• Rom XI

231 17 0
                                    

Siapa yang kangen ceritaa ini?🥰

•••

Selama satu bulan, aku melewati hari-hari dengan pikiran yang selalu tertuju apakah aku harus menerima permintaan papa atau tidak. Dan satu bulan ini, Halilintar benar-benar menjauhi diriku. Baguslah, pikirku.

Aku juga sudah melewati olimpiade yang aku ikuti. Aku menang juara dua. Bangga pada diriku, tapi untuk apa toh menang jika kedua orangtuaku tidak bangga. Tapi tidak apa-apa, setidaknya aku bisa bikin sekolahku harum.

"Ya.. Halilintar pengen bicara. Penting katanya."

"Maaf, Yaya ada janji dengan gue, bisa lo bilang kan ke dia?" aku tidak akan berbicara apa-apa lagi. Dulu jelas banget aku ucapin itu.

Ying menghela nafas, "maaf Arvin, tapi ini penting. Halilintar sendiri yang bilang begitu."

Sepenting apa sampai dia memaksa begitu?

"Tidak bi—"

"Dimana Halilintar sekarang?"

— mungkin ini memang penting.

Ying tersenyum, "dia menunggumu di kantin. Cepatlah kesana." Lalu Ying pergi. Aku melihat tatapan Arvin, kelihatannya dia kesal. Jujur aku juga tidak mengerti kenapa aku bisa merasa sepenting itu dan juga aku masih mencintainya sampai saat ini.

"Kenapa lo terima?"

"Gue rasa pembicaraan ini penting untuk dia, Vin. Gue nggak bisa nolak."

Arvin mendengus, "lo masih suka sama dia kan? Makanya lo nggak bisa nolak?"

Aku mengangguk pelan, membenarkan pertanyaan Arvin. "Gue nggak akan lama, setelah dia mengutarakan apa yang mau dibicarakan, gue akan pergi." Arvin mengangguk. Arvin memang posesif, apalagi soal Halilintar. Tapi jika penting, mau tidak mau Arvin harus melepaskan aku untuk berbicara dengannya.

"Gue pergi dulu."

"Kita ini lucu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kita ini lucu." Aku menoleh.

"Kapan kita bisa seperti dulu? Aku nggak mau kita terus kayak gini." Aku tertawa mendengar ucapannya, yang sebenarnya bikin hubungan renggang seperti ini dia kan? Lantas kenapa dia meminta seperti dulu? Kenapa dia tidak bilang seperti itu untuk cewek-nya saja? Eh, tapi kan mereka bukan mantan.

"Yang lucu mah lo, haha. Lo bilang kapan kita bisa seperti dulu? Tidak akan pernah, selamanya, itu jawabannya." Aku langsung beranjak kemudian memalingkan muka, "udah? mau ngomong gitu aja? Buang-buang waktu, tau nggak sih?" aku langsung melangkahkan kakiku.

Sepanjang perjalanan aku mencoba untuk tidak menangis, berat dan sakit menjadi satu. Kenapa Halilintar yang aku kira akan menjadi obat dari sakit hati keluargaku malah menjadi alasan sakit hatiku yang utama? 

Apa aku saja yang terlalu berharap kepada Halilintar?

Ini kenapa banyak orang bilang jangan berharap pada seseorang?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 28, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

M ᴀ N ᴛ A ɴTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang