pikiran kamu?"

Karena tidak tahan dengan rasa penasarannya Dillah memberanikan diri bertanya apa yang yang mengganjal dipikirannya sedari tadi.

"Gimana kabarnya perusahaan Pih?" tanyanya agak ragu.

"Jadi kamu berubah pikiran mau menjalankan perusahaan?" tanya balik Papinya.

"Enggak sama sekali, aku cuman penasaran saja melihat rumah kalian sekarang."

"Oh, jadi itu yang sedari tadi kamu pikirkan sampai-sampai gak bisa tidur?"

Adillah hanya terdiam menatap papinya.

"Perusahaan baik-baik saja Nak, bahkan semakin berkembang pesat, jika kamu bertanya mengapa kami tinggal di rumah sederhana ini itu karena Mama Retno yang minta, bahkan Papi sanggup membangun Rumah yang lebih mewah lagi dari rumah kita yang dulu tapi Mama kamu melarang alasannya kasian para ART membersihkan rumah," ujar Pak Zahir terkekeh.

"Alasan klasik," gumam Dillah.

"Mama lebih senang tinggal di rumah yang sederhana Nak, rasanya adem aja lebih baik uangnya di gunakan untuk hal-hal yang berguna dari pada membangun rumah yang mewah lebih baik kita menyantuni fakir miskin, anak yatim dan anak terlantar juga uangnya digunakan membangun mesjid atau pesantren Nak, biar hidup kita berkah dan mendapatkan pahala dan amal jariah." Jelas Bu Retno.

Adillah tertegun mendengarnya meski masih ada sedikit keraguan di hatinya tentang Mama tirinya.

"Iya Nak, Papi juga baru menyadari dan menyesali betapa banyaknya waktu Papi yang terbuang hanya mengejar dunia hingga melupakan akhirat. Papi bahkan lupa jika memiliki keluarga yang menunggu Papi di rumah, Papi lupa pada putri Papi, sungguh Papi menyesali semuanya Nak, Maaf kan Papi sayang," ucap Pak Zahir memeluk putrinya.

Lagi-lagi Adillah tertegun mendengarnya, benarkah ini Papinya yang sekarang? haruskah dia percaya dan berterima kasih kepada Mama tirinya yang merubah hidup seorang Zahir Pramudya.

"Maafkan Papi yang dulu tidak pernah ada untukmu Nak, berikan Papi kesempatan membayar semua waktu yang terbuang untukmu." Lanjut Pak Zahir lagi masih memeluk putrinya.

Air mata pun kini mengalir di Pipi mama Retno merasa terharu melihat Suami dan anak sambungnya.

"Kamu maukan memaafkan Papi?" yang hanya di jawab anggukan oleh Dillah.

"Kamu gak keberatan kan Nak jika rumah kita sesederhana ini?" timpal mama Retno.

"Nggak kok tante, justru aku suka dengan kesederhanaan lagian aku sudah terbiasa tinggal di rumah yang sempit bahkan terasa lebih nyaman," jawab Dillah yang sudah tidak seketus tadi.

PEMILIK HATI (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang