Checkpoint (part 1)

366 25 0
                                    

Menjadi minoritas di lingkungan yang luas memang menyebalkan. Terlebih jika belum lama tinggal di sini. Harus siap pasang badan dengan berbagai perubahan yang cukup membuatku muak. Belum lagi kalau tidak ada yang paham jika aku berbicara dengan bahasa yang kugunakan sejak kecil. Rasanya aku ingin buru-buru pulang.

Tapi pulang ke mana? Ibuku sudah dapat pekerjaan tetap di sini. Itupun beruntung. Kudengar cukup sulit untuk mendapat pekerjaan, apalagi saat-saat begini. Setidaknya ia jadi tak begitu bosan di rumah, Mengingat anaknya sudah besar dan tidak lagi lucu.

"What's for dinner?" seru Ayah Tiriku—yang biasa kupangil 'Papa'—sambil memainkan tangannya, tanda tak sabar.

Ibu yang sibuk mengambil sesuatu dari oven menoleh. "Mac and cheese!"

"Oh." Aku berusaha tidak mengeluh. Lama-lama bosan juga melihat makanan dari boks atau kaleng terhidang di meja. Ibu memang kerap mendapat jatah dari pekerjaannya. Mungkin sayang jika tak dimakan. "Aku kangen masakan nenek."

Ucapan itu keluar begitu saja seraya dengan desahanku. Aku tahu Ibu pasti sudah bosan mendengarku mengeluh. Tapi apa boleh buat? Kami berdua jauh dari rumah dan tinggal seatap dengan laki-laki yang murni darah Amerika. Aku saja tak menjamin kalau lidahnya bisa kuat mengecap tom yam.

"Krist," Papa memegang pundakku. "Nanti kita ke makan di restoran dekat kota itu deh."

Maksudnya restoran yang tom yam-nya terasa seperti kobokan air? Aku tidak bermaksud menyinggung, itu hanya review jujur. Bahkan aku melihat ada yang komen begitu di Google. Jangan percaya restoran yang mengaku autentik kalau pemiliknya saja belum pernah mengecap resep yang sesungguhnya.

"Babe, tom yam di situ rasanya... agak aneh," ujar ibuku yang sibuk menghidangkan seloyang mac and cheese kotakan yang disulap jadi hidangan ala restoran itu di atas meja.

Aku mengangkat bahu. "Mirip kobokan."

"KRIST!"

Begitulah aku, jujur dan apa adanya yang justru jadi terkesan menyebalkan. Pantas saja temanku di sekolah bisa dihitung pakai jari. Bisa ditebak kalau tidak ada yang suka kejujuran dalam berteman. Jadi kurasa lebih baik kalau aku diam saja.

Sebenarnya aku bukan anak yang culun juga; mengingat tak ada yang pernah merundungku di kelas. Tapi rasanya aku seperti... nyaris tak dianggap? Bahkan rasanya aneh jika ada kenal namaku. Mereka hanya mengenalku sebagai 'Cowok Thailand yang Duduk di Belakang' atau kadang juga 'Cowok Asia yang Hobi Tidur'. Intinya, semua berhubungan dengan negara asalku.

Aneh juga. Banyak dari mereka yang masih menganggap kakekku berhasil melawan Amerika di perang Vietnam. Kemudian ada yang bilang kalau aku dari Bali (padahal jelas-jelas Bali itu bukan negara!). Intinya, sekolah ini patut dipertanyakan kelas sejarahnya.

Mereka juga berkomentar kenapa logat Inggrisku sangat aneh. Tentu saja karena seumur hidupku di Thailand aku selalu tertidur di kelas Bahasa Inggris. Kupikir pelajaran itu tak akan berguna. Ironisnya sekarang aku harus menggunakannnya SETIAP HARI, bahkan dengan ayahku sendiri di rumah.

Lalu mereka mulai membandingkan aku dengan Singto Prachaya, teman sekelasku. Dia anak tim basket dan tentu juga keturunan Thailand. Sepertinya hanya kami berdua yang memiliki darah Thailand di sekolah ini. Cuman yang membedakan adalah Singto lahir dan besar di kota ini. Tentu saja Bahasa Inggrisnya lancar! Coba sekarang balik situasinya jadi dia yang berbicara Bahasa Thailand.

Tapi kulihat dia lucu juga. Singto bener-benar menggunakan statusnya sebagai anggota dari grup yang paling dilirik di sekolah dengan baik. Meski dia juga tak pernah menunjukkan bahwa dirinya populer seperti anak basket pada umumnya. Laki-laki berkulit kuning langsat itu lebih banyak diam, sepertiku. Dan oh, senyumnya manis.

Singto x Krist (Singkit) One ShotsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang