7B (bUNGA)

2 0 0
                                    

8A PERDEBATAN PANJANG

            Semenjak dia mengikrarkan janjinya untuk terus mengabariku setiap saat. Ya. dia menepati janjinya. Dia membuat kisahku dengannya yang berjarak menjadi indah tanpa mengenal rindu, awalnya. Tapi itu tak berlangsung lama, karena kian hari kabarnya semakin terkuras oleh aktivitasnya.

Di hari pertama dia pergi. Aku terus dimanjakan oleh suara serak basah miliknya. Berteleponan selama tiga belas jam di hari itu. saat pulsa habis, kami berganti dengan telepon rumah. Ibu kala itu sampai pusing memikirkan tagihannya nanti.

Tapi kini, dia di mana? Apa dia sadar kalau dirinya sudah menggoreskan luka akan janjinya. Sudah empat hari dirinya tak mengabari tentang keadaannya sama sekali. Sudah kesekian kali aku mengecek ponselku. Tapi masih sama, hanya ada notif BBM dari Kana dan Alma saja.

Dia sedang apa? Kabarnya bagaimana?

Siang hari di kamar ini rasanya bosan sekali. Kana dan Alma sedang sibuk belajar untuk ujian akhir kelas dua belas nanti. Padahal masih cukup jauh waktunya. Susah sekali diajak main. Bapak sudah dua hari lembur dan belum juga pulang. Ibu... ya seperti biasa.

Lagi-lagi dinding menyaksikan kebosananku lagi. Kasur dan bantal mungkin lelah aku tiduri setiap hari.

"Nia!" suara Ibu seraya mengetuk pintu kamarku.

"Apa, Bu?"

"Keluar, Nia! Baju belum dijemur. Ibu hari ini sedang banyak urusan."

Bola mataku berputar. Seperti itulah Ibu, selalu ada saja yang dia suruh, entah ini lah, itu lah, ke sini, ke sana. pokoknya aku tidak bisa dibiarkan tenang seharian di kamar. Tapi ya tidak apa-apa juga. Hitung-hitung bentuk baktiku karena masih belum bisa mencari uang sendiri.

"Iya..."

"Sekarang, ya!"

Aku menghela napas gusar dan beranjak keluar kamar. Ibu sudah kembali ke meja kerjanya. Kemudian berjalan ke teras rumah. Mataku terus mendelik mencari-cari keberadaan ember yang katanya penuh akan cucian itu. tapi tidak ada objek itu.

"Sudah, aku yang jemur tadi."

Hampir aku lompat karena mendengar suara itu. Tak melihat wujudnya yang berada di samping jemuran.

"Genta!" Seruku dengan senang dan semangat.

Genta mendekat padaku dan mengusap pipiku lembut sebagai tanda rindunya. Aku membiarkannya mengupas semua rindu yang dia miliki.

"Kamu kemana saja?" tanyaku.

"Aku ke sini!"

"Bukan sekarang, tapi kemarin-kemarin?"

"Aku sibuk, Nia! Maaf ya membuatmu khawatir!"

"Aku tidak khawatir, aku hanya bingung."

"Tidak ada yang perlu dibingungkan, Nia! Aku merindukanmu dan aku pulang."

"Aku juga rindu."

"Sekarang kita ketemu," ucap Genta kemudian memperlihatkan senyum simpul manis. Senyumnya mampu menembus ulu hatiku.

Aku melepas lengannya yang sedari tadi menempel di pipiku. Melihat semua jemuran yang sudah tersusun rapi pada tali yang saling mengikat pada tiang-tiang rumah. Aku heran. Ini dia serius yang melakukannya?

"Ini serius kamu yang jemur?"

"Tanya saja Ibumu!"

"Dasar! Kenapa sih kamu ini sama Ibu bisa sekongkol begitu untuk membuatku bingung sekaligus kesal!"

Genta terkekeh, "Jangan kesal! Karena dia Ibumu!"

"Anggap saja dia Ibumu juga, Ta!"

"Jangan, Nia!"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 15 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Genta & KataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang