"Bi, Yaya ntar datang telat ya. Bibi nggak usah nunggu Yaya," ucapku sembari mengikat tali sepatu.
"T- tapi Non, nyonya besar minta nona Yaya buat makan pagi ini bersama."
Seketika aku diam, hmm.. haruskah sekarang?
"Sepertinya Yaya tidak bisa Bi. Bibi katakan saja pada Mama bahwa Yaya ada tugas."
Makan bersama? Lucu.
Untuk apa Mama mengajakku makan bersama? Membahas tentang pendonor organ? Atau minta maaf dengan perilakunya selama ini? Tapi itu hanya mimpi sih, mama mana mungkin akan minta maaf.
Aku langsung berlari keluar. Lalu masuk ke dalam mobil. "Tumben Non Yaya berangkat pagi?"
"Ada tugas, pak."
Dan setelahnya, pak sopir mulai menjalankan mobilnya.
Di perjalanan, aku mulai memikirkan semuanya. Aku dan Halilintar sama sekali belum saling menyapa. Ya tidak masalah sih memang. Tapi ini asing. Aku lebih baik marah-marah kepada dia daripada tidak pernah berbicara.
Kemarin aku mendengar mama dan papa berbicara lagi. Mama.. ughh, mungkin aku harus menarik ucapanku tentang Mama yang baik. Mama menyetujui ucapan papa untuk aku menjadi pendonor ginjal buat Aya.
Aya.. siapa dia?
Maksudku, kenapa aku tidak tau kalau aku mempunyai kembaran?
Kenapa mama dan papa menyembunyikan ini semua?
Ini sungguh keterlaluan.
"Non, udah sampai." Aku tersadar. Lalu kulihat pemandangan luar. Memang sudah sampai, cepet banget padahal aku masih pingin memikirkan tentang Aya.
"Makasih banyak pak sopir. Oh iya pak sopir, nanti nggak usah jemput Yaya. Yaya nanti bareng sama Arvin."
"Siap Non."
Aku turun. Lalu berjalan masuk ke sekolah. Sepi.. itu yang memang kuharapkan. Aku berjalan santai di koridor. Sampai di kelas, aku agak terkejut dengan adanya Halilintar.
Iya, Halilintar.
Dia sedang memakai headset sambil menatap jendela. Tidak peduli.. tck! Aku menyampingkan aku ingin berbicara dengan dia. Setelah melihat dia lagi, aku jadi teringat dengan semua kesimpulan dia. Andaikan dia tau kenapa aku putusin dia, dia pasti juga bela diri sendiri.
Aku berjalan seperti biasa saja. Aku duduk di depan Halilintar.. kalian harus ingat itu. Saat aku mengecek hpku, aku merasakan ada yang memegang bahuku. Aku membalikkan badanku. "Bisa kita bicara?"
"Maaf, gue sibuk." Andai lo kemarin-kemarin nya nggak buat masalah gue, gue mungkin mau.
"Ini soal kenapa kita harus putus."
Kenapa? Kenapa dia mau bahas itu?
"Gue rasa udah nggak ada yang harus diomongin. Lo cukup ngerti aja kita putus." Halilintar menggeleng.
"Gue janggal dengan alasan lo. Sejak kapan gue meluk cewek lain?" aku mengepalkan tanganku, emosi diri ini mendengar pertanyaan Halilintar tadi.
"Lo ingat-ingat aja sendiri."
"Gue nggak ingat Ya, kapan sih?"
- ingin aku bilang padanya, pada hari ulang tahun gue.
"Maaf Li, gue nggak bisa ingetin lo. Sorry juga, gue harus potong pembicaraan ini. Gue ada tugas olim yang harus dikerjakan."
Tuhan.. kenapa hidupku kacau?
KAMU SEDANG MEMBACA
M ᴀ N ᴛ A ɴ
Teen Fiction[ Series HaliYa ] Gimana perasaan kamu saat sudah menjadi mantan tetapi mantan kamu masih mengejarmu? Sedih, kecewa, marah, dan.. senang? Itu yang dirasakan Yaya. - tak semua orang bisa menerima dan memaafkan kesalahan orang lain. Itu yang dipegang...