DISCLAIMER : MPREG, ANGST
--------------------------------------------
Selamat ulang tahun, Krist.
Aku berhadapan dengan sebuah kue coklat pemberian Singto, suamiku, sambil berusaha menampakkan senyum. Remang-remang kamar menemani malam yang masih kelabu. Mungkin karena ikhlas kami yang masih separuh. Kami berdua memang masih rapuh. Namun, harus kuingat kalau hari ini kebetulan umurku bertambah satu.
Memang benar adanya jika hidup haruslah berimbang. Seperti aku yang bertambah bersamaan dengan sebuah kehilangan. Bukan seperti anting yang mendadak lenyap di tengah tumpukan barang. Tak pernah seumur hidupku terasa sedemikian rumpang demi sesuatu yang kutahu sebenarnya cuman menumpang.
"Kesukaanmu," ujar Singto sambil menatap lilin-lilin yang mulai meleleh, "kebetulan Bu Merry masih punya satu, untung tadi masih sempat mampir."
Aku tersenyum. "Terima kasih ya, sayang."
"Bukan masalah."
Singto sudah melakukan apapun untukku. Dari menerjang hujan demi kue coklat sampai menemaniku menangis karena emosi yang sudah mencuat. Jika ada satu kompetisi untuk seorang manusia paling sabar, tentu ia tak akan keluar sebagai pemenang. Begitulah cara Tuhan menunjukkan jawabannya.
Seperti malam ini. Mata kepalaku sudah menyaksikannya sendiri bagaimana cara ia memegang kendali. Sejak kemarin tadi aku sudah gemetaran karena takut dimarahi. Meski hidup memang sudah begini, aku masih merasa gagal untuk mendalami tugasku sendiri.
"Tiup lilin dulu," lanjutnya, "jangan lupa berdoa."
"Aku mau menghilang." Sayup-sayup bisikan itu merayap keluar dari bibirku.
Singto mendadak lesu. "Berdoa yang baik-baik, Krist. Cuman itu yang bisa aku aminkan."
Aku menggelapkan pandangan. Membayangkan segala yang baik itu hadir. Entah kapan suatu yang baru itu sudi untuk kembali mampir di kemudian hari. Tentu masih ada perjalanan panjang untuk kami, tak tahu antara sebulan atau sepuluh tahun lagi.
"Jangan terlalu lama memendam sakit hati. Besok-besok kita bisa coba lagi." Singto mengecup keningku sesaat api itu larut. "Dan jangan lupa bersyukur sama yang sudah memberi."
"Sudah, Mas." Aku menghela nafas. "Tapi tetap susah banget buat ikhlas. Rasanya hidup kayak ada yang hilang. Rumpang. Sampai aku mikir, apa Tuhan gak seadil itu?"
"Tuhan itu Maha Adil, Krist."
"Terus kenapa begini?"
"Mungkin ini adil menurut versi-Nya," jawabnya, "buktinya kamu masih ada di sini sekarang; tiup lilin sama aku."
Aku menggeleng cepat. Tak terima.
"Terus kalau kamu gak ada, terus aku sama siapa?"
"Kita bisa bertiga." Satu per satu air mata mulai berjatuhan ke pipi. "Aku, kamu, sama dia yang bakal pakai baju-baju kecil itu. Dia yang namanya sudah siap meski mereka bilang masih jauh. Dia yang sudah bikin ibu bapak kamu jadi baik sama aku."
Ulang tahun tak jadi alasan untuk tak mengintip yang lalu. Cerita yang katanya jangan dibawa larut. Tapi aku masih belum tahu kenapa Tuhan mengajariku dengan cara paling sendu. Membuat ragaku belum juga kuat bergeser dari kasur. Semua terasa lenyap dan menghasilkan rasa enggan untuk menemukan sesuatu yang baru.
"Aku gagal."
"Jangan bilang begitu." Singto buru-buru menepis. "Sudah ya? Dokter 'kan sudah bilang kalau masih ada banyak kesempatan untuk kita."
"Tapi dia cuman ada satu, Mas," potongku, "gak ada yang bisa gantiin dia."
Setiap hari aku selalu berdoa demi memenangkan perang dengan tubuhku sendiri. Berharap ada mukjizat yang bisa menghidupkan sebuah gumpalan daging. Meski berakhir aku tak akan pernah bisa mendekap tubuh lemahnya menangis seperti apa yang kutemui dalam mimpi.
Dunia memang tak pernah berputar mengikuti jalur ekspektasi.
"Begitu juga kamu, Krist. Kamu juga cuman ada satu."
Tapi bukankah tiga akan jauh lebih baik? Jauh lebih indah daripada dua, apalagi sendiri.
"Aku pernah dengar, tiap bayi yang tak lahir mungkin memang belum sanggup untuk melewati sulitnya hidup. Maka itu dia pergi lebih dahulu. Dia sendiri yang mau."
Apa benar begitu adanya? Lantas apa yang membuatnya enggan? Apa dunia sudah seperti ladang kesengsaraan? Seburuk itu kah tempatnya di hari kemudian?
Jika dunia ini memang sudah kelewat kejam, orang tua manapun juga tak tega.
Kutemui matanya mulai berkaca-kaca walau sambil berusaha tegar. "Tapi bagaimana pun itu—meski mungkin dia cuman bisa jadi pelindung kita, meski cuman sampai segitu saja kemampuannya—aku tahu dia bakal sayang terus sama kita. Kapanpun itu."
Singto mendekap tubuhku yang dingin. Menyediakan bahunya untuk melampiaskan tangis. Bercecer air mata demi sebuah pertambahan umur yang tak tahu bisa begitu sakit. Berjalan di antara mendapatkan dan melepaskan, berharap aku bisa berhenti pada sebuah damai. Aku selalu percaya kalau Tuhan akan selalu punya caranya sendiri.
Meski pupus sudah bayangan menggenggam sepasang kaki mungil tujuh bulan lagi.
Setidaknya aku masih bisa ada di sini. Meniup lilin.
Selamat ulang tahun, Krist.
KAMU SEDANG MEMBACA
Singto x Krist (Singkit) One Shots
FanfictionKumpulan cerita pendek (one shots) dari Singto dan Krist. Membawa kalian ke petualangan di banyak dunia! Hope you guys enjoy ♡