2A (Bunga Camelia)

39 12 19
                                    

Halo...
Semoga suka ya sama cerita ini :)
Jangan lupa Vote, komen, dan kritik :)

Semoga suka ya sama cerita ini :)Jangan lupa Vote, komen, dan kritik :)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


2A SERENDIPITY

Oh ternyata seperti ini ya rasanya beda perasaan. Sudah tiga hari, diri ini tidak kunjung juga bisa melupakan dia. Aku mencintainya dan dia masih mencintai orang lain. Kenapa dia begitu menyayangiku seolah aku hanyalah satu-satunya baginya. Kenapa?! Kalau tahu dari awal bahwa aku adalah salah satunya, aku tidak akan merasa sesakit ini.

"Shani. Kamu gak ganti baju?"

Ah! Kana membuyarkan semua lamunanku. Malas sekali rasanya hari ini panas-panasan di lapangan. Semua orang di kelasku sudah turun ke lapangan, hanya sisa aku dan kedua sahabatku yang masih di kelas.

"Bilang saja, aku sakit, Na."

"Beneran atau boongan?" tanya Alma.

"Menurutmu bagaimana, Ma?"

"Boongan, Alma." Kana membenarkan jawabanku.

"Masih belum bisa lupa sama dia?"

"Aku bukan gak bisa lupa sama orangnya, aku hanya tak bisa melupakan kenangannya, Alma."

Alma bersedekap menatapku, "Hebat ya dia, bisa memanipulasi cinta se-asli itu."

"Itulah bedanya laki-laki sama perempuan, Ma."

"Kalau perempuan kenapa memangnya, Na?" tanya Alma pada Kana.

"Kalau perempuan... ya... ya gitulah..."

"Ish... gemes gue sama lo, Na." Alma mengepal tangannya gemas dengan Kana. "Yaudah, Yuk, Na. Biarin Shani di sini saja. Kita turun sekarang."

"Kamu yakin, Shan?"

Aku mengangguk, lalu kembali menempelkan kepalaku pada meja, "Ijinin ya."

"Iya, nanti kita bilangin. Yaudah, gue sama Kana turun ya."

Aku mengangguk lagi, dan kini Alma dan Kana telah hilang dari pandanganku. Kelas terasa amat sepi, hanya suara deru kipas angin yang menempel di langit-langit kelas yang membantu sedikit menghilangkan sunyinya kelas.

Sebegitu istimewanya, Hilman bagiku. Dia adalah cinta pertama yang benar-benar aku rasakan. Aku benar-benar menyayanginya hampir sama sayangnya dengan Bapak dan Ibu. Tapi bedanya dia bisa menyakitiku sampai seperti ini, beda dengan Bapak.

"Permisi..."

Aku langsung melirik ke sumber suara, dan objeknya berada di pintu kelasku. Aku menyipitkan mata, berusaha fokus melihat siapa yang berseru tadi. Sontak mataku melotot saat yang kulihat adalah, orang yang menolongku di halte pada hari senin saat itu.

Genta & KataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang