"Bayangan masa silam selalu menggema di ruang pikiranku, pertama melambangkan kekecewaan, kedua mewujud menjadi keterpurukan"
Matahari tersenyum pagi ini, redup sang fajar dan terang sang surya aku tatap bersama secangkir kopi lalu disela duduk sila aku sempat berpikir tentang diriku seutuhnya, tentang takdir yang telah ditetapkan, tentang kuasa besar yang mengendalikan alam, tentang alam itu sendiri, bahkan tentang kehidupan yang selama ini aku jalani. Entahlah.
Selama ini aku menyadari bahwa manusia adalah aktor sejarah, manusia adalah pengendali alur peradaban dan kehidupan dunia, tapi terkadang sebagai manusia aku sering lupa peran yang harus dimainkan dalam kehidupan ini, sang Sutradara seolah menyembunyikan naskahnya dariku, jelas aku menggerutu dalam hati, tapi aku meyakini bahwa naskah peran yang aku mainkan ini sebelumnya telah diberikan Sutradara kepadaku jauh sebelum aku menjadi aktor, bahkan jauh sebelum aku menjadi manusia. Ya, naskah perjanjian antara diriku dengan Sang Sutradara, perjanjian agung antara Manusia dan Sang Pencipta, perjanjian yang mewujud menjadi kehidupan dan perjanjian yang didalamnya mengandung makna kebermulaan dan akhir dari segala tujuan. Begitulah kira-kira.
Sungguh terkadang aku lupa dengan peran yang harus aku mainkan di dunia ini, tapi mungkin sudah tugasku untuk terus mencari dan memahami arti dari segala yang ada saat ini. Hmm... "Segala yang ada saat ini???". Aku bertanya pada diriku sendiri, yang ada saat ini mungkin hanya bayangan masa silam yang kelam, terutama jika dikenang ingin sekali aku memaki dan berteriak membabi buta, karena bayangan ini telah menjelma menjadi keterpurukan dan melembaga menjadi kekecewaan.
Begini ceritanya...
Hari berganti waktupun berlalu, sesosok insan penuh canda tawa berlari mendekat kepadaku, dia berkata dengan lantang dan sampai hari ini kata itu menggema di telinga, "Jangan pergi atau berlari, aku sudah tak sanggup mengejar arti hidup ini, jika kau pergi, kepada siapakah aku mengadu dan kepada siapa pula aku menjelma". Entah kenapa dari raut wajahnya dia ceria, bahagia, dan penuh suka cita, tapi kalimat yang terucap dari bibirnya tak menandakan hal serupa.
"Sukma, dengarkan aku!!!" Dia membentak kepadaku,
"Ya kenapa?"
"Ada pertanyaan yang ingin aku tanyakan, ketika manusia jatuh cinta kenapa semuanya berubah menjadi pengorbanan bahkan rela menghadapi kematian?"
"Hah,,, Cinta macam apa itu!!!"
"Tolol!!! Kau tak mengerti Sukma, selama ini aku merasakannya, aku tak memiliki diriku sendiri, diriku hilang entah kemana, Ego ku lepas semenjak aku merasakannya"
"Aku bersumpah tak ada seorang pun di dunia ini yang mampu merasakan dan memahami makna cinta, bagaimana untuk paham, mendefinisikannya saja mustahil!"
"Oke,,, akupun berani bersumpah, bahwa yang aku rasakan saat ini adalah cinta!"
"Kau merasakan cinta? Kau rela berkorban? Bahkan kau rela menghadapi kematian? Hahaha...", Aku tertawa dengan pertanyaan yang aku lontarkan kepadanya,
"Tololll!!! Lelaki memang tak peka, tak sanggup mengerti bahkan untuk memahami"
"Iya memang, silakan jagoan!, banggakan saja perempuan menurut dirimu!"
"Sungguh Sukma kau tak merasakannya selama ini?" dia mengernyitkan dahi seolah mewakili kalimatnya yang menampung belas kasihan yang perlu dipertimbangkan,
"Merasakan apa? Astaga aku tak tau rasanya cinta, bahkan aku belum pernah bercinta hahaha...", Waw bercinta, aku ucap alakadarnya barangkali dia tertarik mengajariku bercinta hahaha...
Hembusan angin berlalu diantara wajahku dan dirinya, sepersekian detik hening lalu dia berbalik dan berjalan pelan menjauhiku, semakin jauh langkah kakinya dan kucoba berteriak kepadanya...
KAMU SEDANG MEMBACA
Hantu Hantu Hati
RomanceBayangan masa silam selalu menggema di ruang pikiranku, pertama melambangkan kekecewaan, kedua mewujud menjadi keterpurukan. Terkadang aku takut melihat dunia, melihat sejarah, dan melihat yang pernah ada. Tapi aku sering melihat derita. Dan sunggu...