Strange Desire

247 22 2
                                    

Pernahkah kau merasakan seseorang begitu familiar di matamu? Kau terus berpikir hingga akhirnya tersadar itu terjadi karena rasa sukamu yang terlalu membludak. Intinya, dia terus berkeliling di kepalamu. Membuat fantasi menembus ke sebuah ruang tanpa batas.

Aku pernah. Dan lucunya, aku sama sekali tidak mengeluh selama orang itu adalah Singto Prachaya.

Singto biasa muncul di mana-mana, namun paling sering di sekolah. Dia akan keluar kelas pukul sepuluh, membeli makan di kantin, lalu duduk di bangku dekat jendela. Aku masih heran kenapa ia suka duduk sendiri. Padahal dia bukan anak culun yang punya gelagat aneh. Tapi tak apa, semua orang berhak punya preferensi.

Kemudian aku bertanya lagi, lalu kenapa aku diam saja? Tentu menutup mulut tak akan bisa membawaku duduk di sebelahnya dan bertanya apa yang ia beli saat jam makan siang. Jujur aku ingin sekali.

Jika saja aku punya keberanian untuk menaruh surat yang kubuat dua minggu lalu di lokernya. Lalu entahlah? Peluk dari belakang kala ia menemukannya?

Satu sekolah akan gempar tentunya. Tak ada yang suka pertunjukan begitu.

Sendirian saat makan siang memang mengasyikan. Kau tak perlu repot memikirkan kalimat apa yang harus kau lontarkan sambil mengunyah nasi telur dadar. Namun sisi buruknya kau akan larut dalam isi pikiranmu senidiri. Seperti aku yang berenang dalam persoalan tentang gebetan SMA yang tak ada ujungnya.

Makan siangku jadi sama sekali tak menggugah. Daguku berpangku pada tangan. Kutatap pemandangan sekitar kantin; berpikir sekiranya ada seseorang yang bernasib sama denganku, terrus berada di siklus suka-menyuka karna tak ada nyali.

Tapi jika bicara soal makan siang, aku selalu ingat kapan aku dan Singto bertemu. Jam makan siang dan kami saling bertatapan. Semudah itu dan entah kenapa aku bisa langsung jatuh hati. Ia terasa begitu spesial. Mungkin kami pernah bertemu di kehidupan sebelumnya. Meski kupikir reinkarnasi adalah suatu hal yang sulit dipercaya.

Tak lama, mata kami jadi lebih sering bertemu. Sesekali ia tersenyum mengangkat sebelah bibirnya; bergaya seminim mungkin. Aku suka ia yang begitu lucu di tengah kekakuan di sini. Kami tak pernah bicara karna ia sendiri pun tak mau memulai. Tapi kontes tatap mata saja sudah membuatku senang setengah mati.

Kurasa aku begitu menggilainya.

Aku melirik arlojiku, sudah pukul sepuluh lewat lima belas. Benar. Kemudian Singto datang dengan nampan berisi makan siangnya dan duduk di tempat favoritnya. Tanda pertunjukan tatap-menatap akan segera dimulai.

Heran juga kenapa kami tak pernah melakukan hal lain. Kami memang makhluk yang tak banyak bicara, namun siapa yang tahan dengan situasi begini? Hatiku saja rasanya sudah hampir meledak setiap menatap wajahnya.

Lalu kami mulai bertatapan, seperti biasa. Menikmati bola mata cokelat yang seakan membawaku pergi. Menatap Singto terasa seperti membuka kembali kotak memori yang dipertanyakan eksistensinya. Tak ada yang tahu isinya, tapi kau betul merasakannya.

Mungkin itu yang dirasakan jika sudah memendam cinta terlalu lama. Fantasi dan memori terasa bercampur tak karuan.

Dan kini aku tak tahan lagi, bisa jadi ini saatnya aku memisahkan keduanya.

Halo Singto,

Perkenalkan namaku Krist Perawat. Aku anak kelas sebelas jika kau tak tahu karena aku cukup tak terlihat. Dan kami (sialnya) tak pernah punya kelas atau klub yang sama. Menyebalkan bukan? Entah kenapa semesta begitu jahat denganku. Jadi kita hanya bertemu setengah jam saat di kantin. Itupun jika kau buru-buru berlari ke kantin. Ha!

Dan aku mengirim surat ini karena aku suka denganmu? Mungkin?

Entahlah. Kenapa surat ini jadi begitu memuakkan sih?

Singto x Krist (Singkit) One ShotsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang