"Gue telat!"
Buru-buru Yaya memasang sepatunya. Melirik iWatch nya, jam menunjukkan pukul 06.58,. Yang artinya tujuh menit lagi, upacara akan dimulai. Dan Yaya tak mau terlambat.
Yaya berlari tergesa-gesa menuju mobil selesai memakai sepatu. Lalu naik ke dalam mobil dengan membanting pintu mobil sangat keras. Yaya nggak peduli mau mobilnya rusak, ia hanya peduli dengan upacara.
"Pak! Cepetan! Ngebut lho Pak!" penuh teriakan Yaya memerintah.
Sang sopir cepat-cepat mengangguk. Kemudian menjalankan mobilnya. Di jalan, sopir mengebut sana-sini tetapi penuh dengan kehati-hatian. Sang sopir tidak mau membuat Yaya luka, bisa-bisa ia akan dimarahi oleh orang tua Yaya dan Halilintar(?)
Tetapi saat di sekolah, ternyata pagar sudah ditutup oleh satpam. Mengharuskan Yaya berteriak untuk membuka pagarnya. Pak satpam hanya bisa menjawab tidak bisa.
"Ya Rabbi bapak! Apa susahnya sih buka pagar?! Kan tinggal geser doang, nggak susah pak! Bapak kalau mulai tadi buka pagar kan enak, jadi nggak ribet masalahnya!"
"Aduh Neng, udah saya bilangin, saya tetap nggak bisa buka pagar tanpa seizin guru-guru."
Yaya mengerucutkan bibirnya. Tubuhnya ia senderkan ke pagar. Tangannya ia lipat di perutnya. Kesal karena satpam tidak mau mendengarkan omongannya. Kesal juga karena dia harus menunggu sampai upacara selesai.
"Sedih amat."
Yaya mengerutkan alis, "Kok—?" tangannya ia turunkan ke bawah.
"Iya, gue telat juga." Yaya langsung menatap curiga.
"Lo sengaja telat kan? Lo paling nggak suka yang namanya telat."
"Entahlah, oh iya, gue ikut nunggu disini sama lo."
"Kalau lo kena hukuman?" dari nada pertanyaan Yaya, dia seperti menantang Halilintar.
"Kita jalankan berdua."
"Panasnya kek panas neraka dah," berusaha menutupi panas matahari dengan tangan.
Yaya tidak bisa fokus untuk hormat ke bendera.
"Lo aja belum ke neraka."
Yaya kikuk, "Y— ya maksud gue, anggapan panasnya itu loh."
"Sama aja, pokoknya lo belum ke neraka. Atau.. gue doain lo ke neraka? Biar tau gimana panasnya neraka, panasnya ini mah masih belum apa-apa juga."
"Sok bijak," cibir Yaya dengan nada kecil.
Kira Yaya harus terang-terangan gitu nge-cibir Halilintar? Yaya itu juga punya rasa takut ke Halilintar. Takut kena marahnya, karena marahnya Halilintar sama seperti gledek petir waktu hujan deras.
Keras banget suaranya.
"Huhh, panas banget sih." Sekujur tubuhnya mulai kepanasan, keringat Yaya bahkan mengalir deras dari dahinya.
"Dikit lagi, lo pasti bisa tahan."
"Dikit, dikit, dikit mata lo itu! Kurang satu jam oi!"
Udahlah, Yaya capek plus nggak kuat, akhirnya Yaya berjongkok. Bisa pingsan mendadak kalau ia teruskan berdiri sambil hormat. Mana lagi panas mataharinya semakin terik.
"Cemen lo," ejek Halilintar.
"Bodo, gue capek, nggak kuat." Sambil kipas-kipas menggunakan tangannya.
"Gue masih kuat aja ini, emang lo aja yang lemah!"
"Dih, lo kan cowok, gue cewek ya mana kuatlah!"
Halilintar tak menjawab. Yaya kira Halilintar fokus dengan hukumannya. Tapi ternyata tidak, jaket yang Halilintar biasa gunakan, ia taruh di atas kepala Yaya guna untuk menutup Yaya dari matahari.
Nggak itu saja, Halilintar berdiri di hadapan Yaya. Yaya mendongak, dia tidak merasakan teriknya matahari. Terlihat Halilintar berdiri tegak dan mencoba menyesuaikan agar Yaya sepenuhnya tidak terkena matahari.
"Di saku jaket ada minum, lo minum aja."
"..eh?.."
"Gue memang sengaja telat, karena gue tau dari Gempa lo belum datang. Dan gue berpikir, lo telat pasti, yasudah gue akhirnya siapkan minum buat lo."
"Lo apa—"
"Gue juga pengen coba gimana rasanya dihukum. Dan ternyata, dihukum itu seru kalau bareng lo."
Salam hangat
5 Juni 2k21
KAMU SEDANG MEMBACA
M ᴀ N ᴛ A ɴ
Teen Fiction[ Series HaliYa ] Gimana perasaan kamu saat sudah menjadi mantan tetapi mantan kamu masih mengejarmu? Sedih, kecewa, marah, dan.. senang? Itu yang dirasakan Yaya. - tak semua orang bisa menerima dan memaafkan kesalahan orang lain. Itu yang dipegang...