DISCLAIMER : MPREG, ANGST
------------------------------
Panas dan terik. Tentu minuman dingin jadi suatu yang paling menarik.
Aku menekan bel rumah dengan kantong berisi tiga gelas boba di sebelah kiri tanganku. Satu untukku dan satu lagi untuk temanku, Grace. Dan sisanya untuk siapapun yang ada di rumah. Segan rasanya jika tidak membelikan apapun untuk orang rumah.
"Halo," sapaku malu-malu, "ada orang ya di rumah?"
Grace yang muncul dengan pakaian rumah datang menyambut, masih dengan gaya seperti tak memikirkan apa kata orang. "Udah gak apa. Masuk aja."
Aku mengikuti arah punggung Grace yang meliuk masuk ke dalam rumah. Keren. Pantas saja ia tak mau menyewa kos-kosan, baru masuk ke ruang tamunya saja sudah membuatku enggan pulang.
"Kita jadi 'kan ngurusin poster hari ini?" tanya Grace, "Ini udah gue siapin semua bahannya. Lu bawa gunting, lem, gitu-gitu 'kan? Awas kalo gak. Numpang ngadem doang lu di sini!"
Aku terkekeh. Untung saja tadi sempat mampir ke tukang fotokopi terdekat. Setidaknya aku bisa lolos dari ocehan si nenek lampir.
"Eh ini ada boba, gue samain chocolate hazelnut aja semua." Kantong kresek berisi minuman itu akhirnya berpindah tangan pada jemari berkuku kuning Grace. "Tapi yang satunya itu punya gue.
"Oh iya. Makasih ya, Sing. Repot-repot amat," komentar Grace masih sambil berjalan ke ruang TV, "Dek, mau boba gak? Kemarin katanya ada yang ngidam."
Dan laki-laki itu masih duduk diam di sofa putihnya. Sejauh dari yang kulihat dia memang tak banyak bicara. Hanya sepatah dua kata, lalu ia akan menatap mereka dengan tatapan paling sinis.
Menatapnya seperti kau berada di antara rasa ingin tahu dan pergi kabur jauh-jauh. Dari dekat ia memang menarik; wajahnya imut, pipinya chubby, bibirnya pun merah muda. Ia akan jadi primadona di aplikasi kencan gay manapun, kalau sudah cukup umur tentunya.
"Krist, Kak Grace taruh sini ya minumannya?" ujar Grace sambil menaruh gelas-gelas minuman itu di atas meja, "Gue ambil peralatannya di kamar dulu ya, Sing. Lu minum duluan aja gak apa. Lu yang beli ini."
Aku mengangguk. Sebenarnya seram juga ditinggal berdua dengan manusia ini. Apalagi ketika kutangkap matanya terus menatapku dengan tatapan kosong.
"Um... Krist baru pulang sekolah?"
Tak ada jawaban. Diam saja bagai mayat yang nyawanya ada di ujung tanduk. Membuatku makin bergidik. Kemudian ia berulang membetulkan hoodie longgarnya. Memastikan tak ada kulit yang terekspos, hanya sebatas wajah dan lehernya saja.
"Mau minum?" Aku membuka bungkusannya dan menaruh gelas plastik itu di hadapannya. "Ini ada chocolate hazelnut, kamu suka gak?"
Akhirnya anggukan yang muncul. Pertanda baik kalau aku tak dianggap sebagai batu nisan atau semacamnya. Tapi sehabis itu ia langsung kembali diam, menatap televisi yang tak menyala.
Seram juga.
"Kenapa? Gak suka variannya ya?" tanyaku yang sebenarnya cuman basa-basi. Toh, awalnya aku hanya ingin beli untuk diriku sendiri kok. "Aku minum duluan deh."
Kesal. Akhirnya aku mengambil minuman, membiarkan sedotan menerobos permukaannya. Tak ada gunanya juga meladeni obrolan anak aneh begini.
"Krist udah ada UTS belum?" Tapi pada dasarnya saja mulutku yang gatal, jadi aku terus memompa perbincangan kami. "Apa SMA jaman sekarang udah gak ada UTS?"
"Aku gak tau."
"Lho, kok gak tau? Memangnya belum pernah?" tanyaku penasaran.
Kemudian tak ada lagi jawaban. Sepertinya Krist memang sulit dipancing untuk bicara. Jikapun bisa, hanya tiga atau empat kata yang lolos dari lidahnya.
"Oit, ini bahannya ya." Dan Grace datang bagai penyelamat, membawa berbagai macam kertas warna warni yang akan jadi poster untuk dibawa aksi minggu depan. "Dek, kok gak diminum? Ini Kakaknya udah beli lho."
Ya. Betul. Dengarkan kakakmu, Krist. Ada baiknya kau hargai usahaku mengantre lima belas menit untuk minuman ini. Dan kau tinggal bilang 'terima kasih' saja apa sulitnya sih?
"Aku mau yang itu." Krist menunjuk minuman yang bertengger di tanganku. Membuatku seratus persen heran. Isi minuman milikku dan dia sama saja. Lalu apa yang membuatnya tertarik?
"Krist, gak boleh gitu ya." Aku bisa mendengar Grace berbisik, mungkin tak enak dengan ucapan adiknya terhadapku. Ia membuka bungkus sedotan dan menancapkannya, berharap adiknya bisa berhenti mengoceh.
Alih-alih mengindahkan ucapan kakaknya, ia malah tak terima dinasehati. Masih bersikukuh meminta minuman yang baru saja aku minum.
"Tapi ini sama aja, Krist," ujarku berusaha tenang, "sama kayak punya Kak Grace juga. Masa kamu mau minum bekas aku?"
"Gak apa." Krist masih merengek. "Aku mau yang punya Kakak aja. Sini! Sini!"
"Hey, Adek gak boleh begitu ya!" perintah Grace yang juga makin hilang kesabaran. "Ini. Minum yang ini aja dulu. Inget kata dokter? Gak boleh marah-marah nanti perutnya sakit lagi. Oke?"
Ekspresi Krist tak sama sekali membaik. Ia malah mengamuk dan berteriak. Isak tangisnya terdengar begitu keras sambil terus memukul tubuhnya sendiri. Grace benar-benar sudah kehilangan kontrol atas perilaku adiknya. Jadi ia hanya diam saja, mungkin sudah biasa melihat Krist bertingkah begini.
Dan kala ia menarik-narik bajunya karna kesal, membuatku mulai tersadar akan sesuatu.
Ia tengah mengandung. Kulihat perutnya membuncit, mungkin sekitar empat bulan. Pantas saja ia tak tahu soal situasi di sekolahnya sendiri.
"Sini." Grace yang sudah tak tega kembali mengambil minuman Krist, mengesap sedikit isinya. "It's okay, Krist. It's fine. Singto bukan orang jahat. Dia kan beliin buat aku juga."
Krist mengernyitkan dahi menyodorkan minuman itu ke hadapanku. "Kak Singto harus minum juga."
Aku menghela nafas lalu kuturuti kemauannya. Membuatnya air matanya berhenti mengalir.
"Lain kali gak boleh gitu ya sama orang lain? Gak sopan." ujar Grace.
"Kak Jo dulu juga temen kakak tapi dia jahat sama aku." Suara Krist tiba-tiba berubah pelan. "Memangnya kakak kira aku mau kayak gini? Kakak enak bisa kuliah, bisa pergi, bisa main sama temen. Aku?"
Pertama kali aku mendengarnya bicara panjang lebar. Tapi jika begini jadinya, lebih baik aku tidak usah dengar. Teriris hati rasanya melihat Krist berusaha menahan tangis.
"Aku cuman jadi aib buat keluarga. Aku yang dibilang kotor. Padahal aku juga gak ngapa-ngapain waktu itu. Waktu itu aku hanya cuman duduk, pakai baju yang sama kayak Kakak sekarang."
Seketika aku menoleh ke Grace. Tak tega membayangkan Krist diperlakukan keji ketika memakai kaos dan celana pendek.
"Tapi kenapa aku? Kenapa aku yang dikasih obat tidur? Kenapa aku yang diperlakuin kayak binatang?" isak Krist, "Semua temen Kakak jahat! Mau yang ini sekalipun,"
Tidak ada suara. Kami semua larut dalam isi hatinya.
"Aku cuman mau kayak dulu lagi."
"Krist," Aku mendekatinya, berjongkok agar ia bisa melihat jelas mataku. "Kalau kamu pikir aku jahat. Gak apa. Aku paham. But you have to know kalau aku sama Kak Grace di sini berjuang buat kamu. Kita berjuang agar siapapun yang nyakitin kamu biar bisa diadili."
"Tapi sampai kapan, Kak?"
"Aku gak tau, Krist," jawabku lirih, perih melihat banyak kejadian yang makin dianggap remeh, "tapi kita bakal terus usahain ya?"
Tak lama Krist langsung memelukku. Membiarkan jaketku basah karna emosinya yang meluap. Aku mengelus punggungnya lembut, membiarkan ia menangis sejadi-jadinya sampai puas. Grace juga ikut bergabung, melengkapi hangatnya pelukan paling emosional hari itu.
"I will always fight for your rights, Krist. Kakak janji."
Tapi benar juga. Sampai kapan? Sampai kapan poster-poster ini akhirnya dilirik mereka yang punya kuasa? Sampai kapan Krist bisa menemukan keadilannya?
Entahlah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Singto x Krist (Singkit) One Shots
FanfictionKumpulan cerita pendek (one shots) dari Singto dan Krist. Membawa kalian ke petualangan di banyak dunia! Hope you guys enjoy ♡