Banana Split (18+)

899 41 2
                                    

Akhir-akhir ini aku sering melihatnya. Laki-laki ber-sweater gombrong kecoklatan, celana kotak-kotak serasa piyama, ditambah dengan minuman khas bulan Oktober. Bergerombol dan berbincang dengan teman-temannya yang memiliki selera seirama. Mengambil dan memilah beberapa gambar minuman agar bisa indah laman Instagram-nya.

Aku yakin gambar-gambar itu tak seindah tatanan hidupnya. Ia bahkan tak menyentuh minuman yang dipesan. Tentu mereka memesan demi sekadar memanjakan mata. Aku yang meracik pun tak suka rasanya. Minuman ini spesial meski rasanya krusial. Mungkin itu sebabnya minuman ini hanya dijual satu bulan dalam setahun.

Laki-laki itu bernama Krist, setidaknya itu yang dia bilang di kasir. Entahlah, untuk apa juga dia menyembunyikan namanya sendiri? Krist memesan pumpkin spice latte dengan satu kue wortel, sebuah pasangan yang tak terpisahkan di kala musim gugur. Tapi percaya padaku, kudapan itu hanya akan lewat sebentar di dalam mulutnya.

"Bagaimana karirmu, Krist? Menyenangkan?" tanya perempuan berdress oranye di sampingnya.

Karir? Menyenangkan? Biar kutebak, model atau 'model'. Baiklah, aku akui dia memang cantik. Dan aku seratus persen yakin kalau dia tahu itu. Ia juga senang diprotet dan menunjukkan angle terbaiknya. Sudah lengkap bukan? Jika saja aku tahu di mana aku bisa melenyapkan lima belas dolarku untuk akses sebulan penuh.

Toh, pacarku tak akan tahu.

Teman-teman itu mungkin satu karir dengannya. Bisa dilihat sendiri dari gayanya yang berkelas. Mungkin mereka sudah lebih lama terjun sebelum Krist. Maka tak jarang kutemukan ia sedikit bingung dari alur obrolan. Aku tak suka menuduh, tapi aku bisa meraba pikiran mereka. Sesaat Krist pergi, ia seketika akan jadi gosip terhangat.

Entah Krist sudah tahu atau belum. Dan seharusnya itu juga bukan urusanku. Tapi entah mengapa aku merasa ia memang butuh dibantu. Aku tahu jika masalah kehidupan seperti ini memang sesuatu yang sulit berlalu. Paling tidak mungkin ia butuh teman untuk berkeluh.

"Oh, Jane. Kurasa aku ingin menetap di sini sebentar," ujar Krist sambil tersenyum, "masih ada beberapa pekerjaan yang harus kuselesaikan. Entahlah, mungkin juga sambil mendengarkan musik dan makan carrot cake-ku."

"Pekerjaan apa? Memangnya kau sudah tak bekerja lewat online lagi?"

"Tentu masih, Jane," balas Krist manis, "aku hanya lupa membawa kotak makanku. Aku tak mau membuat sampah lagi di muka bumi ini!"

"That's my Krist! Menjaga bumi memang penting." Jane memeluk Krist erat. "Baiklah, Krist. Akan kukabari jika ada slot baru untukmu!"

"Terima kasih." Krist tersenyum riang sambil melihat Jane dan teman-temannya yang lain berjalan keluar pintu kafe.

Sesaat itu juga ia nampak murung, seperti apa yang biasa kutemukan. Suasana riuh tak lagi muncul. Seperti ada bagian yang rumpang di tengah bagian tubuh itu. Tak tega juga lama-lama kumelihatnya. Krist nampak ingin berteriak, mungkin ia hanya tak tahu melampiaskannya pada siapa.

Hatiku seakan bergejolak. Mungkin inilah saatku bersinar. Obrolan manis di penghujung jam tutup toko siapa tahu bisa membantu menyelamatkan gundah hatinya. Ini bukan termasuk mendua, 'kan? Kami hanya berbincang. Tak akan melampaui dari batas yang ada.

"Halo," sapaku sambil menunjukkan senyum terbaik, "kau tak apa?"

Krist masih diam saja. Menatap kosong meja kayu di hadapannya.

"Permisi?"

"Oh, ayolah! Kenapa ini harus terjadi padaku." Tiba-tiba Krist membenamkan wajah pada kedua telapak tangannya lalu menangis sesegukan. "Aku sudah lelah dengan semua ini! Tidak ada yang benar-benar peduli!"

Singto x Krist (Singkit) One ShotsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang